Etika jurnalisme tidak hanya berlaku bagi para wartawan profesional, tapi juga bagi jurnalis warga
"Bijak bermedia sosial adalah kunci untuk 'selamat' di masa serba digital seperti sekarang". Penggalan nasehat tadi mungkin terdengar cukup familiar bagi sebagian besar orang. Media sosial memang telah menjadi bagian yang tak terlepaskan dari kehidupan kita sehari-hari. Saat ini kita berbisnis; mendapatkan informasi; berbagi informasi; dan seterusnya, semuanya melalui media sosial yang kita punya (Zaenudin, 2012).
Media sosial sudah menjadi suatu kebutuhan dasar yang sangat penting bagi masyarakat yang hidup di era Revolusi Industri 4.0. Selain itu, media sosial di satu sisi ternyata juga semakin memampukan kita untuk memiliki suatu otonomi berupa otonomi pesan, yang nantinya akan berdampak pada semakin mampunya kita untuk berbagi informasi; mewartakan suatu peristiwa; mereproduksi suatu isu; dan lainnya, secara jauh lebih terbuka dan bebas.
Fenomena otonomi ternyata juga semakin membawa masyarakat untuk mampu memainkan peran ganda dalam kehidupan bermedia mereka. Peran ganda yang penulis maksud adalah masyarakat kini tidak hanya sekadar menjadi konsumen pesan, namun mereka juga dapat menjadi seorang produsen pesan. Fenomena di mana kini semua orang dapat menjadi seorang produsen dan konsumen pessan dikenal sebagai fenomena citizen journalism (jurnalisme warga).
Citizen journalism adalah suatu fenomena komunikasi di mana warga masyarakat menggunakan berbagai alat komunikasi yang mereka miliki untuk melakukan kegiatan pers amatir, saling berbagi informasi dan menyampaikan opini terhadap suatu isu secara terbuka di ruang publik daring (online) (Rosen dalam Licitar, 2018). Kemunculan citizen journalism adalah respon masyarakat yang tidak puas dengan kinerja dari media konvensional.
Menurut Blek dalam Licitar (2018) faktor utama yang memicu lahirnya jurnalisme warga juga dipengaruhi oleh tumbuhnya kekuatan ekonomi dan politik dari warga kelas menengah, di mana warga kelas menengah ini tidak cukup merasa puas dengan kinerja dari media konvensional yang juga dibarengi oleh munculnya keinginan dari mereka untuk bersuara dan didengarkan oleh pihak lain, seperti pemerintah misalnya.
Selain itu, citizen journalism juga membawa dampak yang cukup signifikan dalam kehidupan bermedia di masyarakat. Yang pertama, citizen journalism dapat membuka ruang komunikasi dan komentar yang jauh lebih luas bagi masyarakat dalam menyampaikan kritik, pujian ataupun opini. Kedua, citizen journalism juga berkontribusi menambah pendapatan masyarakat dari membantu tugas seorang jurnalis profesional dalam melakukan peliputan dan penulisan artikel berita.
Meskipun citizen journalism memiliki fungsi dan peran yang penting bagi masyarakat, namun menurut Zaenudin (2012) citizen journalism juga menjadi pihak yang turut berkontribusi dalam menyebarkan misinformasi dan disinformasi di media sosial. Salah satu contoh konkretnya adalah banyak dari mereka yang tidak memahami kaidah jurnalisme yang baku, dalam mencari; meliput; menulis; dan menyampaikan hasil berita yang berguna serta berimbang bagi masyarakat.
Pernyataan Zaenudin juga di dukung oleh sebuah hasil riset kolaboratif yang dilakukan oleh Kemenkominfo dan Katadata Insight Center (2020), yang berhasil mengungkapkan bahwa media sosial menjadi media yang paling dipercaya oleh masyarakat Indonesia sekaligus juga menjadi menjadi media yang paling banyak memiliki disinformasi dan misinformasi di dalamnya. Tingkat kepercayaan publik terhadap media sosial menurut hasil survei tersebut mencapai angka 76%.
Meski mendapatkan kepercayaan yang tinggi, namun nyatanya media sosial justru menjadi tempat bagi berkembangnya hoaks yang palng besar. Berdasarkan hasil survei tersebut, ada tiga media sosial yang paling banyak memiliki hoaks. Facebook menduduki peringkat pertama sebagai media sosial yang paling banyak memiliki disinformasi dan misinformasi, sebesar 71,9%; disusul Whatsapp sebesar 31,5%; dan terakhir Youtube sebesar 14,9%.
Meski Facebook menurut hasil survei tersebut adalah media sosial yang paling banyak memiliki disinformasi dan misinformasi di dalamnya, namun ternyata Facebook bukanlah media sosial yang paling dipercaya oleh masyarakat Indonesia. Kenyataannya, Whatsapp justru menjadi media sosial yang paling dipercaya oleh masyarakat, yakni dengan presentase sebesar 55,2%. Di Peringkat kedua terdapat Facebook sebesar 27%; dan kemudian yang terakhir Instagram sebesar 11,9%.
Maraknya peredaran disinformasi dan misinformasi (hoaks) di media sosial, pada dasarnya dipengaruhi oleh aktivitas dari citizen journalism yang tidak memahami bagaimana kaidah jurnalisme yang baku dalam mencari; meliput; menulis; dan menyampaikan hasil berita atau informasi bagi masyarakat (Zaenudin, 2012). Kaidah jurnalisme dalam pengertian yang lebih luas bersinggungan dengan pemahaman dan implementasi etika jurnalisme.
Meskipun banyak dari citizen journalism yang dalam praktiknya tidak memahami kaidah jurnalisme yang baku, dalam mencari; meliput; menulis; dan menyampaikan hasil berita, namun menurut Annur dan Yudhapramesti (2020), karena citizen journalism adalah bagian dari jurnalisme maka seharusnya citizen journalism mematuhi etika jurnalisme yang berlaku, agar mereka dapat baik secara moral dan dapat menghasilkan artikel yang berkualitas bagi masyarakat.
Menurut Savitri (2017) kegiatan citizen journalism pada dasarnya tidak bisa terlepas dari etika jurnalistik. Namun, karena citizen journalism adalah kegiatan jurnalisme yang cenderung bebas, dan terbuka, maka dalam praktiknya ada berbagai produk informasi dari citizen journalism yang sulit dipertanggungjawabkan, baik dari segi keabsahan berita maupun dari bagaimana mereka memahami dan menerapkan etika jurnalisme dalam membuat konten yang berkualitas.
Meski etika jurnalisme terdengar cukup formal untuk diterapkan di dalam praktik citizen journalism, namun sejatinya etika jurnalisme tetap dan akan sangat diperlukan di dalam setiap kegiatan jurnalisme apapun, termasuk citizen journalism. Menurut Antonius Darmanto, selaku peneliti BPSDMP Kominfo Yogyakarta, menjelaskan bahwa jurnalisme warga (citizen journalism) adalah suatu fenomena yang lahir dari otonomi pesan.
Otonomi pesan kini memampukan siapapun untuk dapat memproduksi pesan; mereproduksi suatu isu; melakukan kegiatan jurnalisme amatir; berbagi informasi; dan lainnya. Selain membawa keuntungan, otonomi pesan juga menjadi titik awal dari semakin berkembang dan terbukanya demokrasi dan kebebasan bersuara di abad ke-21, yang mana salah satu hasil dari perkembangan dan merebaknya otonomi pesan adalah lahirnya fenomena citizen journalism di masyarakat.
Namun, banyak dari para pelaku citizen journalist yang lupa, jika kegiatan jurnalisme yang mereka lakukan tetap akan dihitung dan diakui sebagai suatu kegiatan jurnalisme yang sah, karena telah menyandang nama "jurnalisme" di dalamnya. Maka, sudah seharusnya jika kegiatan dari citizen journalism juga memegang teguh idealis dan tunduk pada etika jurnalisme, khususnya dalam memproduksi berita yang sehat serta memberikan good share value pada masyarakat luas.
"Jadi, jika ditanya apakah mereka (citizen journalist) harus atau tidak menaati etika jurnalisme yang berlaku, ya jawabannya tentu saja harus. Namun sayangnya, banyak dari mereka yang tidak memperdulikan itu dan sikap seperti itu tentu saja akan semakin mencederai kebijaksanaan dan profesionalitas kerja pers", jelas Darmanto.
Pernyataan dari Darmanto juga didukung oleh pendapat Santana (2017: 12), yang menyatakan bahwa praktik citizen journalism tidak bisa lepas dari etika jurnalisme. Para citizen journalism harus mempelajari dan memahami dasar dari ilmu jurnalistik dan etika jurnalisme, sehingga harapannya mereka semakin memahami bagaimana cara membuat suatu berita yang akurat, objektif dan seimbang serta mampu memberi konteks pada suatu peristiwa secara mendalam.
Etika jurnalisme adalah etika dasar yang mendasari keseluruhan para jurnalis dalam pekerjaannya, yakni mencari berita, mengumpulkan berita, dan menyajikan berita. Karena citizen journalism juga melaksanakan pekerjaannya persis seperti halnya wartawan, maka dalam hal ini sudah menjadi suatu keharusan bagi seluruh citizen journalist untuk dituntut bekerja sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik (etika jurnalisme) yang berlaku (Wibawa, 2020).
Dalam pengertian yang lebih khusus, etika jurnalisme merupakan perwujudan dari kemerdekaan Negara Republik Indonesia serta menjadi seperangkat norma dan aturan baku yang harus ditaati oleh "semua pihak yang melakukan peliputan dan publikasi". Norma dan aturan tersebut tertuang di dalam Kode Etik Jurnalistik, yang dibuat dengan tujuan agar wartawan dapat bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya (Bartens dalam Wibawa, 2020).
Namun, seperti pernyataan Darmanto yang sudah disinggung sebelumnya, karena citizen journalism adalah suatu kegiatan yang sifatnya terbuka dan bebas bagi siapa saja, maka ini menjadi permasalahan dan tantangan bagi semua pihak yang terlibat dalam praktik citizen journalism untuk tetap dapat menjaga dan mengontrol agar praktik jurnalisme warga tetap berada di dalam koridor etika jurnalistik.
Dengan demikian, pertanggungjawaban seorang citizen journalist bisa dilihat dari seberapa jauh dan pahamnya mereka dalam mengukuhi dan menerapkan etika jurnalisme yang berlaku. Bila seorang citizen journalist melanggar dan tidak mengukuhi Kode Etik Jurnalistik, maka mereka bisa disebut sebagai citizen journalist yang tidak professional atau bisa disebut sebagai jurnalis gadungan (abal-abal).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dilihat bahwa citizen journalism pada dasarnya bukan semata-mata merupakan tempelan dan cap sebagai penyampai informasi yang asal-asalan, namun juga harus cerdas dan tampil profesional seperti halnya seorang jurnalis sungguhan yang meliput dan menyajikan berita. Menurut Gillmor dalam Wibawa (2020) seorang citizen journalism memiliki tujuh tantangan besar yang harus dihadapi ketika melakukan pekerjaan jurnalisme.
Pertama, berkaitan dengan konten, di mana konten yang diproduksi perlu digarap secara serius, sehingga layak disebut sebagai produk jurnalisme yang berkualitas. Kedua, berkenaan dengan antusiasme atau passion. Agar seorang citizen journalist dapat menghasilkan konten yang berkualitas, maka mereka harus memiliki passion atau antusiasme yang besar. Tanpa mengikutsertakan passion atau antusiasme tidak akan cukup menghasilkan karya yang berkualitas.
Ketiga, kapasitas, yang dalam hal ini tidak semua citizen journalist diberi kemampuan yang sama, dalam menulis atau mewartakan suatu peristiwa misalnya. Tetapi tantangannya adalah bagaimana mereka dapat menjadi seorang jurnalis yang baik dan mampu berkontribusi pada masyarakat. Keempat, kredibilitas. Kredibilitas berkaitan dengan penilaian bahwa setiap orang dapat memberikan opininya masing-masing.
Namun tidak semua orang memiliki latar belakang atau pengalaman yang cukup untuk memberikan opini yang bernilai pada orang lain. Maka dari itu, etika jurnalisme dapat membantu citizen journalist untuk memperoleh kredibilitas. Kelima, akuntabilitas. Internet memungkinkan siapapun untuk melakukan kegiatan jurnalisme, termasuk'jurnalisme kuning'. Akuntabilitas perlu digalakkan, agar semua konten yang dibuat bisa dipertanggungjawabkan kepada khalayak luas.
Keenam, kompensasi. Seorang citizen journalist juga perlu diberi kompensasi yang layak dan cukup atas semua usaha mereka, agar pekerjaan mereka nantinya diharapkan dapat jauh lebih berkualitas. Maka, perlu diatur suatu sistem yang dapat mengatur dan meregulasi pemberian kompensasi bagi kegiatan jurnalisme warga. Ketujuh, kepemimpinan. Peran gatekeeper sangat penting bagi citizen journalist.
Maka dari itu, seorang citizen journalist juga harus memainkan peran ganda sebagai seorang editor yang bijak. Tanpa adanya panduan, arah dan supervisi editorial yang cukup, maka sulit untuk menghasilkan publikasi yang mumpuni dan berkualitas. Karena ada begitu banyak tantangan yang harus dihadapi oleh seorang citizen journalist, maka menurut Kusumaningati (2012) seorang citizen journalist harus mempelajari beberapa hal-hal dasar.
Seperti ilmu-ilmu jurnalistik dasar; memahami enam nilai dalam penulisan berita; memahami sembilan elemen jurnalisme, khsusunya dari Bill Kovach dan Tom Rosenstiel; serta memahami etika jurnalisme tentunya. Agar seorang citizen journalist dapat semakin memiliki kualitas konten yang baik dan bisa berpengaruh terhadap reputasinya d masyarakat luas.
Meski jurnalisme warga masih menjadi suatu kegiatan jurnalisme yang tidak berdasar, atau masih "luntang-lantung", karena ketiadaan Undang-Undang; etika atau elemen jurnalisme yang secara khusus mengatur praktik citizen journalism, namun, karena citizen journalism merupakan bagian dari kegiatan dan menyandang nama jurnalisme, maka sudah selayaknya jika etika jurnalisme diterapkan untuk menumbuhkan rasa profesionalitas bagi setiap seorang citizen journalist.Â
Daftar Pustaka:
Zaenudin, H. (2012). Cermin Citizen Journalism di Indonesia. Digitalisasi dan Konvergensi Media, 10(2): 103-114. Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.
Annur, M & Yudhapramesti, P. (2020). Pemaknaan Etika Jurnalisme Warga oleh Jurnalis Warga NETCJ di Wilayah Solo. Kajian Jurnalisme, 03(2): 122-136. Universitas Padjadjaran.
Kementerian Komunikasi dan Informatika & Katadata Insight Center. (2020). Status Literasi Digital Indonesia Survei di 34 Provinsi. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.
Kusumaningati, I. (2012). Jadi Jurnalis Itu Gampang!!!. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Santana, S. (2017). Jurnalisme Kontemporer Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Wibawa, D. (2020). Jurnalisme Warga: Perlindungan, Pertanggung Jawaban Etika dan Hukum. Bandung: CV. Mimbar Pustaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H