Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memahami Semangat Spiritual Suku Batak

5 Agustus 2020   08:00 Diperbarui: 17 Mei 2022   10:12 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap suku yang ada di Indonesia memiliki keunikannya masing-masing. Keunikan tersebut salah satunya berasal dari identitas spiritualnya. 

Suku Batak memang sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Suku yang bisa ditemukan hampir diseluruh penjuru Indonesia ini, memang terkenal sebagai salah satu suku yang unik dan cukup mencolok keberadaannya di dalam kehidupan multikultur masyarakat Indonesia. 

Suku Batak di benak masyarakat urban secara umum sangat terkenal dengan lapo, gereja Kristen dengan perayaan yang semarak, minuman tuak, profesi pengacara dan bisnis transportasi.

Meski penilaian terhadap suku Batak di atas tidaklah salah, namun untuk menjelaskan identitas dari suku Batak, kita tidak boleh melihatnya hanya dari sudut pandang yang demikian. Butuh suatu perspektif yang jauh lebih dalam dan kuat untuk memahami betapa luhur dan kompleksnya semangat hidup serta sejarah dari suku Batak. Salah satu cara untuk memahami suku Batak dengan perspektif yang jauh lebih sopan adalah dengan mengetahui semangat spiritual kesukuan mereka.

Semangat spiritual kesukuan mencerminkan semangat hidup dan adat istiadat dari perjalanan serta pengalaman mereka dalam menghadapi berbagai tantangan. Semangat spiritual kesukuan juga menjadi gambaran abstrak dari bagaimana sebuah suku menghargai dan menghormati hubungan antara manusia dengan semesta yang memberi mereka kehidupan. Suku Batak dikenal sebagai salah satu suku di Indonesia yang memiliki perjalanan spiritual kesukuan yang kuat dan luhur.

Dalam sejarah spiritualnya, suku Batak memiliki kepercayaan terhadap keberadaan sebuah ruh yang dikenal sebagai Debata hasi asi atau Sang Pencipta Alam Semesta. 

Menurut Anthony Reid dalam buku Sumatera Tempoe Doeloe dari Marco Polo sampai Tan Malaka (2014), orang Batak percaya bahwa kehidupan spiritual mereka diatur dan dijalankan oleh tiga ruh yang masih berasal dari keturunan Debata hasi asi, yakni Batara Guru, Soripada dan Mangana Bulan. 

Ketiga ruh ini memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing. Batara Guru adalah dewa keadilan, Soripada adalah dewa belas kasih dan Mangana Bulan adalah sumber kejahatan. Dalam melakukan tugasnya, ketiga ruh ini menggunakan perantara (wakil) yang tersebar di berbagai tempat di dunia. Para wakil ini masing-masing diberi gelar Debata digingang, Debata detora dan Debata dostonga atau biasa dikenal sebagai dewa atas, dewa bawah dan dewa tengah (Reid, 2014).

Jika diperhatikan dengan seksama, fungsi dan tugas dari ketiga ruh tersebut tampak mirip seperti ajaran agama Hindu yang mempercayai konsep mengenai tiga dewa dan tiga dunia, yakni Wisnu (pemelihara), Siwa (penghancur) serta Brahmana (pencipta). 

Dalam kepercayaannya, orang Batak percaya bahwa Mangana Bulan memiliki posisi yang penting dalam urusan hidup manusia ketimbang Batara Guru maupun Soripada.

Tapi, mengapa orang Batak lebih menghormati Mangana Bulan? Alasannya adalah karena orang Batak percaya bahwa kebaikan itu selalu ada jika kejahatan tidak ada. Oleh karena itu orang Batak lebih fokus ke bagaimana cara mereka untuk selalu bisa menyenangkan hati Mangana Bulan. 

Dengan demikian, tugas dari seorang Batara Guru sebagai pemimpin tertinggi umat manusia dan Soripada dapat berjalan dengan baik, sehingga terciptalah kemakmuran dan keselamatan.

Kenampakan dari bambu perhala-an| bobo.grid.id
Kenampakan dari bambu perhala-an| bobo.grid.id

Selain mempercayai konsep mengenai tiga dewa dan tiga dunia, orang Batak juga sangat mempercayai bahwa setiap desa memiliki pelindung, pengatur dan pengawasnya. Tugas ini diemban oleh ruh seperti Boru Namora, Boru Saniyang Naga dan Martua Sambaon. Ketiga ruh yang mendiami setiap desa ini kemudian menjadi tanggung jawab orang Batak seutuhnya untuk merawat dan menyenangkan mereka. Salah satu caranya adalah dengan persembahan kurban.

Untuk melakukan persembahan kurban demi menyenangkan hati para ruh leluhur yang sudah melindungi dan merawat kehidupan masyarakat Batak, dukun menjadi aktor penting yang bertugas untuk mengatur dan mengurus hal-hal yang bersifat spiritual dan juga melaksanakan tindakan ritual. Dalam pekerjaannya, seorang dukun dalam masyarakat Batak harus memiliki keahlian untuk membaca tanda, tahu cara menggunakan alat perdukunan dan ahli dalam membaca kalender.

Seseorang bisa ditunjuk sebagai seorang dukun jika secara kualifikasi mereka adalah orang yang dapat membaca dan memahami isi dari kitab agama Batak serta kepercayaan masyarakat terhadap hal yang bersifat kosmis. Kemampuan dalam membaca kitab dan memahami kepercayaan kosmis yang hanya bisa dilakukan oleh seorang dukun, kemudian menjadikan mereka sebagai sosok atau tokoh yang dihormati di dalam lingkaran sosial dan pergaulan masyarakat Batak.

Elemen terkuat yang semakin menjadikan posisi dari seorang dukun begitu dihormati adalah kemampuan mereka dalam membaca dan menafisrkan penanggalan hari. 

Menurut Reid (2014) masyarakat Batak tempo dulu selalu berkonsultasi kepada dukun untuk meminta penerangan dan bimbingan, agar pekerjaan dan kegiatan mereka dapat diberkahi rejeki dan keselamatan. Alat yang digunakan oleh para dukun untuk membaca dan menafsirkan tanggal disebut perhala-an.

Perhala-an sendiri merupakan sebuah tabel yang fungsinya hampir mirip seperti kalender yang di kombinasikan dengan sentuhan ilmu astronomi. Perhala-an terbuat dari bambu dan berisikan 12 garis horizontal, dimana 12 garis tersebut melambangkan 12 bulan dalam satu tahun. Adapun garis vertikal yang berada tepat diatas garis horizontal sebanyak 30 garis yang menandakan banyaknya hari dalam waktu satu tahun. Perpaduan kedua garis tersebut kemudian melahirkan 360 hari.

Jika dilihat secara seksama, suku Batak mungkin sudah memiliki ilmu pengetahuan penanggalan dan astronomi yang cukup maju. Bayangkan saja, mereka sudah hampir memiliki perhitungan hari yang sama dalam satu tahun seperti era modern saat ini, meski itu meleset atau kurang dari lima hari! Selain ada 12 garis horizontal dan 30 garis vertikal, dalam tabel perhala-an juga terdapat empat garis diagonal. Setiap garis diagonal tersebut bergambar rasi bintang Scorpio dan Pleiades.

Dalam kepercayaan suku Batak, rasi bintang Scorpio disebut sebagai Bentang Hala, dimana pertanda dari kemunculan Bentang Hala dianggap sebagai awal dari sebuah tanda yang tidak mengenakan dan cenderung merugikan. 

Di dalam penanggalan tersebut, rasi bintang Scorpio menutupi empat hari, dimana satu hari ditutup oleh kepala, dua hari oleh badan dan hari terakhir oleh ekor. Hari yang ditutup oleh badan dianggap sebagai hari baik dan sisanya tidak (Reid, 2014).

Sebuah upacara yang sedang dilaksanakan oleh seorang Datu atau dukun| tobatabo.com
Sebuah upacara yang sedang dilaksanakan oleh seorang Datu atau dukun| tobatabo.com

Selain harus mahir dalam membaca penanggalan perhala-an, seorang dukun Batak juga dibekali oleh empat pusaka lain sebagai penunjang dalam pekerjaannya. Keempat pusaka itu antara lain dua buah tongkat yang dinamakan tondung hujur dan tondung rangas yang terbuat dari kayu hitam yang ujungnya dipahat muka binatang. Lalu ada sebuah kitab bernama ati siporhas yang digunakan untuk menentukan waktu menyerang musuh dan sebuah tali bernama rombu siporhas.

Fungsi dari tali rombu siporhas hampir sama seperti ati siporhas, namun tali rombu siporhas lebih sering digunakan untuk mengukur kekuatan kedua pihak yang sedang bertikai. 

Kebiasan perang dalam kehidupan sosial masyarakat Batak menurut Anthony Reid (2014) sudah terjadi sejak lama. Jika sebuah desa berencana untuk menyerang desa lain karena memiliki permasalahan, masyarakat Batak biasanya akan mengadakan upacara perayaan sebelum menyerang desa musuh.  

Upacara perayaan ini biasa digelar di malam hari, dan dari sekian banyak upacara perayaan, upacara ini menjadi salah satu hal yang sangat menarik minat masyarakat desa untuk bergabung bersama. 

Dalam upacara tersebut, penduduk desa akan membangun sebuah gubuk kecil yang diletakan di tengah-tengah tanah desa dan semua penduduk akan berkumpul ditengahnya dan membentuk lingkaran.

Kemudian, dukun atau Datu akan membetangkan ulos berwarna hijau disekitar gubuk tersebut. Ulos yang dibentangkan kemudian diikat kedua ujungya dengan sebuah tali sepanjang 60 sentimeter. 

Di ujung kedua tali tersebut ada sebuah gundukan lilin yang melambangkan kepala manusia. Pada bagian tali yang lain, terdapat maanik-manik yang melambangkan keragaman anggota masyarakat. Manik-manik melambangkan kepala desa, ksatria dan lainnya (kasta).

Tali yang diikatkan itulah yang dinamakan dengan rombu siporhas, yang berfungsi untuk melambangkan kedua pihak yang sedang bertikai. Setelah diikatkan dan didoakan, kemudian sang dukun akan memegang tali tersebut untuk memohon pertolongan dan petunjuk dari para leluhur untuk mengetahui kapan waktu yang baik untuk berperang dan meraih kemenangan. Setelah melakukan permohonan dan pembacaan mantra, sang dukun kemudian akan menjatukan talinya.

Tali yang sudah jatuh kemudian akan diterawang dan ditafsirkan oleh sang dukun utuk mengetahui kapan waktu yang baik untuk berangkat berperang. Jika hasil yang diperoleh baik, maka seluruh penduduk desa akan bersiap-siap untuk mengadakan pertempuran. Namun, jika hasil kurang baik, maka seluruh penduduk desa akan mempertimbangkan sembari menunggu hari yang baik untuk menyerang desa lawan tiba.

Itulah penjelasan yang penulis tahu dan bisa disampaikan mengenai semangat spiritual kesukuan yang dimiliki dan dijalankan oleh suku Batak. Mempelajari semangat spiritual sebuah suku seperti tulisan artikel ini memang terlihat sulit untuk dipelajari dalam semalam. Namun, keuntungan yang bisa dipetik adalah kita lebih bisa bertoleransi dan memabangun rasa saling menghormati terhadap segala bentuk nilai yang membimbing dan mengarahkan mereka untuk dapat bertahan hidup. 

Daftar Pustaka:

Reid, A. (2014). Sumatera Tempoe Doeloe dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Jakarta. Komunitas Bambu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun