Harum dan hangatnya kopi jos, pada kenyataannya mampu membawa persatuan dan kerinduan.
Bagi sebagian pelancong rasanya belum sah bertamasya ke Yogyakarta jika belum sempat menyeruput segelas kopi jos yang panas dan harum.
Panasnya kopi dari celupan bara arang yang masih merah merekah dan harumnya kopi dari biji pilihan berkualitas baik, selalu dapat memanjakan setiap lidah para penikmat kopi kala berlibur ke kota yang sering mendapat julukan sebagai kota pelajar. Tidak mengherankan jika kopi jos selalu menjadi favorit bagi para pelancong.
Harganya yang cukup terjangkau, dekat dengan pusat keramaian dan selalu tersaji berdampingan dengan berbagai panganan khas ala angkringan yang menggugah selera, membuat kopi jos selalu dapat menjadi magnet yang menggoda bagi semua kalangan.Â
Sejak diperkenalkan oleh keluarga Lik Man di tahun 1970-an, kopi jos telah memiliki banyak variasi, seiring juga dengan munculnya angkringan-angkringan kopi jos lain yang ikut meniru menu kopi jos milik Lik Man.
Salah satu angkringan kopi jos yang tidak boleh dilewatkan dan rasanya wajib dinikmati kala melancong ke Yogyakarta adalah angkringan Kopi Jos Pak Gondrong.Â
Bagi sebagian besar masyarakat Yogyakarta, khususnya para pelajar nama angkringan Kopi Jos Pak Gondrong mungkin sudah tidak asing terdengar. Angkringan yang berlokasi di Jl. Wongsodirjan No.10, Sosromenduran, Gedong Tengen, Kota Yogyakarta ini memiliki keunikan yang khas.
Jika rata-rata pelaku usaha angkringan kopi jos di sepanjang Jl. Wongsodirjan menggunakan tenda dan pikulan angkringan semi permanen yang bisa dipindah tempatkan, serta memiliki luas lesehan yang tidak terlalu besar untuk diisi banyak pelanggan, permasalahan tersebut nampaknya tidak berlaku bagi angkringan kopi jos milik Witarso (60), nama pemilik angkringan kopi jos Pak Gondrong yang sudah setia melayani para pelanggannya sejak tahun 2009 silam.
Dengan beranda rumahnya yang cukup luas angkringan kopi jos Pak Gondrong bisa menampung sekitar 15-25 pelanggan dalam satu kali service. Selain itu, keunikan lain dari angkringan kopi jos milik Witarso bisa ditemukan dari dua fasilitas eksklusif yang tidak bisa ditemukan di angkringan kopi jos lainnya, di mana angkringan Witarso menjadi satu-satunya angkringan kopi jos yang memiliki toilet dan lahan parkir sendiri tepat disamping rumahnya
Fasilitas toilet dan lahan parkir pribadi inilah yang kemudian menjadi salah satu identitas khas dari angkringan kopi jos Witarso, maklum memang agak sulit untuk menemukan toilet dan parkir yang mudah serta dekat bagi para wisatawan.Â
Selain itu, warna cat rumahnya yang didominasi oleh warna hijau muda bolu kukus dan sebuah tirai bambu di bagian beranda rumahnya semakin membuat angkringan kopi jos Witarso tampak unik dan berbeda dari yang lainnya.
Selain karena adanya dua fasilitas eksklusif tadi yang membuatnya unik, selama menjadi pelanggan setia angkringan kopi jos Witarso sejak duduk di bangku SMA, penulis menemukan ada satu atmosfer yang sangat unik dan sangat berbeda pada angkringan tersebut.Â
Keunikan dan perbedaan tersebut dapat ditemukan dari demografi pelanggannya yang kebanyakan berasal dari kalangan para pelajar, baik pelajar SMA maupun pelajar perguruan tinggi.
Penulis yang penasaran lantas bertanya pada Witarso dan Tantri (40), istri dari Witarso mengenai sejarah dari angkringan mereka dan kepopulerannya yang kerap dikenal sebagai "markas utama" bagi para pelajar Yogyakarta.Â
Sembari dirinya membantu Witarso menyiapkan beberapa gelas kopi jos, menyiapkan makanan, membakar aneka sate, dan mengambilkan uang kembalian bagi pelanggan yang baru saja selesai makan, Tantri perlahan mulai bercerita pada penulis.
Tantri menceritakan jika sejarah angkringan kopi jos miliknya memang punya ikatan yang sangat kuat dengan para pelajar, khususnya para pelajar SMA. Di mana, nama dari angkringan kopi jos Pak Gondrong sendiri merupakan nama yang diberikan secara tidak langsung karena adanya kesamaan potongan gaya rambut antara Witarso dengan para pelanggan setianya, yang sama-sama memiliki potongan gaya rambut gondrong atau panjang.
"Jadi awal banget itu namanya masih angkringan kopi jos Ijo, karena warna cat rumahnya warna ijo. Tapi lama kelamaan karena rata-rata yang sering dateng itu anak-anak SMA, khususnya dari Kolese John de Britto (JB) yang anak-anaknya terkenal karena rambut gondrong dan kebetulan bapak rambutnya juga gondrong jadinya dinamakan lah angkringan ini angkringan kopi jos Pak Gondrong sampai sekarang," Tutur Tantri.
Kedekatan antara Witarso dan Tantri dengan para pelanggannya tidak hanya sebatas pada kesamaan selera gaya rambut yang kemudian berpengaruh pada popularitas jenama angkringannya.Â
Kedekatan tersebut juga dipengaruhi oleh racikan kopi jos Witarso itu sendiri, yang konon dalam sejarahnya berhasil menyatukan semua golongan pelajar yang saling berbeda sekolah dan pernah mengalami cekcok satu dengan yang lainnya.
Tantri menceritakan pada penulis bahwa memang beberapa pelanggan setianya merupakan para pelajar yang berasal dari sekolah-sekolah yang seringkali diberitakan suka membuat onar dan masalah dengan pelajar dari sekolah lain.Â
Namun, selama hampir 12 tahun berjualan kopi jos, Witarso dan Tantri justru menemukan pengalaman yang berbanding terbalik dengan semua kabar yang sering tersiar mengenai para pelanggannya tersebut.
Tantri mengakui jika memang para pelanggan setianya merupakan mereka yang seringkali dicap bermasalah dan suka membuat onar. Namun, dalam perjalanannya Tantri dan Witarso justru mendapati jika mereka semua adalah orang-orang yang bisa menjaga kerukunan dan jauh dari kesan pembuat onar.Â
Di beberapa kesempatan, Tantri juga seringkali melihat jika mereka ada yang saling kenal dan beberapa di antaranya juga telah menjadi teman akrab.
Dari pengalamannya tersebut, Tantri dan Witarso merasa jika para pelajar tersebut adalah orang-orang yang dapat berkelakukan baik dan kenakalan remaja seperti yang diketahui oleh masyarakat luas menurut penilaian mereka berdua hanyalah suatu kenakalan remaja yang biasa dan lumrah.Â
Disamping cerita mengenai persatuan antara para pelajar, Tantri kemudian juga sedikit menyinggung soal pembagian posisi duduk untuk tiap pelajar dari masing-masing sekolah.
"Sebetulnya ga ada yang selalu sama persis. Tapi yang saya tau bagian depan deket trotoar itu areanya anak-anak Bosa (Bopkri Satu) dan mereka biasanya memanjang ke belakang gabung sama anak-anak Boda (Bopkri Dua). Terus yang di tengah itu biasanya anak-anak Muhi (Muhammadiyah). Nah, sisanya anak-anak De Britto yang cenderung membaur," tutur Tantri.
Di luar dari semua cerita mengenai jenama dan persatuan antar para pelajar berkat racikan kopi jos Witarso dan harga makanan yang murah meriah, penulis kemudian lantas semakin penasaran dengan rahasia di balik racikan kopi jos tersebut, yang membuat semua cerita Tantri menjadi kaya dan sangat menarik untuk diulas. Menjadi satu hal yang cukup sulit bagi setiap penulis kuliner untuk mengulik detail resep rahasia suatu makanan atau minuman pada pemiliknya.
Namun, di sini penulis ternyata mendapatkan kesempatan secara langsung dari Witarso untuk mendengarkan secara lengkap isi dari resep racikan kopi jos miliknya itu. Dengan senang hati Witarso mulai bercerita perihal resep yang digunakannya.Â
Selama berjualan kopi jos, Witarso mengakui jika jenis kopi yang digunakannya adalah kopi tubruk sama seperti penjaja kopi jos pada umumnya. Namun, jenis kopi tubruk yang digunakan Witarso diklaim berbeda.
Kopi tubruk yang digunakan oleh Witarso merupakan kopi yang berasal dari daerah Pati, Jawa Timur yang masih berbentuk biji kopi. Witarso menjelaskan jika kopi yang masih berbentuk biji asli dapat memudahkannya dalam menakar jumlah kopi yang akan dicampurkan dengan racikan rempah-rempah tertentu untuk menambahkan cita rasa dan aroma yang khas.
"Jadi saya racikan kopinya itu ada pala dan kayu manis. Kalau pala itu nambah aroma yang enak. Kalau kayu manis biasanya untuk nambah cita rasa manis tapi yang khas. Jadi dari situ tetap bertahan sama racikan kayu manis dan pala yang nanti saya campurkan dengan kopi dari hasil gilingan sendiri, supaya nanti ngerti takaran yang pas itu seberapa," jelas Witarso.
Meski racikan kopinya berpotensi untuk ditiru oleh kompetitor lain, namun Witarso mengakui pada penulis bahwa dirinya sama sekali tidak memiliki masalah dengan itu. Witarso percaya bahwa resep adalah resep, di mana sebuah resep tentu dapat ditiru oleh banyak orang, namun yang tidak bisa ditiru adalah racikan, takaran, dan pengalaman dalam menentukan standar baku untuk mampu menghasilkan secangkir kopi jos yang bercita rasa khas.
Selain itu, Witarso juga menceritakan satu keunikan dari segelas kopi jos. Keunikan itu datang dari air kopi dengan bara arang yang dicampurkan secara bersamaan.Â
Pada awal kemunculannya, Witarso menceritakan jika barang arang berfungsi untuk membuat kopi tersebut tetap panas dan beraroma khas. Namun, seiring waktu berjalan, Witarso menemukan jika perpaduan tersebut justru membuat kadar kafein dari kopi menjadi berkurang, namun tidak menghilangkan cita rasa aslinya.
Cerita dari Witarso yang menarik itu, lantas menggoda penulis untuk memesan segelas kopi jos lengkap dengan makanan pendamping. Kebetulan penulis adalah seorang pengidap GERD yang pada akhirnya menjadi cukup anti untuk minum kopi, meskipun merupakan seorang penulis kuliner.Â
Namun, dari cerita unik tersebut penulis tertarik untuk membuktikannya sendiri. Saat datang dihadapan penulis, aroma khas kopi dan bara arang langsung memenuhi rongga hidung.
Setelah menunggu panasnya kopi reda beberapa saat, penulis kemudian menyeruput kopi jos yang menggoda itu. Cita rasa kopi robusta yang berkarakter kuat langsung terasa di lidah penulis.Â
Dalam rupa itu, penulis juga merasakan ada sensasi unik yang ditimbulkan dari campuran pala dan kayu manis, yang membuat kopi tersebut terasa memiliki cita rasa rempah, hangat di tenggorokan, dan terasa lebih manis. Selain itu, rasa pagit dari kopi memang tetap terasa jelas.
Namun, kadar kafein yang masuk ke lambung memang terasa agak berkurang. Hal itu penulis temukan dari tidak munculnya reaksi asam lambung yang berlebih akibat kopi yang masuk ke dalam perut.Â
Bagi pembaca penderita maag atau GERD, tentu dapat mengerti bagaimana rasanya asam lambung naik sampai ke permukaan tenggorokan saat mengonsumsi sesuatu yang mengandung kafein, asam, pedas, santan, atau minuman karbonasi.
Namun, kasus ini cukup unik, karena pasalnya meski kadar pahitnya tidak hilang seutuhnya, namun arang memang benar-benar membantu menyerap kafein berlebih yang tidak aman bagi penderita penyakit maag atau GERD dan membuat kita menjadi sulit tidur.Â
Dari pengalaman tersebut, penulis merasa ini adalah bagian dari teori gastronomi, mengenai adanya hubungan fisiokimia antara kopi dengan bara arang yang membawa manfaat bagi kesehatan.
Setelah puas meneguk segelas kopi, penulis pun kemudian disuguhkan oleh Witarso dengan segelas wedang jahe khas racikan angkringan Kopi Jos Pak Gondrong. Witarso menjelaskan jika wedang jahe racikannya memiliki tujuh macam rempah dalam satu ceret.Â
Ketujuh macam rempah itu antara lain, kapulaga, cengkeh, jahe, sereh, lengkuas, pala, dan kayu manis. Mendengar ada racikan yang unik dan khas dari minuman tersebut, penulis kemudian lantas menerimanya.
Benar saja, racikan ketujuh rempah dalam wedang jahe tersebut memang benar-benar menghangatkan dan menyegarkan badan. Sensasi herbal dari jahe, sereh, dan lengkuas, ditambah dengan sensasi aromatik dari kapulaga, cengkeh, pala, dan kayu manis memang membawa sensasi hidangan yang unik dan berkhasiat tinggi.Â
Witarso mengatakan jika wedang jahe sangat cocok untuk dinikmati di masa pandemi seperti sekarang, sebab dapat menjaga imunitas tubuh.
"Itu kan kayak jamu, dan memang itu bagus kalau diminum waktu malam hari kayak gini. Jadi selain kopi, kita biasanya juga suguhkan hidangan wedang ini. Supaya nanti minumannya jadi lebih variatif. Saya sebisa mungkin ngeracik minuman itu pakai rempah, supaya rasanya itu jadi lebih enak dan jadi sehat minumannya," tutur Witarso.
Sembari menikmati wedang jahe, Tantri juga ikut bercerita bahwa dulu angkringan kopi jos miliknya ini pernah diliput oleh dua media asing asal Malaysia, yang waktu itu sedang meliput seputar kekayaan kuliner Indonesia.Â
Tantri bercerita, setelah selesai diliput oleh dua media tersebut, para kru kemudian menghabiskan malam terakhir mereka di angkringan miliknya sembari mengundang pengamen untuk membawakan sebuah lagu melayu sembari menari.
Tantri menjelaskan bahwa keadaan pada saat itu memang benar-benar meriah dan penuh sukacita, karena pasalnya Tantri baru mengetahui bahwa di Malaysia tidak ada begitu banyak atraksi kuliner yang sebegitu luwes seperti di Yogyakarta, di mana bisa mengundang pemusik jalanan sembari menikmati musik tersebut dengan menari.Â
Tantri mengetahui hal tersebut dari salah seorang kru media tersebut yang banyak bercerita soal Malaysia dan pariwisata kulinernya.
"Mereka (wartawan Malaysia) setelah itu bilang ke saya, kapan-kapan saya akan main lagi, karena ada banyak hal yang gak bisa didapetin di Malaysia, terlebih waktu kami bisa undang pemusik dan kami boleh nari-nari di sini," tutur Tantri.
Pada akhirnya, Yogyakarta memang tidak dapat dilepaskan dari semua hal yang membuatnya tetap unik dan menarik. Angkringan kopi jos milik Witarso dan Tantri adalah salah satu saksi hidup dari panjangnya rangkaian perjalanan mereka dalam menemukan banyak hal soal Yogyakarta, mulai dari berhasil mempersatukan para pelajar SMA di Yogyakarta yang kerap saling sikut sampai dengan membuat wisatawan Malaysia rindu dan membuatnya berharap untuk dapat kembali.
Di satu sisi kita tidak dapat menegasi, bahwa pada dasarnya makanan dan minuman selalu mempunyai jalan yang ajaib untuk menciptakan sesuatu indah dan manis bagi semua orang, dan pengalaman dari angkringan kopi jos milik Witarso dan Tantri boleh jadi saksi atas semua hal tersebut.Â
Akhir kata, di sini apakah ada pembaca yang mau bertemu dengan penulis dan menghabiskan semalam suntuk bercerita banyak hal sembari menyeruput segelas kopi jos?
Mari bercerita :)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H