Menurut Mochtar Lubis dalam Sambas (2016), Indonesia sangat terkenal dengan budaya kolektivis, dan akhinrya membuat masyarakat kita sangat mengedepankan hubungan sosial yang erat, mementingkan rasa kekeluargaan dan meninggikan adat istiadat. Komunikasi ritual menjadi salah satu elemen penting yang menandakan bahwa masyarakat Indonesia memang menganut budaya kolektivis yang kental.
Ritual sendiri menurut Mulyana (2008) adalah sebuah bentuk komunikasi yang ekspresif karena ritual merupakan sebuah kegiatan yang hanya bisa dilakukan secara kolektif dan erat dengan budaya komunikasi konteks tinggi, karena memiliki komitmen emosional dan merekat kepaduan sebuah masyarakat. Bentuk komunikasi ritual yang mengandung unsur komitmen emosional dan kepaduan masyarakat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari seperti gotong royong.
Sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Schuetzendorf pada tahun 1989, menyebutkan bahwa karakter budaya kolektivisme orang Indonesia ditunjukkan dengan adanya kegiatan gotong royong untuk menerima perlindungan dari anggota lainnya, demi menciptakan keharmonisan (Mirza, 2014).Â
Semangat gotong royong yang dimiliki masyarakat Indonesia, ternyata menurut Hofstede menjadikan Indonesia sebagai bangsa dengan tingkat kolektivisme yang sangat tinggi.
Tingginya angka kolektivisme di Indonesia bahkan lebih jauh ketimbang negara-negara seperti Jepang, Malaysia, Filipina dan beberapa negara Arab (Mirza, 2014).Â
Budaya Indonesia yang kental dengan semangat hidup kolektivis, dibarengi dengan pola budaya komunikasi konteks tinggi (high-context culture). Menurut Stella Ting-Toomey dalam West dan Turner (2007), komunikasi konteks tinggi ditunjukkan dengan pola komunikasi tidak langsung dan lebih non-verbal.
Asumsi yang dibangun adalah ketidaklangsungan dalam pembicaraan dianggap penting, karena pendengar diharapkan untuk lebih memperhatikan makna tersirat yang disampaikan.Â
Pola budaya komunikasi konteks tinggi menjunjung nilai kesopanan dan hirarki sosial yang kuat, sehingga pola budaya komunikasi konteks tinggi harus memperhatikan elemen non-verbal, seperti ekspresi wajah dan gerak tubuh, demi menjaga hubungan antar personal tetap baik (Meli, 2017).
Stella Ting-Toomey, disatu sisi juga menjelaskan, bahwa masyarakat dengan pola budaya komunikasi konteks tinggi akan lebih condong ke gaya mengintegrasi dan dominasi dalam menghadapi konflik (West dan Turner, 2007).Â
Gaya mengintegrasi menekankan pada diskusi (musyawarah) untuk memecahkan masalah. Sedangkan, dominasi condong ke tindakan memperkuat pendapat dan kepentingan pribadi atau kelompok demi menentukan keputusan.