Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sejarah Pedasnya Sambal yang Terlupakan

24 Februari 2021   08:00 Diperbarui: 16 April 2022   09:50 2304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenampakan dari cabya atau cabai lempuyang atau cabe Jawa | Kumparan.com

“Hampir semua orang Indonesia suka makan sambal. Tapi apakah mereka semua tahu sejarahnya?”

Siapa yang disini suka makan dengan sambal? Sepertinya, hampir semua orang Indonesia tentu suka makan bersama dengan sambal. Bagi orang Indonesia, berada dalam sebuah jamuan makan besar bersama keluarga atau teman, tidak akan terasa lengkap tanpa kehadiran sambal. 

Sebagai negara kepulauan yang kaya akan hasil bumi; teknik memasak dan nilai-nilai filosofi budayanya, sambal boleh jadi salah satu produk budaya kuliner Nusantara yang berkembang di banyak etnis.

Apa maksudnya berkembang di banyak etnis? Maksudnya, sambal merupakan salah satu hidangan pelengkap yang sepertinya dapat kita temukan dihampir setiap etnis yang ada dan hidup di Indonesia. 

Mulai dari etnis yang hidup di Pulau Sumatera hingga Papua, kita dapat dengan mudah menemukan budaya makan sambal mereka masing-masing, yang dipengaruhi pula oleh banyak faktor, seperti bentang alam; hasil bumi; kepercayaan hingga satwanya.

Meski kita adalah bangsa pemakan sambal yang fanatik, tapi, apakah kita semua sudah tahu, bagaimanakah awal mula dari sejarah persentuhan bangsa kita dengan sambal yang selalu tersedia di atas meja makan? 

Dan bagaimanakah sejatinya rupa sambal di zaman dahulu, yang konon katanya tidak menggunakan cabai sebagai bahan baku utama untuk membuat sambal?  Maka, untuk tahu sejarah dari sambal, mari kita lihat kembali ke masa penjelajahan rempah-rempah.

Cabai yang kita kenal sebagai komoditas penting untuk membuat sambal, sejatinya berkelindan kuat dengan sejarah dalam pencarian rempah-rempah yang dilakukan oleh bangsa Eropa pada abad pertengahan. 

Dalam buku Gastronomi Indonesia jilid I (2019), Spanyol tercatat sebagai kerajaan pertama di dunia yang memulai ekspedisi pencarian rempah-rempah ke sebuah wilayah yang mereka namakan sebagai tanah Hindia (India hingga Kepulauan Nusantara hari ini).

Titah ekspedisi yang disabdakan oleh Ratu Isabela I dari Kastila itu, ditujukan kepada Christopher Colombus untuk segera memulai perjalanannya menuju tanah Hindia, pada tahun 1492. 

Ekspedisi ini memakan waktu hingga dua bulan. Akhirnya, pada awal Oktober 1492, kapal Colombus berhasil mendarat di Pantai Karibia. Colombus beranggapan bahwa pulau yang ia temukan adalah Hindia. Padahal aslinya itu adalah Benua Amerika (Gardjito dkk, 2019).

Di Amerika, Colombus memang menemukan banyak rempah-rempah yang mungkin belum tersedia atau mungkin belum banyak diketahui oleh masyarakat Eropa saat itu. 

Menurut Jack Turner dalam Sejarah Rempah Dari Erotisme sampai Imperialisme (2019), setelah pelayarannya yang kedua berakhir pada April 1493, Columbus akhirnya kembali ke Spanyol dan kemudian mengumumkan kepada Ratu Isabela bahwa dirinya berhasil mendarat di Hindia “yang dimaksud”.

Keberhasilan Colombus pun kemudian dicatat dalam sebuah dokumentasi kuno milik bangsa Catalunya mengenai keberhasilan Colombus dalam menemukan Dunia Baru (Hindia). 

Secara resmi pengumuman itu dilakukan di Salo del Tinnel dalam ruang perjamuan besar di Barri Gotic, Barcelona. Di situ, Christopher Colombus memasang ekspresi sumringah dan akhirnya bisa sedikit terbebas dari rasa curiga masyarakat terhadap kredibilitas ekspedisinya.

Di dalam ruangan tersebut, Colombus membawa beberapa barang bukti yang menurutnya dapat menutup mulut orang-orang yang selama ini selalu menganggapnya remeh (Turner, 2019). 

Sembari menceritakan perjalanan ekspedisinya, Colombus pun juga membawa serta rempah dan “harta karun” yang selama ini selalu menjadi fantasi liar belaka bagi masyarakat Eropa, soal “negeri misterius tempat dimana benda ajaib seperti rempah tumbuh dan hidup”.

Dalam presentasinya, Colombus membawa serta aneka burung kakatua; enam orang Indian; gaharu (yang diklaim sebagai kayu manis) dan yang paling fenomal adalah cabai (yang diklaim sebagai lada yang belum masak). 

Di ruangan tersebut, semua orang merasa heran dan curiga atas penemuan Colombus yang sangat jauh berbeda dengan fantasi liar Eropa soal rempah-rempah. Colombus memang berhasil berlayar, namun ke benua Amerika bukan Hindia yang dimaksud.

Meskipun Colombus belum berhasil mencapai tujuan dan masih harus melakukan beberapa kali ekspedisi kembali, namun beberapa komoditas yang berhasil dibawa oleh Colombus seperti cabai, pada akhirnya beredar di berbagai pasar di Eropa. 

Meski cabai menjadi komoditas yang diperjualbelikan saat itu, namun popularitas dan ketergantungan Eropa terhadap lada masih belum padam, dan penggunaan cabai pun hanya populer disebagian wilayah Eropa saja.

Ilustrasi dari
Ilustrasi dari "lada India" (sebelah kanan) yang sejatinya adalah cabai Amerika dalam buku Commentarii | lskauctioncentre.co.uk

Salah satunya adalah Portugal yang juga menjadi kerajaan Maritim di Eropa Barat yang melakukan ekspedisi rempah-rempah ke tanah Hindia dan berhasil tiba ditempat tujuan pada tahun 1511 dibawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. 

Saat itu, Portugal dan Spanyol dalam penjelajahannya ke bumi Nusantara juga ikut serta membawa cabai yang sekiranya dapat menjadi komoditas yang dapat ditukar dengan lada yang melimpah ruah di Banda Neira maupun di Jawa.

Meski pertukaran antara produk cabai dengan lada berhasil dilakukan oleh kedua belah pihak, namun menurut Fadly Rahman, sejarawan kuliner dari Universitas Padjajaran, seperti yang dikutip dari kompas.com, menyebutkan bahwa jauh sebelum Portugal dan Spanyol memperkenalkan cabai yang sering kita konsumsi untuk membuat sambal, ternyata masyarakat Nusantara, khususnya Jawa telah mengenal dan mengkonsumsi tanaman mirip cabai bernama cabya.

Cabya atau yang dalam bahasa Latin bernama piper retrofractum vahi adalah sejenis tumbuhan berkayu yang masuk ke dalam golongan tumbuhan lada dan sirih, yang fungsi dan aromanya hampir sama seperti lada. 

Bagi masyarakat Jawa, khususnya yang berada diwilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta, cabai yang satu ini sering disebut sebagai “cabe Jawa” atau cabai lempuyang. Namun, setelah cabai dari Eropa masuk, perlahan cabya mulai ditinggalkan oleh masyarakat.

Tidak ada yang tahu pasti mengapa cabai yang dibawa oleh para pelaut Eropa pada akhirnya bisa populer dan bertahan hingga sekarang. 

Namun, menurut Gardjito dalam Gastronomi Indonesia jilid I (2019), berkembang dan populernya konsumsi cabai di Nusantara, yang dibawa dari Eropa diduga disebabkan oleh dua faktor. Yang pertama adalah makin banyaknya tanaman cabai yang dibudidayakan oleh petani-petani di Jawa dan terjadinya pertukaran hasil bumi yang kontinu.

Menurut Jack Turner (2019), bangsa Eropa pada abad ke-16 masih benar-benar terobsesi dengan lada sebagai salah satu komoditi rempah yang sangat primer bagi dapur rumah tangga mereka. Dibawanya cabai dari Benua Amerika oleh mereka (pelaut Portugal dan Spanyol), ikut menandakan terjadinya aktivitas dagang dan pertukaran budaya dalam waktu yang sama. Sehingga, interaksi dagang ini bersifat sangat mutualis, baik antara Eropa dengan Nusantara.

Pada akhirnya, cabai, seperti halnya cabai merah dan hijau keriting; cabai rawit; cabai merah dan hijau besar; cabai katokon dan varietas cabai lainnya, semakin populer disajikan dan dikonsumsi oleh penduduk Nusantara. 

Semenjak saat itu, penduduk Nusantara, terkhususnya yang tinggal di Pulau Jawa mulai menggunakan cabai dan meninggalkan cabya secara berangsur-angsur. Oke, itu tadi adalah cerita panjang soal masuknya cabai dan influensi cita rasa pedas baru.

Namun, yang belum terjawab dalam artikel ini adalah sejak kapan kah masyarakat Nusantara mulai mengkonsumsi sambal? 

Menurut Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid I: Tanah di Bawah Angin (1992), masyarakat Nusantara khususnya yang ada di Pulau Jawa banyak mengkonsumsi kunyit dan terasi, yang dicampur; dihaluskan; dan kemudian dihidangkan bersama dengan sajian makanan lainnya, seperti ikan contohnya.

Pada masa itu, komoditas seperti kunyit dan terasi adalah salah dua dari sekian banyaknya komoditas yang masuk ke dalam kategori produk ekspor. Karena melimpahnya kunyit dan terasi, praktis dua komoditas ini pun sering diperjualbelikan dan sering disajikan untuk disantap oleh banyak kalangan. 

Dalam bukunya, Reid melanjutkan bahwa terasi adalah salah satu jenis makanan yang saat itu sangat digemari oleh masyarakat Nusantara, selain kunyit.

Pada waktu itu, masyarakat Nusantara tidak punya akses yang bebas untuk mengkonsumsi daging dan protein tertentu, seperti unggas-unggasan. Satu-satunya sumber protein yang bisa diandalkan untuk dikonsumsi dalam jumlah besar dan ajeg adalah ikan. 

Karena ikan menjadi salah satu makanan populer saat itu, maka menurut pengamatan Reid, kunyit berfungsi menghilangkan bau amis dan terasi sebagai makanan pendamping, selain campuran antara kunyit dan terasi pastinya.

Namun, berbeda dengan Reid, menurut Prof. Murdijati Gardjito seperti yang dikutip dari alinea.id, sumber cita rasa pedas yang disantap oleh orang Nusantara saat itu, sejatinya juga bersumber dari banyak bahan-bahan lainnya. 

Setidaknya ada tiga jenis bahan yang dapat menimbulkan sensasi dan cita rasa pedas, seperti jahe; cabai lempuyang dan lada. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, cabai lempuyang pernah menjadi salah satu sumber cita rasa pedas yang sohor.

Kenampakan dari cabya atau cabai lempuyang atau cabe Jawa | Kumparan.com
Kenampakan dari cabya atau cabai lempuyang atau cabe Jawa | Kumparan.com

Dalam sejarahnya, cabai lempuyang yang sekilas mirip seperti halnya cabai, memang pernah digunakan sebagai subtitusi atau pengganti dari lada. 

Seperti yang dikutip dari historia.id, menurut catatan perjalanan seorang berkebangsaan Belanda pada tahun 1596, menyatakan bahwa saat itu seorang Gubernur Banten menceritakan tentang pengalamannya mengganti lada dengan cabai lempuyang saat lada sedang mengalami kelangkaan.

Namun, menurut catatan analisis Reid, meskipun lada maupun cabai lempuyang sangatlah melimpah dimana-mana, namun sedikit sekali sepertinya masakan-masakan khas Nusantara yang menggantungkan cita rasanya terhadap lada dan cabai lempuyang sebagai penyedap utamanya. Malahan, yang terkenal dan sering dimakan adalah kunyit; terasi; dan jahe, yang sangat sering hadir dalam setiap masakan orang Nusantara maupun Asia Tenggara.

Selain cabai lempuyang (cabe Jawa), penggunaan jahe sebagai bahan untuk menciptakan cita rasa pedas juga cukup sering digunakan. 

Namun, Gardjito menerangkan bahwa penggunaan jahe biasanya tidak langsung dikonsumsi begitu saja seperti kunyit dan terasi. Kebanyakan jahe dihaluskan dan dimasak bersama dengan makanan atau minuman tertentu. Ini dikarenakan jahe memiliki tingkat rasa pedas yang cukup menusuk lidah dan berpotensi membuat lambung perih.

Sampai akhirnya, memasuki abad ke-16 sampai dengan sekarang, konsumsi masyarakat Nusantara terhadap cabai yang kemudian diolah menjadi sambal masih terus lestari dan semakin banyak variannya. 

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Gardjito dalam Gastronomi Indonesia jilid I (2019), di Indonesia terdapat sekitar 322 macam sambal yang tersebar dibanyak tempat. Namun, menurut Gardjito hanya ada sekitar 257 macam saja yang bisa dianggap sebagai “sambal”.

Sedangkan, 65 macam sambal lainnya tidak dimasukan ke dalam kategori sebagai sambal karena dinilai, produk makanan tersebut hanya meminjam namanya saja dan tidak menggunakan cabai. Adapun juga alasannya karena rasio penggunaan cabai yang jauh lebih sedikit ketimbang hancuran bahan lainnya, seperti kelapa (urap; gudangan dll); kacang tanah (sambal pecel; sambal gado-gado dll) dan lauk pauk (sambalado kentang; sambal teri; sambal terong dll).

Jika melihat 65 macam sambal yang tidak dimasukan ke dalam kategori sebagai sambal, lalu bagaimanakah definisi sambal yang sesungguhnya? Menurut Gardjito dalam Gastronomi Indonesia jilid I (2019), sambal adalah saus yang terbuat dari cabai yang dihancurkan sehalus mungkin sampai mengeluarkan air (juice) dan biasanya ditambahkan dengan garam; cuka; terasi; daun jeruk maupun perasan jeruk nipis.

Di Indonesia, sambal dibedakan menjadi tiga menurut metode memasaknya. Yang pertama adalah sambal mentah. Secara definisi, sambal mentah adalah semua jenis sambal yang tidak melalui proses pemasakan dengan api, sehingga bisa dibilang semua bahan yang dipakai adalah bahan-bahan segar dan harus segera dikonsumsi pada saat itu juga. Menurut Gardjito, tercatat ada sekitar 119 jenis sambal mentah yang tersebar diseluruh Indonesia.

Yang kedua adalah sambal masak. Sambal masak adalah sambal yang mengalami proses pemasakan, seperti perebusan; penumisan; pengukusan dan pemanggangan. 

Di seluruh Indonesia, terdapat sekitar 138 varian sambal masak. Sambal masak adalah salah satu sambal yang dapat disimpan tahan lama, namun itu semua bergantung pada proses memasaknya dan cara penyimpanan sambalnya.

Dan yang terakhir adalah sambal fermentasi. Sambal fermentasi adalah semua jenis sambal yang melalui proses fermentasi, sehingga dapat memiliki rasa dan aroma yang sangat khas. 

Komponen utama dalam sambal fermentasi adalah garam; cabai; dan jeruk purut yang dikupas kulitnya, dipotong kecil-kecil dan difermentasi kurang lebih selama dua hari dan tidak boleh terkena panas. Satu-satunya sambal fermentasi yang di Indonesia adalah sambal parado dari Sumbawa.

Akhirnya, kita bisa menyimpulkan kalau sambal bagi orang Indonesia sepertinya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan meja makan kita. 

Variasi sambal yang tersebar dibanyak wilayah di Indonesia yang kemudian erat kaitannya dengan banyak unsur kebudayaan, sekiranya dapat membuat kita kembali teringat, bahwa ada sejarah kuliner panjang yang terdengar sepele dan sering kali dilupakan. Maka dari itu, bersediakah kita untuk terus mewarisinya?

Daftar Pustaka:

Turner, J. 2019. Sejarah Rempah Dari Erotisme sampai Imperialisme. Depok. Komunitas Bambu.
Gardjito, M dkk. 2019. Gastronomi Indonesia (Jilid I). Yogyakarta. Global Pustaka Utama.
Reid, A. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid I: Tanah di Bawah Angin. Yogyakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun