Di sisi lain, Mosco juga berpendapat bahwa ada dua buah dimensi yang saling membuat keterhubungan antara komodifikasi dengan komunikasi, yaitu adanya pengaruh dari penggunaan teknologi tertentu, untuk memperlancar proses komunikasi. Dengan teknologi komunikasi proses komodifikasi dalam masyarakat secara keseluruhan dapat menembus berbagai batasan komunikasi. Ini tentu saja dapat mempengaruhi interaksi sosial masyarakat (Mosco, 2009).
Adorno dan Horkheimer (2002) dalam tulisannya The Culture Industry Enlightenment as Mass Deception, mengkritisi, bahwa komodifikasi terjadi karena hasil dari masuknya teknologi di suatu industri budaya. Proses produksi benda budaya (musik dan film) pada zaman pra-industri diproduksi secara otonom/murni; tidak ada campur tangan industri dengan segala sistem pasar dalam proses produksinya; dan produk masih dibuat atas tujuan seni atau pendidikan.
Namun, industri saat ini telah mengambil alih proses produksi berbagai artefak kebudayaan. Kemudian membingkai ulang berbagai produk yang seolah telah menjadi kebutuhan massa, dan menjadi faktor penentu dalam proses produksinya. Sehingga, benda budaya yang sebelumnya dipenuhi dengan nilai-nilai tinggi, otentik (authenticity), dan kebenaran (truth), oleh industri budaya diproduksi secara massal menjadi komoditas yang penuh dengan perhitungan laba (profit).
Dalam konteks media massa saat ini, menurut Adorno (2002) media telah memiliki kemampuan untuk menghasilkan industri budaya, yaitu budaya yang sudah mengalami komodifikasi, karena produk budaya yang dihasilkan, pertama, tidak otentik, dimana, kebudayaan yang diproduksi secara otonom/murni tidak lagi dihasilkan oleh rakyat atau masyarakat yang memilikinya. Akan tetapi ada campur tangan industri dengan segala sistem pasar dalam proses produksinya.
Benda budaya, yang dipenuhi dengan nilai-nilai tinggi, otentik dan kebenaran telah mengalami pergeseran makna, diproduksi secara massal berdasarkan selera pasar. Kedua, manipulatif, dimana kebudayaan yang diproduksi oleh industri budaya dengan tujuan agar dibeli di pasar, bukan lagi pada daya kreativitas sang kreator, sehingga telah menghasilkan kebudayaan semu/palsu. Ketiga, terstandarisasi, dimana, adanya bentuk penyeragaman dalam mekanisme industri budaya.
Analisis Binge-Watching
Binge watching adalah kegiatan yang menghabiskan banyak sekali waktu untuk menyelesaikannya. Bila dikaitkan dengan apa yang dikatakan oleh Adorno soal leisure time, pelaku binge watching mempergunakan waktunya secara kurang tepat. Karena sebuah keadaan tertentu, penonton akhirnya ‘terpaksa’ melakukan binge watching dengan alasan yang variatif. Di sinilah Adorno menyampaikan kritiknya atas perilaku binge watching yang merugikan kita.
Ungkapan Adorno tentang “Leisure time become toxic”, selaras dengan fenomena binge watching yang membuat penontonnya menghabiskan waktu berjam-jam tanpa melakukan hal lain. Inilah yang menyebabkan kenapa Adorno begitu heran dengan perilaku masyarakat industri, yang sebetulnya bisa lebih baik dalam segi kemampuan, keahlian dan kualitas dirinya, jika mereka mau menggunakan waktu luang yang tersedia untuk mengembangkan diri.
Bila diperhatikan, secara tidak langsung binge watching berkorelasi dengan konsep komodifikasi. Sesuai dengan tujuannya, komodifikasi adalah cara umum yang dipakai oleh para pelaku industri, untuk dapat mendulang profit sebesar-besarnya. Dalam komodifikasi, ada bentuk pertukaran nilai yang dilakukan antara audiens (leisure time) dengan pelaku industri (konten film). Pertukaran ini secara tidak langsung juga ikut dipopulerkan oleh audiens lewat media sosial dan menjadi tren.
Jika penonton yang datang dan menonton secara binge semakin banyak, alhasil film yang ditonton akan menjadi tren dan kebiasan binge watching juga akan ikut menjadi tren. Hal ini tentu berdampak besar pada semakin banyaknya pundi-pundi kekayaan yang masuk ke pelaku industri. Inilah yang dinamakan oleh Adorno sebagai “Capitalism doesn’t sell us the things we really need”, atau mudahnya kita jatuh dan terjebak ke dalam kebutuhan semu.