Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mencintai Keindahan Takdir di 2021

12 Januari 2022   08:00 Diperbarui: 13 Januari 2022   10:08 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari pasien sembuh COVID-19 | kabar24.bisnis.com

Bersyukur dan menikmati keindahan adalah hal yang penting, sekalipun itu berasal dari keadaan yang tidak baik-baik saja.

Pergantian tahun 2022 sudah tiba, tidak terasa pula sudah ada banyak jejak yang kita tinggalkan dibelakangnya dan tidak mungkin untuk dilihat kembali atau mungkin diputar ulang. 

Tahun 2021 mungkin menjadi tahun yang amat berat bagi semua orang, khususnya di bulan Juli sampai Agustus kemarin. Tidak bisa dibayangkan, betapa besarnya rasa duka yang dialami oleh masyarakat Indonesia di tahun 2021 lalu, akibat keganasan virus korona varian Delta.

Tahun 2021 mungkin akan selalu kita kenang sebagai tahun disaster atau tahun bencana. Selain menjadi tahun bencana, tahun 2021 (mungkin) juga menjadi tahun terakhir kuliah saya. 

Sebagai mahasiswa tingkat akhir, saya memiliki tugas dan kewajiban yang super klasik, yakni menyusun sebuah skripsi (penelitian) agar mampu meraih gelar akademik sarjana satu (S1) sebagai salah satu syarat kelulusan untuk mengakhiri pendidikan ilmu komunikasi saya.

Selama menyusun skripsi saya melewati begitu banyak jalan yang berlika-liku, salah satunya adalah kejadian di tanggal 23 Juli 2021, yakni terinfeksi COVID-19. 

Mungkin cerita yang akan saya bagikan di sini cukup hiperbolik bagi sebagian pembaca. Namun, cerita inilah yang justru memotivasi saya untuk bersyukur dan menemukan momen indah 2021 kemarin yang akan saya bagikan pada pembaca sekalian di event Kjog yang diselenggarakan oleh Kompasianer Jogja (KJog).

Tepat di hari Jumat siang tanggal 23 Juli 2021, kedua kaki saya seolah tidak dapat menopang berat tubuh saya sendiri, padahal saat itu saya sedang tidak berdiri terlalu lama. Badan terasa lemas dan tampak payah untuk berjalan kaki. 

Saya rasa, saya hanya kelelahan, setidaknya itu lah yang bisa membuat saya agak lebih tenang, alih-alih overthinking memikirkan suatu penyakit. Setelah membeli makan siang dan menyantapnya di rumah, saya memutuskan untuk tidur siang.

Saat bangun dari tidur, saya mendapati bahwa kondisi kesehatan saya tidak kunjung membaik. Akhirnya saya pun memutuskan untuk berobat ke klinik terdekat. 

Saat diperiksa oleh dokter, hanya ada satu kalimat yang selalu terlintas dipikiran saya "positif". 

Pikiran ini tentu tidak datang begitu saja, mengingat sang dokter pun juga banyak melempar pertanyaan yang amat sangat berkaitan dengan COVID-19. Di akhir pemeriksaan medis, dokter menyarankan saya untuk segera istirahat.

Di samping itu, saya juga diminta untuk segera melakukan tes COVID-19 paling lambat tiga hari setelah pemeriksaan pertama. Tes ini berguna untuk memberikan diagnosa yang jelas dan terukur, jika gejala yang saya alami belum menunjukkan tanda-tanda pulih. 

Setelah berobat, gejala yang saya alami makin bertambah. Jika tadi hanya mengalami lemas dan lesu, kali ini saya mengalami batuk dan pilek; demam; menggigil; sakit kepala; nyeri otot; dan nyeri sendi hebat.

Singkat cerita, di hari Senin, tanggal 26 Juli 2021 jam 15.45 WIB, karena kondisi saya tidak membaik, akhirnya saya memutuskan unuk tes swab antigen dan hasil tes saya dinyatakan positif COVID-19. 

Saya terkejut dan takut ketika tahu bahwa saya terinfeksi penyakit yang saat ini sudah merenggut jutaan nyawa. Pikiran saya kalang kabut dan saya jelas ketakutan. Saya khawatir akan diri saya, mana lagi saya memiliki GERD yang sangat beresiko jika terinfeksi COVID-19. 

Saya langsung memberi tahu kepada kedua orang tua dan adik yang saat itu tinggal bersama saya, bahwa saya telah terinfeksi COVID-19. Tidak lama berselang setelah makan siang yang cita rasanya hambar karena adanya gejala anosmia dan augesia, akhirnya saya memutuskan untuk melakukan tes swab PCR, mana tahu kalau ternyata swab antigen saya negatif COVID-19. Swab PCR saat itu masih ada kisaran harga Rp 700.000,00 dan memakan waktu yang lama.

Memasuki keesokan harinya, hasil swab PCR saya tetap dinyatakan positif COVID-19. Di hari itu, adik saya langsung bergegas menyiapkan sebuah "kamar karantina" di kontrakan kami. 

Di kamar itulah saya menjalani karantina selama dua minggu lamanya. Kondisi badan saya semakin buruk; makin payah untuk berjalan; makin sakit untuk menelan makanan; kehilangan penciuman dan pengecapan; dan perut serta dada saya selalu terasa sakit ketika mengambil napas panjang.

Namun, bukan hanya karena COVID-19 saja yang membuat hari-hari saya menjadi sangat berat. Hutang skripsi menjadi hal utama yang selalu ada dalam benak dan sangat membebani pikiran saya. 

Coba pembaca bayangkan, saya sudah mulai menyusun skripsi dari bulan Januari 2021. Selama proses penyusunan itu, saya sempat sekali mengganti topik penelitian saya di awal bulan Maret dan akhirnya mengalami banyak pergantian arah penelitian beberapa kali.

Dalam masa karantina, saya masih harus dibuat kembali sedih dengan sejumlah instastroy dari teman-teman kuliah saya yang beberapa diantaranya sudah bisa merayakan kelulusannya dengan bangga dan gegap gempita. 

Dalam situasi yang sudah kalang kabut karena skripsi yang selalu membengkak di proposal yang rasanya selalu kurang tepat untuk diimplementasikan dan penyakit ganas yang saya idap, saya hanya bisa menangis meratapi dan merasakan itu semua.

Saya hampir menyerah waktu itu. Namun, saya selalu ingat bahwa hidup memang pahit, dan kepahitan itu sudah dikehendaki oleh semesta untuk terjadi demikian. Minimal, sebagai manusia yang lemah dan kecil saya masih bisa bergerak, melakukan aktivitas, dan menikmati hidup. 

Perlahan saya juga mulai mengubah pola pikir mengenai nasib yang sedang menimpa saya di waktu-waktu itu, supaya saya kiranya menjadi sedikit lebih tenang selama masa pemulihan. Di waktu-waktu itu, saya hanya bisa fokus pada penyakit yang saya idap. 

Saat itu, saya mulai secara rutin menjaga pola makan, melalukan perenggangan, berjemur di bawah sinar matahari pagi, melakukan latihan pernafasan, istirahat yang cukup, dan lebih banyak menghabiskan waktu menyaksikan acara komedi serta mengobrol dengan teman-teman terdekat saya. Di masa-masa tersebut, saya hanya bisa melakukan apapun yang bisa membuat saya senang, itu saja.

Jika kemudian pembaca bertanya, di mana kah momen keindahan yang saya rasakan selama tahun 2021 kemarin, saya akan menjawab bahwa letak keindahan itu ada pada peristiwa COVID-19 itu sendiri. 

Meski saya sedih karena sudah dibuat menderita dengan skripsi dan penyakit, namun saya berpikir bahwa terinfeksi COVID-19 lah yang justru mengajarkan saya menemukan keindahan dan bersyukur dibalik semua penderitaan hidup yang saya alami,

Saya bersyukur karena saya terinfeksi COVID-19 setelah selesai seminar proposal. Minimal hutang kuliah saya saat itu sudah berkurang satu. Selain itu, saya bersyukur karena selama karantina saya banyak dibantu oleh orang-orang baik disekitar saya. 

Ada yang membantu berobat secara online, ada yang membantu mencarikan obat, ada yang membantu menjadi teman bercerita, dan lainnya. Di samping itu, kehadiran keluarga besar juga menjadi salah satu hal yang berharga.

Selama masa karantina, keluarga besar saya secara inisiatif mengadakan doa rosario untuk memohon kesembuhan dan keselamatan bagi saya secara pribadi serta keluarga dari kerabat saya yang juga sedang berjuang melawan COVID-19.

Selain doa, banyak kerabat dari keluarga besar saya yang juga secara swadaya mengirimkan makanan, obat, vitamin, dan alat-alat sanitasi. Hal-hal seperti inilah yang kemudian menjadikan momen terkena COVID-19 sebagai hal yang indah.

Saya jujur saja bingung ketika ditanya "apa momen terindah mu sepanjang tahun 2021 kemarin?" Kebingungan ini jelas bersumber dari banyak masalah yang menimpa saya. 

Namun, saat terkena COVID-19 dan terlebih waktu saya mengubah cara berpikir, saya baru tahu bahwa terinfeksi COVID-19 adalah suatu keindahan juga, karena saya bisa istirahat lebih lama dan memiliki alasan kenapa saya harus beristirahat lebih lama serta tidak mengerjakan apapun selama itu.

Saya juga bisa makan makanan yang lezat dan belum tentu bisa saya beli dengan uang saku saya; saya juga bisa ngobrol dengan banyak sekali teman-teman terdekat saya, yang sudah bersedia membantu untuk meringankan beban psikologis saya selama masa karantina kemarin, dan saya pada akhirnya dapat menemukan ide untuk membuat arah penelitian baru saat masa karantina kemarin dari hasil membaca beberapa sumber digital serta bantuan dari kenalan saya.

Singkat cerita setelah dinyatakan negatif COVID-19, saya dapat kembali melakukan aktivitas. Namun, momen keindahan selepas terinfeksi COVID-19 pun masih terus saya rasakan. 

Di waktu-waktu berikutnya, saya sudah bisa melaksanakan penelitian, seperti melakukan pengambilan data, transkrip data, dan penyajian data. Selain itu saya juga telah berhasil mendapatkan vaksin COVID-19 dosis lengkap, yang membuat imunitas saya menjadi semakin optimal.

Saya juga merasakan, bahwa selama masa karantina saya memiliki waktu yang cukup untuk berefleksi dan melakukan brainstorm dengan diri saya sendiri dalam menemukan arah penelitian baru yang tepat.

Saya juga menyadari bahwa proses penyusunan skripsi yang sudah saya lakukan memang tidaklah mudah. Mak dari itu, lewat peristiwa COVID-19 saya diajak untuk melihat keindahan bahwa saya diperkenankan untuk menepi sejenak menikmati hidup.

Pada akhirnya saya percaya, bahwa hidup tidak akan pernah baik-baik saja. Namun, yang baik-baik saja adalah cara berpikir kita atas semua peristiwa hidup yang terjadi. 

Setidaknya itulah nilai mengenai amor fati atau mencintai takdir dari filosofi teras yang bisa saya bagikan kepada para pembaca sekalian. Kita mungkin tidak bisa melihat keindahan dibalik sesuatu yang buruk, sama seperti melihat air yang jernih dan sehat dibalik air yang keruh.

Namun, keindahan itu perlahan bisa kita peroleh dari cara berpikir dan cara kita dalam menyikapi serta merasakan semua hal-hal buruk yang terjadi pada kita. Ingatlah, tidak ada satupun orang atau peristiwa yang dapat merenggut kebahagian kita. 

Kita sendiri yang menemukan kebahagian kita, dan kebahagian serta keindahan yang bisa saya dapat di tahun kemarin adalah terinfeksi COVID-19. Lalu, kira-kira apa momen keindahan pembaca di tahun lalu? Mari bercerita :).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun