Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Netflix, Binge Watching, dan Kapitalisme

27 Januari 2021   08:00 Diperbarui: 9 September 2022   16:36 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi binge watching yang terjadi selama pandemi korona | financerewind.com

Adorno dalam dalam DARI MAO KE MARCUSE Percikan Filsafat Marxis Pasca Lenin karya Franz Magnis Suseno (2013), berpendapat bahwa industri kapitalis sejatinya ingin benar-benar membuat kita melupakan apa yang benar-benar kita butuhkan. Adorno menejelaskan fenomena ini sebagai kebutuhan semu. Kita sebetulnya tidak butuh suatu barang. Tapi, iklan lewat narasi-narasinya membuat kita menjadi lebih tertarik untuk membelinya, dan siklus ini terus berulang.  

Dititik inilah kita dapat menemukan fenomena lain dari komodifikasi, yakni komodifikasi konsumen. Netflix, sebagai penyedia layanan film streaming, pasti mengkategorikan penonton berdasarkan genre yang mereka suka. Hal ini tentu sangat memudahkan para pengiklan untuk menargetkan pasar. Semakin audiens sering menonton secara binge, alhasil filmnya jadi populer. Film yang populer otomatis akan mendapatkan lebih banyak iklan, karena lebih menguntungkan.

Inilah yang disebut oleh para pemikir kritis sebagai kapitalisme ganda. Ketika kita sudah mengkonsumsi serangkaian film secara binge dan mengorbankan leisure, kita sebetulnya sudah membuat mereka kaya. Namun, kehadiran para pengiklan di berbagai film populer membuat kita semakin tergoda untuk mencoba berbagai produk yang ditawarkan oleh pengiklan, meski kita tidak butuh. Inilah yang dinamakan kapitalisme ganda, turunan fenomena dari kebutuhan semu.

Akhirnya, kita bisa menyimpulkan bahwa binge watching berkorelasi kuat dengan kegiatan kapitalisme. Ketika kita mengorbankan waktu leisure yang berharga hanya untuk menonton film secara kontinu, sejatinya kita telah menurunkan derajat hidup kita satu persen setiap harinya. Ketika kita sudah larut, komodifikasi akan membuat kita semakin larut dalam kebutuhan semu. Jadi, nonton film itu boleh, asal jangan berlebihan. Karena investasi hidup kita masih panjangkan?

Daftar Pustaka:

Conlin, L., Billings, A. C., & Averset, L. (2016). Time-shifting vs. appointment viewing: the role of fear of missing out within TV consumption behaviors. Communication & Society, 29(4), 151–164. doi: 10.15581/003.29.4.151-164

Adorno, T & Horkheimer, M. (2002). The Culture Industry Enlightenment as Mass Deception. Dalam The Dialectic of Enlightenment: Philosophical Fragment. Stanford: Stanford University Press

Mumpuni, P. (2018). Komodifikasi Kemiskinan pada Reality Show “Mikrofon Pelunas Hutang”. Majalah Ilmiah Inspiratif, 3(5).

Suseno-Magnis, F. 2013. DARI MAO KE MARCUSE Percikan Filsafat Marxis Pasca Lenin. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama

Mosco, V. (2009). The Political Economy of Communication. SAGE Publication; London

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun