Sebagai media sosial berbasis UGC, sudah saatnya bagi Kompasiana untuk mulai membuat inovasi. Salah satunya adalah dengan menyediakan kanal podcast.
Kompasiana adalah sebuah platform blog dan publikasi online yang sudah berdiri sejak 22 Oktober 2008. Platform ini melakukan perubahan misi, dengan mengubah semboyannya menjadi “Beyond Blogging” atau “Lebih dari Sekadar Ngeblog”, pada tahun 2017 yang lalu.
Perubahan misi ini menegaskan bahwa Kompasiana ingin menjadi tempat yang aktif dan penuh interaksi antar Kompasianer dengan berbagai pihak, seperti institusi, produk dan khalayak.
Berbagai inovasi pun dilakukan, seperti membuat rubrik khusus video, mengadakan kompetisi blog, membuat festival Kompasiana, dan yang paling terbaru adalah membuat program Narativ, yakni platform yang menjembatani pemilik brand dengan Kompasianer untuk dapat mengadakan kerjasama dalam membuat berbagai proyek komunikasi. Inovasi tersebut tampaknya tidaklah cukup jika berhenti hanya pada tataran produk tulisan dan video.
Kompasiana sekiranya perlu untuk mencoba membuat inovasi baru, yakni membuka kanal podcast. Saran ini muncul karena Kompasiana adalah salah satu media sosial di Indonesia yang berbasis Users Generated Content (UGC). User Generated Content (UGC) adalah strategi dan inovasi baru dalam dunia pemasaran dengan memanfaatkan hasil testimoni dari para pengguna media sosial atas konsumsi sebuah produk barang atau jasa (Glints.com, 2020).
Tapi, kenapa inovasi yang penulis tawarkan ke Kompasiana harus dalam bentuk podcast? Bagaimanakah tren podcast di Indonesia dan seberapa untungnya konten audio ini? Portal DailySocial.id pernah melakukan sebuah riset pada tahun 2018 lalu yang memaparkan hasil mengenai tren Podcast di Indonesia. DailySocial mengambil sampel sekitar 2.032 responden, untuk dimintai keterangan mengenai mengenai tren podcast (DailySocial.id, 2018).
Hasil menarik yang bisa didapat adalah 40% lebih pendengar podcast di Indonesia didominasi oleh usia pendengar 20-25 tahun sebesar 42,12%. Diikuti oleh usia 26-29 tahun (25,52%) dan usia 30-35 tahun (15,96%). Pendengar podcast di Indonesia yang didominasi oleh anak muda, sebagian besar tinggal di Pulau Jawa, dengan persentase sebesar 80,57%. Jadi persepsi bahwa generasi millenial adalah generasi penonton, sebetulnya tidak terlalu tepat klaimnya.
Sebuah data lain menunjukkan, bahwa 67,97% masyarakat sudah mengenal apa itu podcast dan 80,82% diantara mereka pernah mendengar podcast selama 6 bulan terakhir. Meski angka persentasenya tinggi, namun hanya ada sekitar 43,23% responden saja yang sangat tertarik untuk mendengarkan podcast secara berkala, dan sisanya, sebesar 50,63% menyatakan belum yakin dengan konten yang disajikan dalam podcast.
Meski beberapa responden belum yakin, namun yang mengejutkan, jumlah pendengar podcast ternyata melampaui dari jumlah pendengar radio, yakni sebesar 25,29% untuk podcast dan 17,98% untuk radio.
Prosentase sisanya, sebesar 56,73% mendengarkan podcast dan juga siaran radio secara kontinu sebagai sumber utama audionya. Tingginya angka pendengar podcast, membuat beberapa aplikasi pemutar suara juga ikut masuk ke dalam lingkaran riset ini.
Spotify tercatat masih menjadi salah satu aplikasi pemutar podcast paling populer, sebesar 52,02%. Diikuti oleh Soundcloud di urutan kedua (46,25%) dan Google Podcast di urutan ketiga (41,25%).
Menariknya, aplikasi pemutar lagu dan suara buatan lokal, Inspigo memiliki persentase pengguna yang cukup tinggi, yakni sebesar 10,87%, jauh melampaui platform Anchor yang sudah Go International.
Cukup tingginya angka persentase orang-orang yang mendengarkan podcast ketimbang radio, dipengaruhi oleh dua alasan dasar, yakni keberagaman konten dan sifatnya yang fleksibel.
Data menunjukan, sekitar 65,00% responden mendengarkan podcast karena tersedianya konten yang jauh lebih variatif dan alasan fleksibilitas dari podcast sebesar 62,69% mendukung hipotesis dari mengapa cukup banyaknya orang yang mulai gemar mendengarkan podcast.
Kedua, alasan mengenai keberagaman konten dan sifat yang fleksibel dari podcast, ternyata juga ikut mempengaruhi tempat yang ideal untuk mendengarkan sebuah podcast.
Data yang cukup mengejutkan adalah sebesar 78,85% responden mendengarkan podcast saat berada di rumah. Sisanya mendengarkan podcast di tempat lainnya seperti di transportasi umum (36,06%), tempat umum (35,58%) dan di sekolah atau kampus (34,81%).
Tingginya angka persentase pendengar podcast saat berada dirumah juga ikut mempengaruhi kapan waktu prime time bagi mereka untuk mendengarkan podcast.
Data yang cukup mengejutkan juga adalah sebesar 32,50% responden mendengarkan podcast saat jam 21.00 ke atas. Waktu favorit di urutan kedua kebanyakan dilakukan saat jam pulang kantor, yakni mulai dari jam 17.00 sampai 21.00, dengan persentase sebesar 27,02%.
Banyaknya responden yang mendengarkan podcast saat jam 21.00 keatas, juga ikut mempengaruhi durasi podcast yang disukai oleh para pendengar. Data menunjukan, sebesar 37,21% responden menyatakan bahwa lebih suka mendengarkan podcast yang berdurasi 10-20 menit. Diikuti oleh durasi podcast selama 20-30 menit dengan persentase sebesar 31,54%. Durasi podcast yang disukai pendengar, juga ikut mempengaruhi jenis konten yang disukai dan menjadi konten populer.
Konten entertaiment masih menempati peringkat teratas sebesar 70,00%. Diikuti oleh konten gaya hidup sebesar 60,00% dan konten teknologi sebesar 57,17%.
Dalam sebuah konten podcast, podcaster atau sang kreator podcast juga sangat mempengaruhi daya pikat pendengar terhadap sebuah konten yang disajikan. Podcaster dengan latar belakang sebagai pengusaha/entrepreneurs memiliki tingkat persentase ketertarikan dari masyarakat yang cukup tinggi, yakni sebesar 65,34%.
Disusul oleh para podcaster dari kalangan selebriti sebesar 53,33%. Yang cukup mengagetkan adalah dari kalangan ekspertis yang ada di peringkat ketiga, sebesar 52,14%. Oke, itu adalah trend podcast di Indonesia. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah seberapa menguntungkannya podcast untuk Kompasiana?
Pertama, kita sepekati bersama, bahwa Spotify menjadi platform pemutar lagu terpopuler yang digunakan saat ini.
Kedua, penulis mengajukan sebuah pertanyaan dasar mengenai berapa banyak jumlah pendengar podcast di Indonesia yang menggunakan platform Spotify? Seperti yang dikutip dari Kompas.com (2/5/2020), jumlah pelanggan berbayar Spotify berdasarkan laporan keuangan kuartal pertama (Q12020), tercatat ada sekitar 130 juta. Spotify selain mengumumkan jumlah pengguna berbayar, di satu sisi juga mengumumkan data jumlah pengguna aktif bulanan (monthly active users/MAU).
Pada kuartal pertama tahun 2020, jumlah MAU Spotify tercatat meningkat sebesar 31%, dengan angka pengguna aktif bulanan sebesar 286 juta. Tingginya jumlah pengguna aktif bulanan Spotify di seluruh dunia ternyata membawa angin segar bagi jumlah pendengar podcast di Indonesia yang dikabarkan mengalami peningkatan pesat. Dilansir dari Bisnis.com (8/6/2020), Spotify’s Head of Studios for Southeast Asia, Carl Zuzarte, menyebutkan bahwa Indonesia adalah pasar potensial.
Spotify Asia Tenggara, mencatat Indonesia memiliki lebih dari 20% pengguna Spotify yang mendengarkan podcast setiap bulannya. Carl Zuzarte, menerangkan bahwa prosentase ini nilainya sangat tinggi, bahkan melampaui dari rata-rata pendengar podcast secara global.
Data lain dari Kumparan.com (28/5/2020), menyebutkan mayoritas menyukai konten bertema komedi, hiburan, horror, dan konten lainnya yang bisa didengarkan pada malam hari sebelum tidur.
Selanjutnya, penulis akan menjabarkan kekuatan yang dimiliki oleh Kompasiana, mulai dari jumlah pageviews/bulan dan jumlah pengunjung unik (unique visitor)/bulan. Dilansir pada halaman “Tentang Kompasiana”, pada bagian Statistik Kompasiana, per bulan Desember 2017, Kompasiana tercatat memiliki sekitar 26 juta pageviews/bulan dan 13 juta unique visitor/bulan. Jumlah ini belum ditambah dengan total jumlah Kompasianer yang terdaftar.
Jumlah tersebut mencapai 560,865 Kompasianer per Juli 2020 (microsite.kompasiana.com, 2020). Jika ditelaah, angka pageviews, unique visitor dan jumlah pengguna Kompasiana boleh dikatakan sangat besar untuk sebuah media sosial berbasis blog dan publikasi online. Selanjutya, disini penulis akan menjelaskan dimana letak keuntungan bagi Kompasiana jika membuat sebuah produk podcast.
Berdasarkan data yang sudah dijabarkan diatas, Spotify memiliki jumlah pendengar aktif bulanan sebesar 286 juta. Dari 286 juta pengguna aktif bulanan Spotify di seluruh dunia, 20% diantaranya adalah penikmat konten podcast di Indonesia pada tahun 2020. Jika dikalkulasikan, maka totalnya ada lebih dari 57,2 juta orang Indonesia yang mendengarkan podcast setiap bulan. Sekarang kita lihat jumlah pageviews/bulan Kompasiana pada tahun 2017, yakni sebanyak 26 juta.
Maka, jika di bandingkan, kekuatan podcast sebagai konten memiliki kapasitas 2,2 kali lipat lebih besar dari Kompasiana. Ini mungkin angka yang kecil dari podcast yang diputar Spotify, tapi yang menarik dari penelitian DailySocial.id adalah platform yang menyediakan layanan untuk mengunggah sebuah karya podcast tidak hanya Spotify, tapi masih ada Soundcloud, Google Podcast, Apple Cast, Pocket Cast, dan beragamnya platform lainnya.
Tersedianya berbagai kanal membuktikan bahwa persaingannya tidak menciptakan monopolistik. Sehingga, bisa disimpulkan berapa banyak kira-kira pangsa pasar yang bisa dikeruk oleh Kompasiana jika membuat konten podcast? Ini tentu menjadi peluang yang bagus bagi Kompasiana untuk semakin menghidupkan kekuatan UGC-Nya dan dapat memberikan pilihan bagi mereka yang ingin berkarya selain membuat konten artikel blog maupun video.
Semakin banyak pilihan karya yang bisa diunggah dan dibagikan, akan semakin banyak juga orang yang tertarik untuk bergabung ke Kompasiana. Jika jumlah Kompasianer bertambah karena adanya podcast; semakin sering sebuah konten diunggah; kontennya semakin variatif; dan dapat mempengaruhi banyaknya jumlah pengunjung, maka exposure yang bisa diperoleh pengguna dapat menjadi lebih besar.
Tingginya exposure karena sering mengunggah sebuah konten, praktis akan mempengaruhi traffic. Traffic dihitung berdasarkan berapa jumlah orang yang mengkonsumsi sebuah konten. Semakin tinggi sebuah traffic maka akan semakin sering juga kreator tersebut akan dikenal dan akan mempengaruhi minat pemilik brand untuk mengajak kerjasama. dalam beriklan atau membuat sebuah konten promosi, seperti halnya UGC.
Sehingga, menyediakan kanal podcast adalah salah satu inovasi yang sekiranya cocok untuk diterapkan oleh Kompasiana untuk membangun kekuatan UGC-Nya agar semakin jauh lebih baik dan mampu menciptakan dampak yang nyata. Dampak tersebut seperti halnya semakin memiliki peluang yang besar untuk memperoleh ceruk pasar yang semakin luas dan memantapkan posisinya sebagai media sosial yang dapat dipercaya dalam hal pemasaran berbasis UGC.
Bagaimana? Apakah ide untuk menyediakan kanal podcast di Kompasiana adalah ide yang cukup inovatif untuk memeriahkan keberagaman konten? Bagi para Kompasianer yang setuju dengan ide penulis, silahkan berkomentar untuk menyampaikan opini, aspirasi, ide maupun inovasinya. Lalu, marilah kita berdiskusi sekaligus bersilahturahmi satu sama lain, demi perkembangan Kompasiana yang jauh lebih baik ke depannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H