Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Marjinalisasi Perempuan dan Feminisme Marxis

3 Maret 2021   08:00 Diperbarui: 9 September 2022   16:55 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana Marxisme melihat dan menganalisis fenomena marjinalisasi terhadap perempuan?

Dalam sejarah hidup bersosial, manusia mengenal dua jenis gender yang paling umum, yakni gender laki-laki dan gender perempuan. Dalam konteks ini, gender menjadi sebuah identitas untuk menggambarkan suatu peran, kedudukan, tanggung jawab, pembagian kerja dan lainnya. Gender berfungsi sebagai pedoman hidup yang disesuaikan dengan segala aspek dan berkelindan dengan banyak konsep serta paham dalam suatu komunitas, mulai dari norma, adat istiadat dan lainnya.

Karena gender dipandang sebagai sebuah identitas yang condong ke arah untuk membedakan peran, status dan tanggung jawab antar kelamin, maka konseptualisasi dan konstruksi suatu gender, dalam suatu komunitas akan selalu punya potensi untuk dipertarungkan dan disalahgunakan. Sebagai contoh, di Jawa tepatnya di era kolonial, ada sebuah istilah yang mengkonstruksi peran perempuan dalam tataran masyarakat. Istilah itu berbunyi berbunyi manak; masak; macak.

Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka arti dari setiap kata tersebut adalah melahirkan; memasak dan berdandan. Istilah ini jelas merupakan sebuah bentuk konstruksi gender, yang ingin menempatkan perempuan ke dalam tiga tataran nilai tersebut. Alhasil, istilah ini pun akhirnya mendorong seorang perempuan bernama R. A Kartini dengan gerakan emansipasinya yang terkenal untuk menaikan derajat kaum perempuan dengan jalan pendidikan.

Oke, itu tadi adalah konteks yang sangat lampau. Namun, pertanyaannya adalah apakah di era modern dan keterbukaan informasi seperti sekarang ini, kita masih dapat menemukan berbagai bentuk ketimpangan gender, terkhususnya yang menyasar pada perempuan? Jawabannya tentu masih ada. Di artikel ini, penulis akan membagikan suatu sudut pandang analisis sosial dari pemikiran Marxis, yakni feminisme Marxis untuk melihat ekosistem ketimpangan ini.

Feminisme Marxis pada dasarnya adalah sebuah kajian yang muncul dari para pemikir di abad ke 19 seperti Karl Marx, Engels dan lainnya. Feminisme Marxis, dalam penerapannya lebih melakukan penekanan terhadap konteks dan identfikasi kelas di dalam masyarakat, serta menitibratkannya pada aspek posisi dan perjuangan dari kaum perempuan. Kapitalisme menurut Marxis dinilai menjadi biang keladi bagi terciptanya bentuk-bentuk penindasan terhadap kaum perempuan.

Menurut Lisa (2017), feminsime Marxis percaya bahwa sebuah pekerjaan yang dilakoni oleh perempuan, sejatinya dapat membentuk pola pikir dan sifat-sifat alamiah dari perempuan dalam bertindak. Kapitalisme, bagi para penganut feminisme Marxis tidak lebih dari sebuah bentuk hubungan yang transaksional dan cenderung mengarah ke tindakan eksploitasi. Konsep ini lahir karena adanya sebuah refleksi yang bertolak dari berbagai rangkaian kerja.

Dimana para pekerja akan tetap terus bekerja demi mendapatkan upah dan sedangkan majikan akan terus memaksa para pekerjanya supaya bisa mendapatkan keuntungan tanpa ada perbaikan upah bagi para pekerjanya (Lisa, 2017). Marx kemudian mengutarakan pandangannya, bahwa majikan sebagai pemilik modal akan melakukan monopoli terhadap segala hal yang mereka punya. Mulai dari pemberian upah yang tidak sebanding hingga tidak ada perbaikan hidup.

Sejumlah buruh perempuan menyerukan untuk menghentikan diskriminasi dan kekerasan gender saat Hari Perempuan Internasional | nasional.tempo.co
Sejumlah buruh perempuan menyerukan untuk menghentikan diskriminasi dan kekerasan gender saat Hari Perempuan Internasional | nasional.tempo.co

Tentu saja hal ini menjadi sebuah keadaan dilematis, karena pekerja tidak bisa membuat sebuah pilihan. Pilihan itu mungkin saja ada, tetapi pilihan yang muncul justru mengarah kepada bentuk eksploitasi dari majikan terhadap pekerja, supaya mereka tetap hidup atau tidak punya pekerjaan sama sekali (Umar, 2005). Sehingga, secara prinsip jika seseorang sudah tidak memiliki lagi hal berharga untuk dijual maka kekuatannya akan terbatas dan berpotensi ditindas.

Berbagai macam kasus yang terjadi dalam ranah femnisme Marxis, pada dasarnya selalu memandang ekonomi kapitalis sebagai awal mula dari tindakan penindasan dan subordinasi terhadap derajat perempuan. Subordinasi ini kemudian menciptakan status sekunder dari perempuan, dimana perempuan kemudian dipandang sebagai pihak atau kaum yang sekiranya perlu dilindungi dan bergantung pada peran serta laki-laki (Rahadian, 2019).

Hal ini pun kemudian menciptakan sebuah konsekuensi baru, dimana perempuan harus tunduk atas tindakan-tindakan penindasan dan subordinat tersebut atas konstruksi sosial yang dibangun. Dari adanya pembentukan ini, kemudian Marxis menganalisis secara jauh lebih dalam, bahwa prinsip dan metode kapitalisme di dalam masyarakat menciptakan jurang pemisah yang berdampak pada terbentuknya ketidaksetaraan pada aspek kekayaan bagi semua orang.

Dalam konteks ini, feminisme Marxis dengan tegas menolak segala bentuk pandangan terkait dengan pelacuran. Pelacuran menurut femnisme Marxis adalah sebuah bentuk dari terciptanya ketidakadilan di masyarakat yang menyasar kepada kaum perempuan, sehingga hal tersebut memaksa mereka untuk menjual tubuh dan reproduksinya secara terpaksa. Feminisme Marxis mempertegas fenomena pelacuran ini dengan dalam dua sudut pandang, yakni (Lisa, 2017):

a). Fenomena pelacuran menunjukan bahwa adanya sebuah fenomena kelas, dimana segelintir perempuan yang tidak mampu dalam artian tidak memiliki keahlian apapun, harus bekerja dengan menjual dirinya secara terpaksa demi bisa bertahan hidup.

b). Adanya fenomena pelacuran ini kemudian menciptakan sebuah pandangan alienasi, dimana dirinya diasingkan dari pekerjaannya dan dari nilai-nilai kemanusiaannya. Alasan ini muncul karena pekerjaan ini pada dasarnya bukanlah sesuatu yang bermakna bagi diri sendiri.

Dua sudut pandangan ini kemudian semakin mempertegas bahwa kaum perempuan selalu menjadi sasaran empuk untuk ditindas dan diambil segala bentuk haknya. Ketika perempuan dipandang statusnya sebagai sekunder di dalam tataran masyarakat, maka kaum perempuan praktis juga akan sangat sulit untuk bisa mendapatkan berbagai macam akses terhadap segala macam pekerjaan yang bermakna dengan upah yang layak, serta hak lainnya (Rahadian, 2019).

Ilustrasi dari pelacuran yang banyak menimpa kaum perempuan | tagar.id
Ilustrasi dari pelacuran yang banyak menimpa kaum perempuan | tagar.id

Kesulitan ini pun kemudian membentuk sebuah stigma, bahwa menjual diri adalah mungkin cara yang baik untuk bisa bertahan hidup dan menghidupi orang lain. Adapun juga, feminisme Marxis pernah menyebutkan, bahwa jika kita melawan sebuah bentuk kapitalisme, sejatinya kita telah melawan segala bentuk pelacuran (Lisa, 2017). Posisi laki-laki yang selalu dianggap lebih superior membuat mereka memiliki hak lebih dalam penguasaan properti dan profit.

Tidak seperti halnya kaum perempuan yang disubordinasi dan ditindas, atau dengan kata lain yang lebih populer adalah golongan masyarakat, berpotensi menciptakan kelas sosial yang lebih besar bagi perempuan. Dalam perkembangan selanjutnya, Lenin dalam Lisa (2017) kemudian menjelaskan bahwa kelas sosial dianggap sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat, yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam setiap proses produksi.

Ketika suatu kelompok manusia perlahan menyadari jika kelompoknya adalah kelas, maka kelompok-kelompok yang dicap sebagai superior akan bersatu sesuai dengan jumlah dan kekuatannya untuk mencapai suatu tujuan. Orang-orang yang tereksploitasi, kemudian juga akan merasa dan terpantik untuk memiliki jumlah dan kekuatan pula, sehingga mereka bisa berhak bebas berbicara dan bertindak secara adil, seperti orang-orang yang mengeksploitasinya.  

Selain adanya rasa persaingan dan kesadaran kelas ini, konsep lain yang juga berperan aktif dalam membentuk pemahaman sekunder dan penindasan terhadap perempuan adalah alienasi. Alienasi menurut Marx dalam Seri Panduan Marxisme karya Henri Lefebvre (2015), adalah sebuah pengalaman yang mengakibatkan terciptanya perasaan terpecah belah. Dimana sesuatu yang signifikan bagi kehidupan manusia justru dipandang sebagai suatu hal yang saling terpecah.

Seseorang yang merasa teralienasi, sejatinya merasakan suatu hal yang tidak bermakna, menganggap dirinya sendiri tidak berarti atau tidak mampu mempertahankan rasa bermakna dan rasa penghargaan diri sendiri. Friedrich Engels dalam Lisa (2017), menyatakan bahwa pernikahan antara laki-laki dan perempuan itu pada hakikatnya bukan semata-mata mengarah pada bentuk subordinasi perempuan, namun melainkan sebagai tanda kekuatan ekonomi perempuan.

Status ini bisa muncul karena bergantung pada posisi dan kedudukan perempuan di masa lalu. Namun, dengan seiring meningkatnya produksi yang dikerjakan laki-laki, yang melampaui produksi yang dikerjakan oleh perempuan, maka laki-laki berperan sebagai aktor yang bisa menarik keuntungan dan kemudian memiliki modal. Sehingga perempuan tidak memiliki kekuatan lagi dan tidak mempunyai akses untuk mengelola keuangan secara mandiri.

Keadaan ini tentu saja dapat menimbulkan sebuah situasi khusus, dimana hubungan yang saling melengkapi dalam sebuah pernikahan dan hidup berkeluarga, pada akhirnya akan semakin mengalami penuruan arti. Dimana, peran perempuan juga sangat diperlukan untuk menciptakan kehidupan keluarga yang sukses dan sehat. Jika masalah ini terus bergulir, maka sudah pasti keadilan gender yang selama ini diperjuangkan hanya akan menjadi suatu keadilan semu.

Akhirnya, kita bisa menyimpulkan satu hal, yakni posisi gender perempuan mungkin akan selamanya mendapatkan perlakuan subordinat dari masyarakat luas. Hal ini sudah tentu karena perempuan selalu dikonstruksi sebagai pihak yang paling lemah dan harus dilindungi. Maka dari itu, hanya ada satu cara juga untuk bisa melawannya, yakni dengan terus menerus melakukan emansipasi, demi mendorong lebih banyak literasi digital mengenai keseimbangan peran.

Keseimbangan peran lewat literasi digital diharapkan dapat semakin membuka banyak mata, bahwa posisi; peran; dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki sama pentingnya di dalam masyarakat, dan mereka hanya dipisahkan oleh perbedaan biologis saja. Secara organik, keseimbangan peran akan membawa dampak baik, mulai dari kesehatan secara sosial; kesehatan ekonomi, kesehatan industri dan kayanya inovasi. Jadi, apakah kita akan mulai sekarang juga?

Daftar Pustaka:

Lefebvre, H. 2015. Seri Panduan Marxisme.Yogyakarta. JALASUTRA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun