Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tamansari dan Pemenuhan Hajat Spiritual Sri Sultan

18 November 2020   08:00 Diperbarui: 10 Mei 2022   05:46 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah lukisan mengenai Tamansari dengan latar Gedhong Kenanga | nationalgeographic.grid.id

Dalam lakon tersebut, sebuah Patani yang diulas memiliki sebuah taman yang digambarkan begitu indah. Penggambaran tersebut seperti memiliki dinding taman yang berlapis emas yang jika terkena sinar matahari sinarnya lebih terang dari pada sinar di siang hari; memiliki gerbang setinggi Gunung Semeru dan tersemat sebuah batu permata mirah delima; memiliki pintu yang terbuat dari kaca; dan berbagai pengisahan lainnya yang dijelaskan dalam lakon tersebut.

Disini, Denys mengambil kesimpulan bahwa penggambaran taman menurut konsepsi Jawa sesungguhnya sangat imajinatif, cenderung khayalan atau ‘adiduniawi’. Dari penarikan kesimpulan ini, Denys memaparkan sebuah konsepsi Jawa yang sekiranya dapat menjadi dasar untuk menjelaskan, mengapa taman dalam konsepsi Jawa selalu digambarkan dalam konteks ruang yang indah dan cenderung sublim, seperti halnya ‘surga’ dalam berbagai literatur.

Denys menemukan, bahwa ada sebuah konsepsi bernama ‘alas gung liwang-liwung’. Konsepsi ini menurut Niels Mulder dalam bukunya yang berjudul Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia (2001) adalah tempat yang digambarkan sebagai sesuatu yang belum pernah terjamah, misterius dan berhubungan dengan gaib, biasanya adalah hutan atau gunung. Di dalam konsep alas gung liwang-liwung, ada sebuah konsepsi lainnya, bernama ‘Jagat Gede’ dan ‘Jagat Cilik’.

Jagat Gede digambarkan sebagai Ketuhanan atau dunia roh, yang biasanya bersemayam di hutan atau gunung. Sedangkan Jagat Cilik adalah kita, dunia manusia. Selain itu, masyarakat Jawa juga memahami sebuah konsep turunannya, yakni Manunggaling Kawula Gusti. Konsep Manunggaling Kawula Gusti adalah sebuah keadaan, dimana kita sudah mampu mengatur hati, pikiran, perasaan secara utuh dan mendekatkan serta berserah pada kuasa Tuhan (Mulder, 2001).

Salah satu cara untuk bisa mencapai keadaan Manunggaling Kawula Gusti adalah dengan melakukan tapa brata. Dimana, kegiatan ini dahulu dilakukan di hutan belantara atau di bawah kaki gunung. Dalam penelitian dan penelusuran Denys, Candi Arjuna Dieng, Candi Sukuh dan Situs Gunung Penanggungan adalah beberapa tempat yang dulu dipakai untuk melakukan sembahyang dan tapa brata, demi mencapai keadaan Manunggaling Kawula Gusti.

Dengan demikian, kerterkaitan antara konsep alas gung liwang-liwung dengan ‘Jagat Gede’ dan ‘Jagat Cilik’ adalah keinginan untuk mencapai keadaan Manunggaling Kawula Gusti. Dimana, cara tersebut bisa dilakukan lewat kegiatan tapa brata di alam terbuka dan meleburkan batin bersamaan dengan elemen-elemen yang ada di alam. Seperti unsur air, tanah, udara, tumbuhan dan gunung, yang diilhami sebagai Jagat Gede atau semesta (Mulder, 2001)

Sehingga, gambaran taman menurut konsepsi Jawa adalah lingkungan alam itu sendiri, dimana alam serta berbagai elemennya menjadi pintu gerbang untuk bisa melakukan interaksi antara dunia yang tidak terlihat dengan yang terlihat, demi mencapai keterhubungan batin secara transendental bagi Raja. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah jika taman dalam konsepsi Jawa adalah alam itu sendiri, lalu kenapa pada akhirnya taman hadir dalam rupa wilayah, fisik dan arsitektural?

Jawabannya adalah karena dimulainya peradaban agraris. Kita mengenal masyarakat Jawa sebagai masyarkat agraris. Dahulu, manusia bertahan hidup di hutan dengan cara berburu dan meramu makanan. Saat manusia mendapatkan keahlian dan kemampuan untuk mengolah tanah, untuk bertani dan beternak, fungsi hutan kemudian berubah menjadi pekarangan, yang biasanya berbentuk sawah, kebun, ladang atau kandang ternak.

Di dalam konteks agraris, pekarangan memiliki fungsi untuk bertahan hidup, seperti halnya makan, panen dan kemudian bercocok tanam kembali. Disini, pekarangan memiliki fungsi subtitusi keruangan dari hutan yang direalisasikan dalam kebudayaan bercocok tanam dan menetap. Lalu, dalam situasi modern seperti sekarang, pekarangan di rumah berubah menjadi halaman rumah, yang memiliki fungsi untuk menambah estetika dan keindahan.

Kenampakan Masjid Bundar atau Sumur Gumuling | www.republika.co.id
Kenampakan Masjid Bundar atau Sumur Gumuling | www.republika.co.id

Di dalam konteks inilah, halaman rumah kemudian menjadi gagasan dasar dari lahirnya representasi soal taman. Konsep ini pun juga berlaku bagi seorang Raja, yang membangun taman di halaman istananya untuk melepas penat, beristirahat dan mendekatkan diri secara batin pada kuasa ilahi. Dalam konteks ruang Tamansari, aktivitas seperti halnya tapa brata dan berdoa, berlangsung di dua tempat yang berbeda. Yakni di Pulo Panembung dan Sumur Gumuling.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun