Ada banyak cara untuk mencintai Indonesia, salah satunya dengan belajar gastronomi.
Siapa yang disini pernah mendengar atau bahkan mungkin sudah pernah makan di restoran bernama Namaaz Dining? Ya, Namaaz Dining adalah salah satu restoran bergengsi di Jakarta milik seorang restaurateur bernama Adrian Ishak. Namaaz Dining sempat mencuri perhatian publik dan para pecinta kuliner di tahun 2018 silam, karena berhasil di review oleh Raditya Dika dan Anissa Aziza yang menurut mereka sangat unik, baik dari makanannya maupun cara penyajiannya.
Dalam ilmu tata boga dan teknologi pangan, praktik pengolahan dan penyajian kuliner yang dilakukan oleh Namaaz Dining disebut sebagai gastronomi molekuler. Gastronomi molekuler menurut Winarno & Andino dalam buku Gastronomi Molekuler (2017) adalah seni memasak dan cara mengkonsumsi suatu makanan dengan menggunakan pendekatan ilmu sains, yang meliputi teknik memasak, nutrisi dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kelezatan, rasa dan aroma.
Bisa dibilang, gastronomi molekuler adalah ilmu tata boga yang paling unik dan berbeda, karena pendekatan soal ilmu-ilmu sains sangat dikedepankan dalam proses memasak maupun dalam presentasi hidangannya. Jika pembaca pernah menonton video Raditya Dika, yang me-review hidangan Namaaz Dining, pembaca mungkin akan cukup terheran-heran dan sampai membuat geleng-geleng kepala, karena penyajiannya yang tidak biasa dan namun outstanding.
Dari video tersebut, perlahan tapi pasti akhirnya banyak dari kita yang mulai menyangkut pautkan konteks mengenai gastronomi dalam kuliner sebagai sesuatu yang penuh dengan pedekatan sains, dan mungkin lebih mirip seperti laboratorium. Namun, semua hal ini kemudian ditepis oleh Profesor Murdijati Gardjito, seorang guru besar Ilmu dan Teknologi Pangan (pensiun) Unversitas Gadjah Mada yang telah lama mengabdi dibidang ilmu gastronomi dan kuliner Indonesia.
Lantas, seperti apakah itu gastronomi yang sesungguhnya, bagaimana kita harus menyikapinya dan kenapa gastronomi menjadi sebuah hal penting bagi perjalanan sejarah sebuah bangsa? Untuk bisa menjawabnya, penulis akan menggunakan dua buah sumber, yakni dari hasil wawancara penulis dengan professor pada tahun 2019 silam dan sebuah buku yang berjudul Gastronomi Indonesia jilid I (2019), yang ditulis oleh professor sendiri berserta dengan tim penulis.
Dalam buku Gastronomi Indonesia (2019), Gastronomi dipahami sebagai suatu kajian rasional mengenai semua hal yang berhubungan dengan manusia sepanjang dia mampu menikmati makanan yang dikonsumsi. Definisi ini berangkat dari buah pemikiran seorang Brilliat Savarin, seorang filsuf kuliner Perancis pada abad ke-18. Dalam konteks keilmuannya, gastronomi berkelindan dengan berbagai disiplin ilmu yang jauh lebih kompleks.
Menurut Gardjito, kurang lebih ada sekitar 16 kajian dari berbagai disiplin ilmu yang dipelajari dalam ilmu gastronomi. Kegiatan mempelajari seperti sejarah penggunaan bahan makanan; budaya dapur; alat memasak; cara pengolahan bahan makanan; keterkaitannya dengan kegiatan ritus masyarakat; faktor sains; cara penghidangan dan lainnya, adalah serangkaian hal yang dipelajari oleh seorang gastronom (orang yang mempelajari gastronomi).
“Di dalam gastronomi, kita bisa bagi menjadi tiga konsentrasi. Pertama yang konsentrasi di budaya; antropologi; komunikasi dan sosial. Kedua yang konsentrasi di bidang sains, seperti reaksi kimia dan fisika makanan, termasuk gastronomi molekuler. Dan yang ketiga adalah praktik memasak; tata hidang (table manner) dan lainnya”, ungkap Gardjito.
Kompleksitas dalam mempelajari ilmu gastronomi, pada dasarnya bisa dimulai dari mempelajari tiga pemahaman dasar yang utama, yakni biodiversity, agrobiodiversity dan indigenous knowledge (kearifan lokal). Tiga ilmu dasar inilah yang menjadi pondasi bagi 16 ilmu lain yang akan dipelajari oleh seorang gastronom kelak. Mari kita bahas tiga ilmu dasar gastronomi ini satu persatu, mulai dari ilmu soal biodiversity lalu agrobiodiversity.