Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Masyarakat Jawa Mendikte Lidah Orang Belanda

10 Februari 2022   08:00 Diperbarui: 15 Mei 2022   19:51 2427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar suasana jamuan makan rijsttafel dari  sebuah lukisan di Museum Fatahillah | Dok.pri/ Thomas Panji

Menurut Onghokham dalam Rahman (2016: 41), berbagai menu lauk-pauk yang dihadirkan saat jamuan tersebut sudah menggunakan metode memasak yang terbilang cukup beragam untuk di abad itu. Catatan tersebut menjelaskan bahwa berbagai jenis masakan dari daging, ayam, ikan, sayur yang disajikan diolah dengan berbagai teknik yang beragam, mulai dari dikukus, digoreng, dan dibakar. Budaya makan saat itu pun masih terbilang cukup sederhana.

Bale Raos, salah satu restoran milik Keraton Yogyakarta yang menyediakan makanan khas Keraton | Kompas.com
Bale Raos, salah satu restoran milik Keraton Yogyakarta yang menyediakan makanan khas Keraton | Kompas.com

Namun, dalam konteks ini keraton Mataram (yang diteruskan oleh keraton Yogyakarta) sudah memiliki embrio tata cara hidang (table manners) yang secara khusus diperuntukan untuk menjamu tamu-tamu macanegara. Penggunaan piring dan mangkuk dalam jamuan makan sudah mulai diterapkan di keraton Mataram Plered, namun belum dalam tataran yang mencakup secara keseluruhan orang yang ada di dalam proses jamuan makan tersebut.

Kebiasaan makan menggunakan tangan, duduk bersila bersebelah-sebelahan, dan makan beralasakan daun pisang adalah suatu pemandangan yang umum untuk di abad-abad tersebut (Reid dalam Kirana, 2021). Dalam temuan sejarahnya, Onghokham dalam Rahman (2016: 42) juga menilai jika kebudayaan rijsttafel yang lahir di abad-abad berikutnya memiliki kesamaan bentuk dan habitus jamuan makan yang berlaku di keraton Mataram saat itu.

Hal itu ditemukan dari adanya penyajian makanan yang begitu melimpah dalam satu waktu dan juga adanya penggunaan tenaga pelayan (abdi dalem) yang begitu banyak. Kedua hal ini menurutnya adalah wujud manifestasi dari pengiriman upeti berupa bahan makanan pada keluarga raja, di mana para bupati pada saat itu hingga sekarang wajib menyerahkan hasil bumi dan makanan khasnya untuk dihidangkan di atas meja raja.

Kewajiban menyerahkan upeti berupa hasil bumi dan makanan khas dari para bupati ini, khususnya di masa-masa sekarang dilakukan kurang lebih sebanyak dua kali dalam setahun, yakni pada acara Grebeg Mulud dan Grebeg Syawal (Carey dalam Palupi, 2021). Penyerahan hasil bumi dan makanan inilah yang kemudian menyebabkan menu makanan raja menjadi melimpah, di mana kondisi ini dalam Babad Ngayogyakarta dikenal sebagai dhahar kembul dan dhahar warni-warni.

Dhahar kembul dapat dipahami sebagai suatu proses makan bersama dengan jumlah orang yang banyak, sedangkan dhahar warni-warni mengacu pada beragamnya menu makanan yang disajikan melimpah ruah di atas meja makan. Beberapa abad kemudian, tradisi dhahar kembul dan dhahar warni-warni terus bertahan. Namun, khususnya pada abad ke-19 masehi tata cara penyajian yang digunakan pun sudah mengacu pada etiket jamuan Eropa.

Dalam konteks inilah rijsttafel kemudian lahir sebagai bagian dari kebudayaan kuliner Indonesia yang kemudian diklaim sebagai kebudayaan kuliner milik Belanda, karena meski menyajikan masakan pribumi (Indonesia), namun etiket jamuan makan Eropa lah yang tetap berlaku. Sehingga dalam perjalanannya Belanda merasa berhak untuk mengklaim rijsttafel sebagai bagian dari kebudayaan kulinernya, lengkap dengan dikotomi antara penjajah dengan terjajah.

Dalam sejarahnya, rijstaffel adalah suatu kebudayaan kuliner yang lahir atas konsekuensi dari asimilasi budaya (pernikahan) antara pria Belanda yang hidup membujang dengan perempuan pribumi di tanah Jawa (Nieuwenhyus dalam Rahman, 2016). Asimilasi budaya ini kemudian melahirkan suatu bentuk kebudayaan baru yang diberi nama sebagai kebudayan Indis (Indo). Di sini lah kemudian terbentuk akulturasi kuliner yang melahirkan rijsttafel.

Rijstaffel pada hakikatnya adalah sebuah kebudayaan kuliner yang baru lahir sekitar tahun 1870-an. Kebudayaan kuliner ini sejatinya lahir dari gaya hidup mewah tuan tanah perkebunan di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur (Onghokham dalam Rahman, 2016). Menurut Ido dalam Wijanarko (2021), rijsttafel memiliki arti sebagai 'suatu sajian makan nasi yang dihidangkan secara spesial.' Definisi ini selaras dengan kehidupan perniagaan di Pulau Jawa saat itu.

Menurut Boxer dalam Rahman (2016), aktivitas niaga di Pulau Jawa sepanjang abad ke-17 sampai 18 masehi banyak didominasi oleh perdagangan rempah-rempah dan beras. Awalnya, dua komoditas primadona ini hanyalah sekadar barang niaga saja. Memasuki abad ke-19, rempah-rempah dan beras perlahan menjadi dua komoditas penting yang akhirnya semakin banyak digunakan di seluruh rumah tangga masyarakat Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun