Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Roti Kembang Waru, 400 Tahun Semarakkan Cita Rasa Nusantara

20 Januari 2021   08:00 Diperbarui: 10 Mei 2022   05:47 2054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Roti memang bukan makanan pokok kita. Tapi kehadirannya telah lama berkembang jauh sebelum kolonial datang”

Roti adalah salah satu produk pangan yang telah lama berkembang di tengah jagat kuliner nusantara. Tidak seperti halnya masyarakat Eropa yang mengkonsumsi roti sebagai makanan pokok, budaya makan roti di masyarakat Indonesia, kebanyakan berkaitan erat dengan menu makanan penutup atau menu untuk camilan. Dalam banyak catatan sejarah kuliner, budaya makan roti di Indonesia pertama kali dipengaruhi dan dipopulerkan oleh pemerintah kolonial. 

Itu berarti kebiasaan makan roti kira-kira baru berkembang dan populer ketika memasuki abad ke-19. Tapi, pertanyaan yang membuat penulis skeptis adalah apakah orang Indonesia sudah punya budaya makan roti jauh sebelum roti bercita rasa Eropa menginfluensi lidah nusantara? 

Setelah ditelusuri lewat pencarian di internet dan membaca sejumlah artikel, penulis menemukan fakta bahwa orang nusantara ternyata sudah punya budaya makan rotinya sejak lama.

Di sebuah kampung, bernama Kampung Bumen, Kotagede, Yogyakarta, kita dapat menemukan sejarah dan budaya makan roti yang sudah berkembang dan bertahan selama lebih dari 400 tahun lamanya, roti tersebut bernama roti Kembang Waru

Roti ini sudah hadir sejak era awal berdirinya Kerajaan Mataram Islam, atau pada saat masa kepemimpinan Panembahan Senopati pada tahun 1586. Roti kembang waru adalah bukti nyata dari keberadaan budaya makan roti di nusantara.

Seperti halnya kuliner Indonesia lainnya, roti kembang waru tentu juga memiliki akar sejarah yang panjang serta mengandung filosofi yang sangat mendalam. 

Untuk bisa menemukan panganan legendaris yang satu ini, kita dapat berkunjung ke salah satu toko roti rumahan milik Basiran Basis Hargito (78). 

Basis atau yang biasa dikenal warga setempat sebagai pak Bas adalah salah satu dari lima produsen roti kembang waru yang masih bertahan hingga hari ini.

Basis adalah salah satu pemilik usaha toko roti kembang waru yang paling tua di Kampung Bumen, Kotagede. Basis bersama dengan istrinya Gidah (69), sudah merintis usaha berjualan roti kembang waru sejak tahun 1983. 

Toko roti kembang waru milik Basis sudah sering menjadi langganan para turis dan sudah sering menerima berbagai penghargaan. Untuk dapat sampai ke lokasi, dibutuhkan kesabaran ekstra serta jangan lupa juga untuk sering bertanya-tanya orang di jalan.

Pasalnya, toko roti milik Basis berlokasi di gang sempit yang kira-kira hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua saja. Selain berada di gang sempit, posisi rumah Basis juga agak sulit dijangkau karena diapit oleh beberapa bangunan milik warga, dan ditambah jalan menuju ke tokonya semakin lama justru semakin menyempit. Secara fisik, toko roti milik Basis lebih mirip seperti toko kelontong ketimbang toko roti besar nan legendaris.

Namun, selepas penulis turun dari motor dan perlahan mulai masuk ke dalam toko, bau semerbak wangi gula yang terkaramelisasi dari roti kembang waru pun langsung menyelimuti hidung yang penasaran akan rasanya. 

Toko roti rumahan Basis cukup mencolok mata karena warna beranda rumahnya menggunakan cat berwarna merah terang, yang menurut beberapa warga setempat menjadi salah satu ciri khas tersendiri dari toko roti kembang waru milik Basis.

Saat itu jam menunjukkan pukul 14.35 WIB dan toko roti kembang waru Basis buka setiap hari pada jam 10.00 WIB dan tutup pada pukul 21.00 WIB. 

Penulis yang baru saja tiba di lokasi, langsung bertemu dengan Basis yang sedang duduk santai di depan beranda rumah. Tanpa berlama-lama, penulis pun langsung membeli lima bungkus kue kembang waru yang tersusun rapih di dalam etalase kaca yang dipenuhi dengan tumpukan roti kembang waru lainnya.

Harga roti kembang waru milik Basis per bungkusnya dibanderol hanya seharga Rp 1.800,00 saja. Setelah membayar, penulis pun langsung melihat bentuk dari roti kembang waru yang baru saja di beli. 

Sekilas, roti kembang waru bentuknya menyerupai bintang dan memiliki delapan tonjolan ditiap sisinya. Penulis pun langsung teringat dengan bentuk dari bintang michelin atau michelin star, karena bentuknya hampir serupa tapi tak sama.

Basis dan Gidah sedang sibuk memasak roti kembang waru | MyMagz.net
Basis dan Gidah sedang sibuk memasak roti kembang waru | MyMagz.net
Roti kembang waru buatan Basis pada dasarnya tidak jauh berbeda tampilannya dari roti kembang waru yang dijual di tempat lain. Namun, di sinilah perbedaan besar dari roti kembang waru buatan Basis. 

Campuran adonan yang terdiri dari air, tepung terigu, gula dan telur, ditambahkan dengan sedikit kayu manis dan pala bubuk, untuk semakin membuat rasa dan aromanya menjadi lebih khas. Selain itu, proses memasaknya juga memberikan dampak yang besar bagi cita rasanya.

Roti kembang waru secara praksis dimasak dengan cara dipanggang dengan menggunakan oven. Namun, oven yang digunakan di dapur Basis masih menggunakan oven tradisional yang memanfaatkan bara arang. 

Bara arang tidak hanya digunakan dibagian bawah oven saja, namun bara arang juga diletakan di atas oven. Sehingga, panas oven bisa lebih maksimal, karena sumber panas berasal dari bagian bawah dan atas, mirip seperti cara kerja oven modern.

Dari segi tekstur dan rasa, roti kembang waru buatan Basis memiliki tekstur roti yang cukup padat, namun masih cukup empuk dan halus ketika dikunyah. Karena teksturnya yang cukup empuk dan halus, maka roti kembang waru buatan Basis pun juga terasa cukup membal ketika dipegang. 

Rasanya seperti tangan kita sedang memegang dan meremas sebuah squishy yang cukup empuk. Rasa legit pun sangat mendominasi saat roti ini dikunyah dan bersentuhan dengan lidah.

Namun, rasa manis yang muncul sama sekali tidak mengganggu selera lidah dan tidak serat ketika harus ditelan. Aroma tepung dan wangi hasil pembakaran dari arang masih tertinggal betul di dalam adonan roti ketika dikunyah. 

Roti kembang waru menurut penulis adalah teman yang tepat untuk waktu minum teh atau kopi di sore hari, bersama teman atau kerabat dekat. Sembari asik menyantap, Basis pun juga ikut asik bercerita soal sejarah dari roti legendaris ini.

Menurut cerita Basis, pada awalnya roti kembang waru lahir atas kreativitas para juru masak Keraton Kotagede yang saat itu sedang mencari menu makanan baru. 

Akhirnya mereka pun terinspirasi dari banyaknya pohon waru yang hidup di sekitar maupun di luar lingkungan Keraton, yang pada saat itu masih dikelilingi oleh hutan. 

Ada beberapa jenis pepohonan yang tumbuh, seperti pohon mentaok, pohon randu, pohon nangka, pohon kelapa dan termasuk juga pohon waru.

“Pohon waru itu kan ndak berbuah mas, jadi juru masak Keraton atau abdi dalem bujana saat itu memanfaatkan bentuk bunganya, yang nanti akan dijadikan contoh untuk membuat cetakan kue. Cetakan kuenya itu terbuat dari bahan seng”, tutur Basis.

Saat ibu kota Kerajaan Mataram Islam beberapa kali dipindahkan, mulai dari Kotagede ke Karta saat masa pemerintahan Sultan Agung; dari Karta ke Plered saat masa pemerintahan Amangkurat I. Lalu dari Plered ke Kartasura saat masa pemerintahan Amangkurat II, tradisi menyajikan roti kembang waru dalam setiap acara Keraton pun tetap dilaksanakan. Namun, setelah Kerajaan Mataram Islam runtuh, tradisi membuat roti kembang waru akhirnya kembali ke Kotagede.

Menurut sepengetahuan Basis, di Kotagede masih terdapat banyak sekali peninggalan sejarah awal Kerajaan Mataram Islam, seperti Masjid Gedhe Mataram; Kompleks Pemakaman Panembahan Senopati; tempat pemandian; Watu Gilang; Hasto Renggo dan lainnya. Karena ada banyaknya peninggalan tersebut, maka secara tidak langsung segala sesuatu yang awalnya berasal dari Kotagede juga harus ikut dilestarikan, termasuk roti kembang waru.

“Jadi ya karena Kampung Bumen sendiri juga dulunya adalah tempat dimana pengerajin seng dan cetakan roti kembang waru berasal, jadi saya dan semua warga setempat berusaha mewarisi peninggalan kuliner Mataram tersebut”, tutur Basis.

Kenampakan dari dapur toko roti kembang waru milik Basis beserta dua oven tradisional legendarisnya | Dok. pribadi/ Thomas Panji 
Kenampakan dari dapur toko roti kembang waru milik Basis beserta dua oven tradisional legendarisnya | Dok. pribadi/ Thomas Panji 

Dalam sejarahnya, roti kembang waru menjadi sebuah panganan yang wajib hadir ketika Keraton sedang menggelar sebuah acara. Acara tersebut biasanya seperti mitoni; selapanan; manten; kenaikan tahta ataupun acara-acara penting lainnya. 

Alasan kenapa roti kembang waru begitu penting dengan sejumlah peristiwa di Keraton, berkaitan dengan sejumlah nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalam roti kembang waru itu sendiri.

Basis menjelaskan, roti kembang waru bagi masyarakat Mataram Islam mengandung ilmu mengenai “Hasta Brata”. Hasta sendiri dalam Bahasa Jawa diartikan sebagai angka delapan dan Brata sendiri diartikan sebagai “laku” atau jalan spiritual. 

Hasta Brata jika diartikan seluruhnya, menurut Basis mengandung arti delapan “laku” atau jalan spiritual yang harus dijalankan seseorang bila dirinya akan atau sedang menjalankan sebuah kepemimpinan.

Kedelapan jalan spiritual tersebut adalah hasil personifikasi dari delapan unsur alam yang ada di sekitar kita, untuk dijadikan sebagai panutan watak seorang pemimpin. 

Delapan unsur tersebut meliputi: Bumi (Tanah); Banyu (Air); Bayu (Angin); Geni (Api); Surya (Matahari); Rembulan (Bulan); Bintang; dan Langit. Bila seorang calon atau pemimpin bersedia mengadopsi keseluruhan unsur tersebut, maka semoga ia akan menjadi pemimpin yang baik, berwibawa dan mampu mengayomi.

Kedelapan unsur dalam ilmu Hasta Brata masing-masing memiliki karakter yang khas. Bumi melambangkan sifat kaya hati yang artinya suka berderma. Air melambangkan ketenangan hati dan batin dalam menghadapi masalah. Angin melambangkan manfaat bagi orang banyak yang tak terlihat namun terasa nyata. Api melambangkan kemampuan untuk menerima semua masalah dan kesulitan sebagai bagian dari pembelajaran hidup.

Matahari melambangkan sinar harapan bagi sesama yang sedang kesulitan. Bulan melambangkan terang yang membawa rasa kesabaran ketika menghadapi masalah. Bintang melambangkan kemapanan dan ketangguhan hati serta raga. Dan langit melambangkan sifat mengayomi dan melindungi semua orang tanpa pilih kasih. Delapan nilai inilah yang menurut Basis menjadi kunci keseimbangan dan harmonisasi antara jagat gede dan jagat cilik.

“Selain nilai filosofi Hasta Brata, rasa manis dari roti kembang waru juga melambangkan permohonan kepada Tuhan untuk meminta rahmat dan berkat baik. Supaya orang-orang semakin diberikan sifat baik kepada sesamanya”, tutur Basis.

Di lain kesempatan, Basis ikut menceritakan mengenai bahan baku asli untuk membuat adonan roti kembang waru. Adonan pada masa awal tidak menggunakan tepun terigu sebagai bahan bakunya. Tetapi, adonan roti kembang waru pada saat itu menggunakan tepung beras ketan, telur ayam kampung dan gula pasir. Untuk aroma wangi, para juru masak di zaman dahulu menggunakan daun pandan, kayu manis atau pala sebagai tambahannya. 

Namun, seiring berkembangnya jaman dan permintaan konsumen semakin meningkat pesat, Basis dan Gidah pun akhirnya memutuskan untuk mengganti bahan baku. 

Meski bahan bakunya tergantikan, namun Basis memegang prinsip untuk tidak akan pernah menghilangkan cara memasak roti kembang waru secara tradisional dari dapurnya. Hal ini dikarenakan roti buatan Basis memiliki cita rasa yang tidak tergantikan dan selalu menjadi incaran banyak turis.

Sebelum pandemi Corona menghantam Indonesia, Basis bercerita di awal tahun 2020, toko rotinya kebanjiran turis mancanegara asal Belgia dan Perancis. 

Basis menjelaskan, turis-turis mancanegara sangat senang ketika mereka bersentuhan dengan sesuatu yang tradisional. Bisa itu seperti bangunan arsitektur, jalan setapak ataupun kuliner lokal yang masih menggunakan bahan baku sederhana dan cara memasaknya yang masih sangat tradisional.

“Jadi saya waktu itu turis-turis dari Belgia dan Perancis datang membawa 20 becak. Mereka itu sangat senang kalau ketemu yang seperti itu. Saya pengalaman itu pernah nenerima turis paaling jauh dari Alaska sama Rusia”, tutur Basis.

Roti kembang waru mungkin tampak seperti panganan yang mudah untuk dibuat. Namun, pengalaman dari Basis mengajarkan kita bahwa diperlukan banyak hal untuk bisa membuat roti kembang waru yang bercita rasa khas. Tanpa adanya rasa yang dicurahkan secara utuh, mungkin roti kembang waru hanya akan menjadi suatu identitas gastronomi lokal. Sehingga, penting bagi kita untuk semakin melestarikan kekayaan kuliner lokal, sebagai identitas masyarakat kebudayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun