Yogyakarta punya banyak cara untuk mampu membuat kita kembali lagi berkunjung setelah sekian lama pergi. Kota ini seperti tak pernah kehabisan akal untuk selalu membuat kita rindu akan semua hal yang berkelindan di dalamnya.Â
Kuliner menjadi salah satu elemen yang membuat Yogyakarta tetap istimewa di mata dan hati setiap orang. Ada begitu banyak varian kuliner yang bisa dieksplorasi oleh para pelancong.
Gudeg, sate klathak, bakpia atau bakmi jawa adalah sederet sajian khas yang tidak boleh dilewatkan jika sedang melancong ke Yogyakarta.Â
Bagi sebagian orang, rasanya belum sah berlibur ke Yogyakarta jika belum mencicipi semua menu tersebut. Meski menggiurkan dan menggugah selera, namun penulis merasa jika berbagai menu tersebut adalah menu-menu makanan yang sangat mainstream dan terkesan monoton.
Sebagai kota yang mendapat julukan "Kota Istimewa", penulis percaya bahwa Yogyakarta memiliki keistimewaan dari kulinernya, yang lebih dari sekadar gudeg, sate klathak, ataupun bakpia.Â
Salah satu kekayaan kuliner Yogyakarta yang jarang diketahui oleh banyak pelancong, dapat pembaca temukan disebuah warung makan kecil dan tersembunyi yang berada di Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo No.6, Kotabaru, Kec. Gondokusuman, Kota Yogyakarta.
Warung makan ini mungkin bukan lah salah satu tempat makan yang direkomendasikan untuk tujuan turisme dalam skala besar.Â
Namun, bagi pembaca yang barangkali adalah seorang bacpacker dan traveller sejati yang senang berkunjung ke tempat-tempat wisata anti mainstream, murah meriah, dan memiliki keunikan yang khas, warung makan ini mungkin dapat menjadi salah satu pilihan terbaik bagi pembaca untuk disinggahi.
Warung makan ini terbilang cukup kecil untuk dibagian dalamnya. Namun, beruntungnya warung makan ini memiliki halaman yang cukup luas, yang digunakan untuk memarkir sepeda motor para pelanggan sekaligus sebagai tempat makan berkonsep outdoor murah meriah.Â
Meski berada agak disekitar tengah-tengah kota, namun posisi warung ini terbilang agak cukup tersembunyi dan pembaca disarankan untuk bertanya pada orang-orang setempat jika ingin berkunjung.Â
Meski lokasinya tersedia diaplikasi peta dan penunjuk arah, namun penulis menyarankan pembaca untuk tetap bertanya pada masyarakat sekitar mengenai keberadaan warung unik yang posisinya agak gampang-gampang sulit untuk ditemukan.Â
Bagi masyarakat sekitar, ciri khas warung trsebut terlihat dari cat rumah yang di dominasi oleh warna hijau tua dan adanya asap putih mengepul dari hasil pembakaran kayu yang digunakan untuk memasak.
Keunikan tidak hanya berhenti di warna cat rumah dan adanya asap putih yang selalu mengepul setiap pagi hingga sore hari. Uniknya, warung makan ini di satu sisi juga tidak memiliki nama usaha resmi, layaknya warung-warung makan sederhana yang dapat kita jumpai diberbagai kota-kota besar.Â
Maka dari itu, banyak orang, terkhusus pelanggan setia, lebih akrab menamai warung tersebut sebagai Warung Ijo, merujuk pada dominasi cat rumahnya yang berwarna hijau tua.
Berdasarkan cerita yang penulis dapat dari teman yang kebetulan menjadi pelanggan setia warung tersebut, Warung Ijo dinilai sebagai tempat terbaik untuk bisa menikmati sarapan pagi dengan 'aura yang berbeda'.Â
Mungkin penilaian tersebut agak terdengar cukup klise. Namun, sebagai penulis kuliner penilaian tersebut tentunya akan penulis simpan sebagai rumusan masalah, apakah rumah makan tersebut memang klise atau justru memang memiliki 'aura yang berbeda'.
Saat itu waktu menunjukkan pukul 06.43 WIB pagi, dan warung itu nampak sudah disesaki oleh sejumlah pelanggan yang segera ingin sarapan.Â
Halaman warung juga sudah dipenuhi oleh sepeda motor yang terparkir rapih dan sejumlah pelanggan juga sudah duduk di meja masing-masing sambil menyatap sarapannya dengan lahap.Â
Ada beragam menu yang ditawarkan, mulai dari nasi pecel, nasi rames, nasi soto, aneka gorengan, lauk pauk, dan berbagai jenis minuman.
Berdasarkan cerita dari pengalaman teman penulis, warung makan ini adalah salah satu yang cukup legendaris di Yogyakarta. Bagaimana tidak? Warung makan ini ternyata sudah berdiri sejak tahun 1970-an, atau sudah bertahan kurang lebih selama 50 tahun lamanya.Â
Selain terkenal karena usianya, Warung Ijo di satu sisi juga diklaim sebagai warung rakyat. Bagaimana tidak? warung makan ini mampu menghadirkan harga makanan yang murah meriah.
Hal ini dikonfirmasi secara langsung oleh Yuni (43), cucu pertama dari Mbah (Nenek) Wiro, pendiri sekaligus pemilik dari Warung Ijo yang kini meneruskan usaha dari warung nasi legendaris itu.Â
Yuni bercerita jika harga makanan yang murah meriah ini memang sudah berlaku sejak 50 tahun yang lalu, atau sejak warung nasi itu buka. Harga makanan yang ditawarkan pun memiliki variasi yang cukup beraneka ragam.
Sepiring nasi rames misalnya, hanya dibanderol seharga Rp 4.000,00/piringnya; nasi pecel Rp 5.000,00/piring; dan soto Rp 7.000/mangkuk.Â
Harga makanan tadi adalah harga asli yang belum termasuk dengan harga dari lauk pauk yang seringkali atau mungkin wajib untuk diikutsertakan saat menyatap hidangan tersebut.Â
Lauk tambahan yang dihadirkan pun beranekaragam, seperti telur dadar, ikan lele, ayam goreng, gorengan (tempe dan tahu), dan lainnya.
Adanya lauk tambahan di atas piring sudah barang tentu akan dikenakan biaya tambahan. Namun, tenang saja, harga lauk tambahan pun juga tidak terpaut terlalu mahal dengan harga makanan utamanya.Â
Sebab, merujuk kembali pada pernyataan Yuni di awal tadi, Warung Ijo sejak kehadirannya memang sudah dikonsepkan oleh Mbah Wiro untuk menjadi salah satu warung nasi yang dapat diakses dan dinikmati oleh semua kalangan, tanpa terkecuali.
"Jadi semenjak buka di tahun 1970-an, kalau saya engga salah, memang harga makanan di sini sudah murah meriah mas. Saya juga kurang paham alasannya kenapa, tapi kalau yang saya tahu memang Jogja biaya hidupnya itu rendah mas, jadinya harga makanannya disesuaikan sama UMR juga sih sebetulnya", cerita Yuni.
Selain harga makannya yang murah meriah, Warung Ijo pun juga terkenal dengan cita rasa makanannya yang khas dan berkarakter.Â
Menurut cerita Muhammad (38), yang juga merupakan salah satu cucu dari Mbah Wiro yang juga ikut membantu Yuni, bercerita jika sejak pertama kali buka Warung Ijo secara konsisten tetap menggunakan kayu bakar sebagai bahan baku utama untuk memasak. Kayu bakar menurut ceritanya dinilai lebih ekonomis dan mudah didapatkan.
Di samping itu, kayu bakar juga dinilai sebagai salah satu bahan bakar memasak yang dapat menghasilkan kualitas makanan yang jauh lebih optimal dan berkarakter.Â
Hal ini dibenarkan oleh Yuni, yang juga menceritakan jika kayu bakar sudah menjadi ciri khas dari warung nasi warisan neneknya. Alasan ini dipengaruhi oleh selera lidah dan kebiasaan dari Mbah Wiro yang senang menikmati teh dari hasil rebusan air yang dimasak dengan kayu bakar.
Kebiasaan ini pada akhirnya mempengaruhi metode memasak di warung nasinya, yang serba menggunakan kayu bakar, mulai dari memasak nasi, menggoreng telur, dan merebus air.Â
Dari pengalaman memasak menggunakan kayu bakar, Muhammad menceritakan pada penulis jika pada akhirnya ada begitu banyak pelanggan yang sangat menyukai cita rasa makan yang disajikan, sebab kayu bakar di satu sisi juga dapat menimbulkan memori akan masakan rumah.
"Sekarang udah agak cukup susah untuk nemu warung atau rumah makan gitu ya, yang masih pakai kayu bakar buat masak, apalagi di kota besar kayak Jogja. Jadi, karena kita masih terus pakai kayu bakar untuk masak, mungkin ada juga orang yang merasa kangen sama masakan ibu atau masakan desa yang harumnya itu harum kayu bakar," tutur Muhammad.
Di satu sisi, Muhammad juga menceritakan pada penulis mengenai salah satu menu makanan yang kerap kali dipesan oleh para pelanggan.Â
Muhammad menjelaskan jika nasi rames, telur dadar, dan teh nasgitel (panas, legit, kentel) ada menu yang seringkali dipesan oleh para pelanggan.Â
Muhammad pun kemudian menawarkan menu tersebut pada penulis, maklum itu adalah kali pertama penulis datang dan penasaran dengan sejarah dari warung legendaris tersebut.
Tanpa berpikir panjang, penulis langsung mengiyakan tawaran Muhammad, yakni nasi rames, lengkap dengan lauk telur dadar yang baru diangkat dari penggorengan, ditemani segelas teh nasgitel (panas legit kentel), serta sebatang rokok kretek.Â
Setelah memesan, penulis langsung bergegas mencari tempat duduk di bagian halaman warung, dan tak lama berselang makanan pun tiba. Sekilas, nasi rames yang disajikan sangatlah sederhana.
Pada suapan pertama, perpaduan antara nasi rames dan sayur nangka memainkan elemen yang cukup menarik sekaligus unik di lidah penulis.Â
Nasi hangat yang bercita rasa agak sedikit manis, yang sudah disiram dengan bumbu yang berasal dari kuah sayur nangka menghadirkan cita rasa umami yang cukup khas. Namun, dari dua hidangan tersebut, penulis menilai jika azimat sesungguhnya dari nasi rames Warung Ijo terletak pada telur dadarnya.
Berdasarkan cerita dari teman penulis, telur dadar Warung Ijo menjadi salah satu menu yang wajib dipesan ketika berkunjung ke Warung Ijo. Benar saja, telur dadar Warung Ijo memang memiliki keunikan yang sangat khas.Â
Telur dadar Warung Ijo sekilas memang tampak mirip seperti telur dadar yang biasa kita buat di rumah. Namun, keunikan tersebut berasal dari cara memasaknya yang masih tradisional, yakni menggunakan kayu bakar dan kuali wajan baja.
Metode memasak dengan kayu bakar dan kuali wajan baja memang sedari dulu sudah terbukti mampu menghasilkan kualitas telur dadar yang renyah di bagian luar dan sangat lembut di bagian dalam secara bersamaan.Â
Dengan panas pembakaran yang cenderung stabil dari bara kayu, yang akhirnya berdampak pada stabilnya panas minyak goreng, maka hal ini menciptakan telur dadar yang lebih cepat menggelembung dan mampu mengikat garam yang ada di dalamnya.
Sehingga, tidak mengherankan jika kualitas dari telur dadar yang dimasak dengan kayu bakar dan kuali wajan baja akan menghasilkan mutu yang optimal.Â
Setelah menikmati beberapa suapan nasi rames yang layak disebut comfort food, penulis lantas juga menikmati beberapa teguk teh nasgitel yang masih hangat.Â
Rasa manis gula yang dominan dan rasa asam agak sedikit pahit dari teh merek Tang dan Goalpara, menjadikan racikan teh tersebut memiliki keunikan yang berkarakter.
Setelah puas makan dan minum serta menghabiskan sebatang rokok, penulis kemudian bertanya pada pelanggan lain yang kebetulan duduk dalam satu meja dengan penulis.Â
Sebelum sarapan, Yuni bercerita bahwa keunikan lain dari warung nasi warisan neneknya itu tidak hanya terletak pada makanannya yang murah meriah dan berkarakter. Namun, keunikan tersebut juga dapat ditemukan dari para pelanggan tersebut.
Pernyataan Yuni tadi dipertegas oleh Bambang (56), salah satu pelanggan setia Warung Ijo yang dahulunya merupakan seorang pembalap motor trail dan pemilik bengkel.Â
Selama menjadi pelanggan Warung Ijo, Bambang bercerita jika keunikan dari Warung Ijo dapat ditemukan pada jenis pelanggan yang datang. Menurutnya, pelanggan yang sering berkunjung atau yang sudah menjadi pelanggan tetap Warung Ijo memiliki banyak cerita hidup yang menarik.
Bambang bercerita jika dirinya berteman baik dengan seorang dengan seorang penerjemah bahasa Italia yang kemudian secara tidak sengaja mengajarinya sepatah dua patah kata bahasa Italia dan bercerita tentang budaya serta kebiasaan orang-orang Italia ketika sedang nongkrong di lapak kaki lima.Â
Selain itu, Bambang juga pernah berbincang-bincang dengan seorang mantan penembak jitu, yang bercerita pengalamana hidupnya ketika bertugas di Timor Timur saat operasi Seroja.
Pada tahun politik 2019 kemarin misalnya, Bambang juga pernah berbincang-bincang santai mengenai persoalan kontestasi politik antara Presiden Joko Widodo dengan Prabowo Subianto bersama dengan dengan seorang tukang becak, yang juga merupakan pengusaha perakitan serta produksi karoseri becak motor di rumahnya dan bersama juga seorang pensiun profesor ilmu politik dari sebuah Universitas ternama di Yogyakarta.
Bambang bercerita jika saat itu mereka di sana berbincang dengan seru dalam satu meja yang sama, tanpa ada rasa canggung ataupun malu di antara mereka meskipun saling memiliki status sosial yang berbeda-beda.Â
Di samping itu, Bambang juga bercerita bahwa saat masa awal pandemi COVID-19 disekitaran bulan April 2020, Warung Ijo tetap ramai oleh para pelanggan, meski saat itu angka penularan COVID-19 sedang tinggi-tingginya di Yogyakarta.
Bambang juga bercerita bahwa selama masa awal pandemi tersebut, ada begitu banyak pelanggan yang menjaga jarak saat makan. Tapi lucunya, para pelanggan tersebut lah yang justru terinfeksi COVID-19.Â
Sedangkan, para pelanggan yang tidak menjaga jarak dan tidak mengenakan masker justu malah sehat-sehat saja. Bambang kembali menjelaskan jika Warung Ijo memiliki begitu banyak cerita-cerita uni dan menarik dari para pelanggan.
Di luar dari semua cerita unik yang diutarakan Bambang soal Warung Ijo dan semua hal yang membuatnya hidup,Â
Bambang menjelaskan bahwa satu-satunya hal yang membuat mengapa Warung Ijo sangat istimewa dan berbeda adalah karena tempat ini terbukti mampu merekatkan tali silahturahmi dengan siapapun dari latar belakang yang beragam.Â
Inilah yang membuat mengapa Warung Ijo memiliki daya tarik, selain harga makanan yang murah dan berkarakter khas.
"Dari warung ini saya belajar untuk rendah hati, karena ya memang orang yang sering makan di sini mulai dari tukang becak sampai dengan profesor. Dan ketika ngobrol dengan orang-orang yang beda latar belakang, saya bisa rendah hati dan jadi tahu kalau saya selama ini tidak ada apa-apanya dengan mereka semua", tutur Bambang.
Pada akhirnya, memang tidak ada tempat yang lebih baik, selain warung makan kecil dengan menu makanan murah meriah dan tentunya bisa nerima siapapun dari berbagai kalangan.Â
Begitulah Yogyakarta, selalu bisa menyajikan sesuatu yang berbeda dan pastinya selalu dapat membuat rindu setiap orang yang pernah berkunjung ke mari. Kira-kira, ada kah pembaca yang ingin berkunjung ke sini untuk menyantap sepiring ramesan lengkap dengan telur dadar dan segelas teh nasgitel? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H