Hal ini dikonfirmasi secara langsung oleh Yuni (43), cucu pertama dari Mbah (Nenek) Wiro, pendiri sekaligus pemilik dari Warung Ijo yang kini meneruskan usaha dari warung nasi legendaris itu.Â
Yuni bercerita jika harga makanan yang murah meriah ini memang sudah berlaku sejak 50 tahun yang lalu, atau sejak warung nasi itu buka. Harga makanan yang ditawarkan pun memiliki variasi yang cukup beraneka ragam.
Sepiring nasi rames misalnya, hanya dibanderol seharga Rp 4.000,00/piringnya; nasi pecel Rp 5.000,00/piring; dan soto Rp 7.000/mangkuk.Â
Harga makanan tadi adalah harga asli yang belum termasuk dengan harga dari lauk pauk yang seringkali atau mungkin wajib untuk diikutsertakan saat menyatap hidangan tersebut.Â
Lauk tambahan yang dihadirkan pun beranekaragam, seperti telur dadar, ikan lele, ayam goreng, gorengan (tempe dan tahu), dan lainnya.
Adanya lauk tambahan di atas piring sudah barang tentu akan dikenakan biaya tambahan. Namun, tenang saja, harga lauk tambahan pun juga tidak terpaut terlalu mahal dengan harga makanan utamanya.Â
Sebab, merujuk kembali pada pernyataan Yuni di awal tadi, Warung Ijo sejak kehadirannya memang sudah dikonsepkan oleh Mbah Wiro untuk menjadi salah satu warung nasi yang dapat diakses dan dinikmati oleh semua kalangan, tanpa terkecuali.
"Jadi semenjak buka di tahun 1970-an, kalau saya engga salah, memang harga makanan di sini sudah murah meriah mas. Saya juga kurang paham alasannya kenapa, tapi kalau yang saya tahu memang Jogja biaya hidupnya itu rendah mas, jadinya harga makanannya disesuaikan sama UMR juga sih sebetulnya", cerita Yuni.
Selain harga makannya yang murah meriah, Warung Ijo pun juga terkenal dengan cita rasa makanannya yang khas dan berkarakter.Â
Menurut cerita Muhammad (38), yang juga merupakan salah satu cucu dari Mbah Wiro yang juga ikut membantu Yuni, bercerita jika sejak pertama kali buka Warung Ijo secara konsisten tetap menggunakan kayu bakar sebagai bahan baku utama untuk memasak. Kayu bakar menurut ceritanya dinilai lebih ekonomis dan mudah didapatkan.