Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tamansari dan Pemenuhan Hajat Spiritual Sri Sultan

18 November 2020   08:00 Diperbarui: 10 Mei 2022   05:46 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pintu masuk untuk menuju lingkungan Tamansari | sewamobiljogja.id

Pembangunan sebuah taman, ternyata tidak hanya untuk menambah estetika semata. Tapi juga menjadi pemenuh hajat spiritual.

Pernahkah pembaca membayangkan bahwa pembangunan suatu taman ditujukan untuk alasan spiritual? Agaknya cukup membingungkan bagi kita manusia modern yang selalu memahami fungsi dari taman sebagai tempat untuk rekreasi dan ruang publik. Dalam banyak literatur sejarah, di zaman dahulu taman memiliki fungsi dan peran yang sangat lekat dengan kebutuhan yang transendental dan suci bagi seorang Raja.

Ya, pembaca tidak salah mengira. Taman di zaman dahulu, memang diperuntukan kehadirannya sebagai pemenuhan hajat spiritual dari seorang Raja. Kita mungkin pernah mendengar sebuah objek wisata terkenal di Yogyakarta bernama Tamansari. Tamansari adalah salah satu dari sekian banyak taman-taman kerajaan di Pulau Jawa yang fungsinya diperuntukan untuk alasan spiritual dan terinspirasi dari sejumlah konsepsi dalam kepercayaan Kejawen.

Oke, pada tulisan artikel kali ini, penulis tidak akan masuk pada bagian yang terlalu dalam di sisi arsitektural Tamansari. Tapi, tulisan artikel kali ini ingin berusaha mengulas sisi filosofis dan estetika dari Tamansari yang ingin menitiberatkan pada beberapa pertanyaan. Seperti, landasan apa yang pada akhirnya membuat Tamansari hadir dan menjadi pusat pemenuhan hajat spiritual Raja? Serta dari manakah konsepsi atau pemikiran pembangunan taman ini berasal?

Untuk bisa memahami bagaimana berbagai nilai estetika dan filosofi yang meliputi Tamansari, Denys Lombard, dalam bukunya yang berjudul Taman-Taman di Jawa (2019), menyebutkan bahwa ada berbagai elemen yang harus dibedah, ditelisik dan menitiberatkan kesemua hal tersebut pada berbagai konsepsi Jawa Kuno, tentang rasa pengaturan ruang taman di masa lampau. Dalam penelusurannya, Denys mencari tahu bukti-bukti artefak tersebut mulai dari Candi Borobudur.

Dari berbagai relief yang berhasil ditemukan, Denys menyebut ada penggambaran taman, lengkap dengan pepohonan rindang yang diselingi oleh pot-pot bunga berukuran besar. Pengambaran ini persis seperti pot-pot bunga yang ada di lingkungan Tamansari. Penemuan bukti artefak ini kemudian dilanjutkan Denys dengan membaca dan menganalisis berbagai produk kesusastraan dan produk-produk kesenian Jawa lainnya, seperti lakon di wayang kulit dan wayang wong.

Beberapa produk-produk tersebut adalah roman sejarah Rangga Lawe; Puisi Sudamala; Kitab Sutasoma; lakon Hanuman Obong; lakon Bangun Taman Maerakaca; lakon Sumantri Ngenger dan lakon Pergiwa-Pergiwati. Selain pergi dan mengamati Candi Borobudur, Denys juga melakukan penelitian dan analisis artefak lainnya ke berbagai tempat yang ‘diklaim’ menjadi ilham bagi pembangunan Tamansari saat itu.

Berbagai tempat tersebut seperti situs Candi Arjuna di pegunungan Dieng; situs Candi Sukuh dan situs Gunung Penanggungan. Melalui berbagai pengamatan dan analisis literatur; lakon pewayangan serta tempat-tempat yang diklaim menjadi ilham dari pembangunan taman di Jawa, Denys mengemukakan hipotesis bahwa sejarah mengenai kehadiran taman-taman yang lebih tua dari Tamansari sebetulnya tidak konkret.

Sebuah lukisan mengenai Tamansari dengan latar Gedhong Kenanga | nationalgeographic.grid.id
Sebuah lukisan mengenai Tamansari dengan latar Gedhong Kenanga | nationalgeographic.grid.id

Tidak konkret dalam definisi kewilayahan-aristektural. Dalam berbagai kesusastraan Jawa dan lakon pewayangan, taman sejatinya diimajinasikan sebagai sesuatu yang sublim dan elok seperti halnya surga dunia. Sebagai contoh, dalam sebuah lakon bernama Bangun Taman Maerakaca, konsepsi taman atau rasa keindahan akan sebuah tempat digambarkan ketika seseorang memasuki sebuah Patani, yaitu semacam rumah singgah atau ruang menyenpi.

Dalam lakon tersebut, sebuah Patani yang diulas memiliki sebuah taman yang digambarkan begitu indah. Penggambaran tersebut seperti memiliki dinding taman yang berlapis emas yang jika terkena sinar matahari sinarnya lebih terang dari pada sinar di siang hari; memiliki gerbang setinggi Gunung Semeru dan tersemat sebuah batu permata mirah delima; memiliki pintu yang terbuat dari kaca; dan berbagai pengisahan lainnya yang dijelaskan dalam lakon tersebut.

Disini, Denys mengambil kesimpulan bahwa penggambaran taman menurut konsepsi Jawa sesungguhnya sangat imajinatif, cenderung khayalan atau ‘adiduniawi’. Dari penarikan kesimpulan ini, Denys memaparkan sebuah konsepsi Jawa yang sekiranya dapat menjadi dasar untuk menjelaskan, mengapa taman dalam konsepsi Jawa selalu digambarkan dalam konteks ruang yang indah dan cenderung sublim, seperti halnya ‘surga’ dalam berbagai literatur.

Denys menemukan, bahwa ada sebuah konsepsi bernama ‘alas gung liwang-liwung’. Konsepsi ini menurut Niels Mulder dalam bukunya yang berjudul Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia (2001) adalah tempat yang digambarkan sebagai sesuatu yang belum pernah terjamah, misterius dan berhubungan dengan gaib, biasanya adalah hutan atau gunung. Di dalam konsep alas gung liwang-liwung, ada sebuah konsepsi lainnya, bernama ‘Jagat Gede’ dan ‘Jagat Cilik’.

Jagat Gede digambarkan sebagai Ketuhanan atau dunia roh, yang biasanya bersemayam di hutan atau gunung. Sedangkan Jagat Cilik adalah kita, dunia manusia. Selain itu, masyarakat Jawa juga memahami sebuah konsep turunannya, yakni Manunggaling Kawula Gusti. Konsep Manunggaling Kawula Gusti adalah sebuah keadaan, dimana kita sudah mampu mengatur hati, pikiran, perasaan secara utuh dan mendekatkan serta berserah pada kuasa Tuhan (Mulder, 2001).

Salah satu cara untuk bisa mencapai keadaan Manunggaling Kawula Gusti adalah dengan melakukan tapa brata. Dimana, kegiatan ini dahulu dilakukan di hutan belantara atau di bawah kaki gunung. Dalam penelitian dan penelusuran Denys, Candi Arjuna Dieng, Candi Sukuh dan Situs Gunung Penanggungan adalah beberapa tempat yang dulu dipakai untuk melakukan sembahyang dan tapa brata, demi mencapai keadaan Manunggaling Kawula Gusti.

Dengan demikian, kerterkaitan antara konsep alas gung liwang-liwung dengan ‘Jagat Gede’ dan ‘Jagat Cilik’ adalah keinginan untuk mencapai keadaan Manunggaling Kawula Gusti. Dimana, cara tersebut bisa dilakukan lewat kegiatan tapa brata di alam terbuka dan meleburkan batin bersamaan dengan elemen-elemen yang ada di alam. Seperti unsur air, tanah, udara, tumbuhan dan gunung, yang diilhami sebagai Jagat Gede atau semesta (Mulder, 2001)

Sehingga, gambaran taman menurut konsepsi Jawa adalah lingkungan alam itu sendiri, dimana alam serta berbagai elemennya menjadi pintu gerbang untuk bisa melakukan interaksi antara dunia yang tidak terlihat dengan yang terlihat, demi mencapai keterhubungan batin secara transendental bagi Raja. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah jika taman dalam konsepsi Jawa adalah alam itu sendiri, lalu kenapa pada akhirnya taman hadir dalam rupa wilayah, fisik dan arsitektural?

Jawabannya adalah karena dimulainya peradaban agraris. Kita mengenal masyarakat Jawa sebagai masyarkat agraris. Dahulu, manusia bertahan hidup di hutan dengan cara berburu dan meramu makanan. Saat manusia mendapatkan keahlian dan kemampuan untuk mengolah tanah, untuk bertani dan beternak, fungsi hutan kemudian berubah menjadi pekarangan, yang biasanya berbentuk sawah, kebun, ladang atau kandang ternak.

Di dalam konteks agraris, pekarangan memiliki fungsi untuk bertahan hidup, seperti halnya makan, panen dan kemudian bercocok tanam kembali. Disini, pekarangan memiliki fungsi subtitusi keruangan dari hutan yang direalisasikan dalam kebudayaan bercocok tanam dan menetap. Lalu, dalam situasi modern seperti sekarang, pekarangan di rumah berubah menjadi halaman rumah, yang memiliki fungsi untuk menambah estetika dan keindahan.

Kenampakan Masjid Bundar atau Sumur Gumuling | www.republika.co.id
Kenampakan Masjid Bundar atau Sumur Gumuling | www.republika.co.id

Di dalam konteks inilah, halaman rumah kemudian menjadi gagasan dasar dari lahirnya representasi soal taman. Konsep ini pun juga berlaku bagi seorang Raja, yang membangun taman di halaman istananya untuk melepas penat, beristirahat dan mendekatkan diri secara batin pada kuasa ilahi. Dalam konteks ruang Tamansari, aktivitas seperti halnya tapa brata dan berdoa, berlangsung di dua tempat yang berbeda. Yakni di Pulo Panembung dan Sumur Gumuling.

Pulo Panembung adalah sebuah pulau buatan yang berdiri di sebuah danau buatan berukuran besar (segaran) dan terletak disebelah Selatan Pulo Kenanga atau Pulau buatan utama di kompleks Tamansari. Panembung sendiri berasal dari kata nembung, atau memohon. Pulo Panembung biasanya digunakan oleh Ngarso Dalem (gelar untuk seorang Sultan) sebagai tempat meditasi untuk bisa mendapatkan wahyu dan memahami sifat ilahi-Nya (Lombard, 2019).

Lalu, ada Sumur Gumuling. Sumur Gumuling menurut Denys Lombard dalam buku Taman-Taman di Jawa (2019), adalah sebuah masjid berbentuk bundar, yang berdiri diatas sebuah danau buatan (segaran) dan terletak disebelah Barat Pulo Kenanga. Sumur Gumuling fungsinya dikhususkan bagi Ngarso Dalem untuk memanjatkan syukur dalam rupa salat. Masjid ini terdiri dari dua lantai yang masing-masing memiliki ceruk dan berfungsi sebagai mihrab.

Selain Pulo Panembung dan Sumur Gumuling, lingkungan Tamansari juga di dominasi oleh unsur air dan tumbuhan yang sangat kaya. Dimana, unsur air dan tumbuhan menjadi media bagi Sultan untuk meleburkan diri bersama alam, demi mencapai pemenuhan hajat spiritual serta mendapatkan wahyu. Tamansari dilengkapi dengan dua buah danau buatan (segaran) di sebelah Timur dan juga Barat yang dihubungkan dengan kanal serta masing-masing memiiki Pulau buatan.

Pulau buatan yang ada sisi Timur bernama Pulo Gedhong dan memiliki paviliun bernama Gedhong Gadhing. Sedangkan, Pulau buatan di sisi Barat bernama Pulo Kenanga dan memiliki paviliun bernama Gedhong Kenanga. Konon, menurut catatan sejarah, Gedhong Kenanga menjadi tempat istirahat utama Sultan bererta keluarganya saat sedang berekreasi ke Tamansari. Selain itu, Tamansari juga ditumbuhi oleh aneka pohon buah dan bunga.

Seperti yang dikutip dari laman website Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, disepanjang kanal, dan di beberapa tempat yang dekat dengan bangunan pendukung di Tamansari, aneka pohon buah, bunga dan sayur tumbuh subur dimana-mana, baik di atas tanah maupun di dalam pot-pot berukuran besar. Beberapa jenis tanaman tersebut antara lain, pohon nanas, pohon mangga, kembang sepatu, sedap malam, sawo, wijaya kusuma dan berbagai jenis tanaman serta pohon lainnya (Lombard, 2019).

Sehingga, tidaklah mengherankan jika Tamansari di zaman dahulu pernah mendapat predikat sebagai Water Kasteel atau Kastil Air dan Fragrant Garden atau Taman yang Harum. Sampai disini, dari kesemua data, fakta, hasil kajian dan penelitian komperhensif yang sudah dilakukan, Denys menyimpulkan bahwa disinilah Tamansari menunjukan fungsi spiritualnya yang sejatinya bagi pemenuhan hajat seorang Sultan untuk menemukan keseimbangan dalam hidup.

Pada akhirnya, kajian yang dilakukan oleh Denys Lombard mengenai Tamansari, sejatinya dapat mengajarkan kita bahwa bangsa Indonesia punya akar sejarah spiritual, arsitektur, seni, filsafat, sastra yang sangat luhung. Tamansari adalah salah satu wujud nyata dari betapa tingginya kebudayaan kita. Maka dari itu, jika kita masih punya waktu untuk mau belajar mengenai hal-hal seperti ini, mungkin pertanyaan ‘kenapa saya harus bangga jadi orang Indonesia?’ bisa terjawab, dan ini adalah saatnya kita untuk melestarikan hal tersebut.

 

Daftar Pustaka:

Lombard, D. 2019. Taman-Taman di Jawa. Jakarta. Komunitas Bambu

Mulder, N. 2001. Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia. Yogyakarta. LKiS

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun