Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ketika Berita Pemerkosaan di Bingkai Selayaknya Stensilan

13 Oktober 2021   08:00 Diperbarui: 13 Oktober 2021   11:42 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengenai tindakan pemerkosaan | suara.com

Berita mengenai isu pemerkosaan seharusnya bersifat positif dan melindungi korban, bukan dibentuk layaknya cerita stensilan.  

Di tengah penetrasi internet, media online memainkan kunci penting dalam percepatan sirkulasi berita, yang pada akhirnya berdampak pada semakin fleksibelnya masyarakat dalam mengakses dan mengkonsumsi berita. 

Hal ini, di satu sisi juga ikut mendorong lahirnya konten-konten yang semakin beragam dan semakin konvergen di setiap medianya. Salah satu konten yang semakin banyak berkembang akibat penetrasi media online adalah konten mengenai seksualitas.

Sebagai makhluk yang memiliki sense of humanity, kehidupan manusia tidak terlepas dari urusan seksualitas. Maka dari itu, tidak lah mengherankan jika fenomena seksualitas kerap kali dihadirkan di banyak media online sebagai suatu komoditas berita. 

Akan tetapi, berbagai fenomena seksualitas kerap kali dibingkai dalam tensi pemberitaan yang rumpang terhadapnya, khususnya bagi berita yang berfokus pada pembahasan soal isu pemerkosaan.

Tidak jarang kita dapat menemukan adanya berita yang mendramatisir dan mempercantik isu-isu sensitif seperti ini, layaknya menggunakan judul-judul yang bombastis dan framing yang justru mengglorifikasi pelaku pemerkosa.

Lalu, mengapa isu-isu seksualitas, yang dalam konteks ini adalah isu pemerkosaan seringkali dibingkai oleh media dalam tensi yang mendeskreditkan korban, selayaknya cerita sentisilan yang menarik untuk diimajinasikan oleh para pembacanya?

Maka dari itu, dalam artikel ini, penulis akan mencoba untuk mencari tahu masalah tersebut dengan melakukan mini riset terhadap berbagai media online yang sering memberitakan isu-isu pemerkosaan dalam bingkai yang bombastis dan menyimpang. 

Penulis akan menganalisis berita-berita yang kerap membingkai isu-isu pemerkosaan tersebut dan kemudian menganalisisnya secara lebih lanjut degan menggunakan pendekatan teori objektifikasi dan framing.

Pengantar singkat teori objektifikasi

Teori objektifikasi digunakan untuk menganalisis kecenderungan masyarakat terhadap penempatan perempuan dalam ekosistem media online. Menurut Frederickson & Roberts (1997), teori objektifikasi menjelaskan bahwa kita hidup di masyarakat dimana tubuh perempuan merupakan objek yang bisa dimanfaatkan sebagai komoditas. Perempuan menjadi objek diam dan tubuhnya adalah satu-satunya hal yang diberi perhatian oleh masyarakat.

Praktik objektifikasi merupakan bentuk dari patriarki yang merupakan konsep mengenai sistem sosial yang menempatkan anggota masyarakatnya yang memiliki sifat dan karakteristik maskulin memiliki posisi yang lebih tinggi (Akgul, 2017). 

Patriarki merupakan konsep yang kompleks dan berkaitan dengan sejarah manusia serta peran-peran gender yang telah menjadi panduan hidup dan budaya bagi berbagai jenis masyarakat dari seluruh dunia.

Menurut Walby (1989), praktik patriarki menciptakan kesenjangan antara posisi perempuan dan laki-laki dan menjadi dasar kritik terhadap relasi gender (Walby, 1989). 

Masyarakat yang menganut sistem patriarki cenderung memiliki pengabaian terhadap kelompok sub-ordinat, dalam hal ini adalah perempuan. Dalam media, sub-ordinat kerap kali direpresi dalam pemberitaan koran kuning yang sarat dengan judul-judul bombastis dan mendeskreditkan derajat perempuan.

Meskipun kini koran kuning tidak lagi menjamur, namun masih banyak media yang mengemas pemberitaan mengenai perempuan dengan menggambarkannya sebagai objek bukan individu yang merdeka. 

Berbagai media yang tidak dikategorikan sebagai koran kuning, baik online maupun offline terkadang masih menampilkan pemberitaan kekerasan perempuan dengan cara yang merendahkan dan melecehkan perempuan sebagai korban.

Pengantar singkat teori framing  

Menurut Pedersen (2017), framing merupakan cara media, khususnya media berita (baik media online ataupun offline) untuk menampilkan fokus tertentu dalam berbagai produk media yang mereka hasilkan. 

Dalam framing media akan mengesampingkan hal-hal tertentu dalam suatu pemberitaan dan mengunggulkan hal-hal lainnya yang dianggap penting. Tujuan framing biasanya berkaitan dengan ekonomi politik yang ada di masyarakat.

Teori framing digagas oleh Erving Goffman melalui karyanya yang berjudul "Frame Analysis". Menurut Goffman (1974), seorang individu melakukan penafsiran terhadap semua hal yang ada di dunia berdasarkan kerangka berpikir (framework) utama mereka yang telah mereka terima dan mereka yakini sebagai hal yang benar. Dalam konteks framing, Baran & Davis (2009) menjelaskan kerangka (frame) dari media dihadirkan melalui kerangka berpikir individu dari pekerjanya.

Ilustrasi mengenai framing media | komunikasipraktis.com
Ilustrasi mengenai framing media | komunikasipraktis.com

Ketika dihadapkan dengan suatu isu, media melalui pekerjanya akan memberikan atensi tertentu pada fokus yang sudah terbentuk di kerangka berpikirnya. Kemudian pekerja media akan menghasilkan produk yang sesuai dengan frame tersebut. 

Jika suatu pekerja media memiliki framework yang positif, maka hasil produk media menjadi positif. Namun, jika pekerja media memiliki framework negatif, maka produk media yang dihasilkan kemungkinan juga negatif.

Hasil analisis dan pembahasan*

Dalam artikel ini, penulis menganalisis 12 berita dari tiga portal berita, di mana di dalam satu portal berita akan ada empat berita dengan topik pemerkosaan yang menjadi fokus pada analisis artikel ini. 

Ketiga portal berita yang penulis pilih didasarkan pada hasil survei pemeringkatan yang dilakukan oleh lembaga survei media, Alexa. Tiga portal berita yang menduduki tiga peringkat teratas lah yang penulis pilih untuk melihat tensi pemberitaan terhadap isu pemerkosaan.

Penulis akan menggunakan metode analisis framing, dengan pendekatan model dari Pan dan Kosicki (Eriyanto, 2005) untuk mencari tahu dan menganalisis kalimat-kalimat yang terkait dengan tensi pemberitaan yang disajikan dalam tiap-tiap artikel. Analisis teks akan difokuskan pada aspek judul dan isi berita, di mana penulis akan berusaha untuk mencari kata-kata hiperbolik yang kerap kali digunakan sebagai pemanis oleh media online untuk mendramatisir cerita.

Berdasarkan keseluruhan berita yang telah penulis analisis, penulis mendapatkan fakta bahwa media-media besar nyatanya belum cukup mengerti etika dan hukum yang seharusnya dipakai dalam melakukan peliputan dan penulisan berita mengenai perbuatan serta permasalahan asusila, seperti kasus pemerkosaan. Kasus kekerasan seksual kebanyakan digambarkan secara detail dan cukup mengganggu privasi dari korban yang mengalami tindakan pemerkosaan.

Total dari 12 berita yang telah dianalisis, penulis mendapatkan bahwa sembilan berita di antaranya sangat frontal dalam menggambarkan kronologi kejadian pemerkosaan. Hal tersebut dapat ditemukan dari penjabaran wartawan dalam menggambarkan kronologi kejadian secara detail, mulai dari bagaimana korban dan pelaku bertemu; bagaimana cara pelaku mempengaruhi korban, di mana tempat dilakukannya hubungan asusila; alasan pemerkosaan; dan lain sebagainya.

Penjelasan kronologi yang detail dari setiap berita juga ditambah dengan penggunaan kata-kata hiperbolik yang justru semakin mendeskreditkan korban pemerkosaan. Munculnya kata-kata hiperbolik seperti  "digarap"; "melampiaskan nafsu bejat"; "bokong"; "paha mulus"; "mencabuli"; "digagahi"; "rudapaksa"; dan lainnya, adalah serangkaian kata-kata hiperbolik yang kerap penulis temukan dari masing-masing berita yang bermasalah.

Selain itu, ada sekitar tiga berita yang menggunakan kata ganti untuk korban dengan nama bunga, seperti "mawar" dan "melati". Kehadiran kata ganti untuk menutupi nama korban, yang seyogyanya rancu dan cenderung merendahkan kedudukan korban pemerkosaan, semakin membuktikan bahwa korban dalam berita-berita tersebut dibingkai sebagai objek yang rendah dan justru cenderung mendapatkan persekusi psikis secara tidak langsung.

Dari hasil analisis tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa media-media besar di Indonesia masih kurang memahami rangkaian etika standar yang seharusnya dipakai oleh para wartawan dalam melakukan peliputan dan penulisan berita mengenai kasus pemerkosaan. Berita-berita yang disajikan cenderung mengarah pada bentuk objektifikasi perempuan secara gender dalam segi yang keras, seperti dicap kaum sub-ordinat, perlu dilindungi, lemah, dan lainnya.

Dari berita-berita tersebut juga, alih-alih mendukung perlindungan terhadap korban, media justru membingkai permasalahan asusila ini selayaknya suatu peristiwa sosial sensitif yang perlu dirayakan dan diketahui secara senasional oleh publik. Pendekatan bahasa dan kalimat yang lancang serta tidak terpuji dalam berita tersebut, tentu tidak terlepas dari struktur sosial masyarakat yang menganggap laki-laki lebih tinggi derajatnya dari pada perempuan (patriarki). 

Perempuan mengalami objektifikasi pada tubuh mereka, yang sering kali dimanfaatkan oleh media sebagai komoditas berita. Sebagai contoh, dari 12 berita yang telah dianalisis, penulis setidaknya menemukan ada sekitar lima berita yang mengobjektifikasi tubuh korban perkosaan. Kalimat-kalimat yang digunakan pada bagian judul ataupun isi berita pun secara gamblang menggambarkan bagian tubuh perempuan yang telah dilengkapi dengan kata-kata senonoh nan hiperbolik.

Ilustrasi mengenai objektifikasi tubuh perempuan di media | qureta.com
Ilustrasi mengenai objektifikasi tubuh perempuan di media | qureta.com

Kata-kata layaknya "paha mulus"; "bokong padat"; "tubuh semok"; dan lainnya, semakin menggambarkan bahwa berita-berita yang menyinggung soal isu seksualitas layaknya pemerkosaan didasarkan pada selera seksual patriarki (laki-laki), yang dianggap sebagai kelompok gender paling tinggi dalam kelasnya. Hadirnya kata-kata ini, di satu sisi juga semakin membuktikan bahwa jurnalisme kuning masih ada dan lestari higga saat ini.

Dari masalah ini, menurut Evi (2018), ada dua etika dasar dalam peliputan kasus pemerkosaan. Pertama, lindungi identitas korban, seperti nama, nama sekolah, tempat tinggal, dan lainnya. Kedua, jangan gambarkan dan tuliskan peristiwa secara sensasional yang justru mengarah pada objektifikasi perempuan. Dua hal ini adalah kunci penting untuk menghindari terciptanya salah kaprah bagi pembaca dalam menganalisis dan memahami konteks.

Liputan media yang adil adalah liputan yang secara keras mendukung dan membela korban (Evi, 2018). Alasannya adalah karena kasus kekerasan seksual dan asusila merupakam suatu bentuk relasi kuasa yang timpang, dimana dalam konteks peliputan media di Indonesia, kebanyakan masyarakat yang membaca berita mengenai pemerkosaan justru mengambil sikap dengan membela pelaku dan menyalahkan korban.

Dalam menggambarkan sebuah kronologi pemerkosaan, rinci atau tidaknya sebuah peliputan kasus kekerasan seksual dan asusila harus mendapatkan kesepakatan antara korban dan penulis. Namun, satu hal yang tak bisa ditawar adalah keputusan dalam menulis berita kekerasan seksual harus berdasarkan kepentingan korban, bukan jumlah pembaca yang diinginkan. Inilah sebuah bentuk kesalahan lain yang kerap kali masih dilakukan oleh media.

Media cenderung malas untuk melakukan analisis berdasarkan sudut pandang korban serta kurang banyak mengundang narasumber lain, seperti saksi mata, orang tua korban, lembaga perlindungan dan lainnya. Dari kedua belas berita yang telah dianalisis, kebanyakan berita tersebut mengambil sudut pandang dari hasil temuan polisi saja, sehingga berita kekerasan seksual selalu tidak pernah memiliki keberdalaman, yang sebetulnya dapat menciptakan dukungan terhadap korban.

Apabila dikaitkan dengan regulasi yang mengatur mengenai seksualitas dan pedoman pemberitaan, maka 12 pemberitaan tersebut telah melanggar dua regulasi media, yakni Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak. Dalam Kode Etik Jurnalistik, para wartawan sejatinya sudah melanggar Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik Tahun 2006, yang berbunyi "Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul".

Selain itu, dari 12 pemberitaan yang telah dianalisis, beberapa jurnalis juga tidak mengikuti dan mengindahkan butir kedua pada Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, yang secara spesifik menyinggung perempuan dan seksualitas, yaitu "Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis."

Sebagian besar dari korban pemerkosaan tersebut masih dibawah umur, namun pemberitaan yang dilakukan, baik dari segi pemilihan diksi, kata maupun angel berita yang disajikan masih terasa vulgar dan mengobjektifikasi perempuan sebagai "objek pelampiasan". Meskipun sepele, berita-berita yang tidak mematuhi regulasi Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak tersebut dampak menyebabkan dampak-dampak sosial dan psikologi yang cukup besar.

Solusi yang dapat diberikan untuk dapat menghentikan perilaku buruk seperti ini harus dilakukan dari dua pihak, yakni dari lembaga regulator maupun dari media itu sendiri. Dari pihak regulator, ada baiknya lebih tegas dalam menindaklanjuti berita-berita pemerkosaan yang bermasalah dan memberi sanksi pada media-media yang bersangkutan. Regulasi yang ketat dari para pembuat kebijakan diharapkan dapat semakin meningkatkan ketaatan jurnalis terhadap aturan hukum.

Dari pihak media yang memproduksi berita, alangkah baiknya jika media lebih mengedepankan fakta dari peristiwa yang terjadi dengan memposisikan dirinya di pihak korban pemerkosaan. Korban adalah pihak yang jauh lebih membutuhkan pertolongan, dan pelaku yang seharusnya justru mendapatkan perundung dalam berita-berita tersebut. Hal ini menjadi fokus penting karena media sesungguhnya memiliki tugas untuk menghapuskan budaya patriarki di masyarakat.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna dan utuh, terkhususnya dari segi analisis. Sampel berita yang digunakan masih belum mencukupi untuk mendukung kebulatan data. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap tingkat kedalaman analisis yang dibuat oleh penulis. Maka, penulis berharap semoga tulisan ini menjadi pintu gerbang untuk membuka riset dan analisis lanjutan mengenai framing berita pemerkosaan di media-media online.

Keterangan (*): 

analisis dapat diakses publik

Daftar Pustaka:

Fredrickson, B. L., & Roberts, T.-A. (1997). Objectification Theory: Toward Understanding Women's Lived Experiences and Mental Health Risks. Psychology of Women Quarterly, 21(2), 173--206.

Akgul, F. (2017). Understanding Patriarchy. Patriarchal Theory Reconsidered, 29--65.

Walby, S. (1989). Theorising Patriarchy. Sociology, 23(2), 213--234.

Pedersen, R. (2017). Media framing. In F. Moghaddam (Ed.), The SAGE encyclopedia of political behavior (pp. 477-477). Thousand Oaks, CA: SAGE Publications, Inc.

Goffman, E. (1974). Frame Analysis: An Essay on the Organization of Experience. New York: Harper & Row.

Eriyanto (2005). Analisis Framing. Yogyakarta: LKis.

Baran, Stanley J. & Davis, Dennis K. (2009). Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, Future. Stamford: Cengage Learning.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun