Corona sebagai virus memang sangat berbahaya. Namun, infodemik ternyata jauh lebih berbahaya ketimbang corona.
Era tahun 1960-an, tokoh besar dunia Levi C. Finch dan Robert W. Taylor mengubah cara kita berkomunikasi dan membangun relasi sosial. Penemuannya, yaitu internet, mengubah banyak bentuk dalam aspek kehidupan di sekitar kita. Marshall Mcluhan dalam bukunya The Global Village: Transformations in World Life and Media in the 21st Century (1989), menyebutkan di masa depan nanti manusia akan mampu membuat sebuah “perkampungan global” atau “global village”.
Karena internet bisa menciptakan sebuah sistem konektivitas tanpa batas yang membuat semua orang bisa mengakses banyak hal, mulai dari berita; hiburan; perkembangan bisnis; musik hingga info mengenai kesehatan. Sebagai contoh, salah satu bentuk global village yang bisa kita temukan dan paling dekat dengan kehidupan kita adalah grup Whatsapp keluarga.
Dalam perkembangannya, grup Whatsapp keluarga telah bertransformasi dari grup silaturahmi menjadi forum diskusi. Transformasi ini dipengaruhi berbagai isu yang sedang berkembang di media yang kemudian menjadi sebuah komoditas obrolan. Namun, transformasi ini justru mendatangkan hal buruk, yakni bermunculannya hoax yang di dapat dari berbagai pesan forward tanpa melalui proses verifikasi
Sebuah artikel berita yang diterbitkan Tirto.id (13/5/2019), menyebutkan meningkatnya usia seseorang akan sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan terhadap sebuah arus informasi. Data menunjukkan sebesar 56,64% untuk usia 36-45 tahun dan 66,67% untuk usia >45 tahun.
Korelasi antara peningkatan umur dan kepercayaan ini, kemudian juga berpengaruh ke tindakan untuk membagikan berita dari satu grup whatsapp ke grup yang lain. Prosentasenya masih didominasi oleh orang tua, yakni sebesar 39,85% untuk usia 36-45 tahun dan 46% untuk usia >45 tahun.
Data diatas menggambarkan Whatsapp keluarga dapat menjadi sebuah tempat yang sangat rawan bagi penyebaran hoax karena sumber beritanya tidak melalui proses verifikasi yang kuat. Fenomena ini jelas akan sangat mengganggu dan berbahaya bagi semua orang, apalagi di tengah situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini, karena bisa menimbulkan berbagai reaksi negatif yang justru dapat semakin memperparah keadaan.
Selain itu, penyebaran berita hoax mengenai Covid-19 bisa menjadi salah satu tempat yang sempurna bagi berkembangnya sebuah varian virus baru yang bisa jadi jauh lebih berbahaya dan ganas ketimbang Covid-19 itu sendiri. Sejumlah pakar komunikasi menyebutnya fenomena ini sebagai infodemik atau informasi hoax mengenai penyakit dan pandemi seperti virus corona. Lalu, bagaimana dan dengan cara apa kita dapat “memvaksinasi” infodemik?
Infodemik secara sederhana dapat dimengerti sebagai bentuk misinformasi dan disinformasi dari berita mengenai Covid-19 yang saat ini sedang menjadi pandemi. Menurut Sabrina Weiss dalam artikel Inside the infodemic: Coronavirus in the age of wellness (newstatesman.com, 2020), infodemik adalah kesalahan informasi yang tersebar melalui jaringan online mengenai pemberitaan virus corona (Covid-19) yang sering menyajikan berbagai rangkaian klaim dan kepalsuan hingga dapat menimbulkan efek ketakutan bagi masyarakat global.
WHO yang menjadi aktor utama dalam usahanya untuk menyudahi situasi pandemi ini, mengakui bahwa infodemik akan membuat semua orang menjadi bingung untuk bisa mendapatkan informasi yang kredibel mengenai penyebaran virus dan bagaimana cara melawannya. Andrew Pattison, manajer solusi bisnis digital untuk WHO (World Health Organization) mengklaim, informasi palsu mengenai Covid-19 menyebar jauh lebih cepat dari pada virus corona itu sendiri (Thomas, 2020).
Dalam liputan “WHO says fake coronavirus claims causing 'infodemic'” (bbc.com, 2020), Zoe Thomas melaporkan, WHO melalui Andrew Pattison meminta kepada semua perusahaan teknologi untuk melakukan verifikasi data, menghapus berbagai klaim palsu dan mengkampanyekan informasi yang akurat mengenai Covid-19.
Hal ini didasari atas temuan kasus dari perusahaan e-commerce Amazon yang telah menjual berbagai macam produk yang diklaim dapat mecegah dan mengobati virus corona, namun tidak berdasarkan ilmu pengetahuan dan riset kesehatan yang komplit. Danny Rogers, salah satu pendiri Global Disinformation Index membuktikan bahwa sebagian orang menyebarkan berita palsu untuk mengambil keuntungan. Seperti yang dilakukan oleh perusahan kesehatan dan gaya hidup Goop yang mengumpulkan perhatian pengguna melalui disinformasi untuk memainkan perputaran iklan dan produk barang (Weiss, 2020).
Di Indonesia sendiri, infodemik sudah menjadi suatu persoalan yang serius karena berdampak pada individu atau masyarakat untuk melakukan identifikasi persoalan mengenai pandemi dan juga bagaimana seharusnya masyarakat bersikap. Dalam sebuah laporan yang ditulis oleh Dr. Rahkman Ardi (2020) yang berjudul Infodemik Di Saat Pandemi yang diunggah oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) (himpsi.or.id), menyebutkan Kominfo sendiri telah menemukan sekitar 1.401 sebaran isu disinformasi mengenai Covid-19. Isu yang disebarluaskan tidak hanya mengenai informasi menyesatkan, namun juga terkait dengan teori konspirasi mengenai Covid-19 yang beberapa waktu lalu marak di internet.
Infodemik yang tersebar kebanyakan disponsori oleh kemampuan masyarakat dalam menggunakan internet dan menjembatani individu yang berpikiran seminat untuk dapat bertukar pikiran. Sehingga hal ini kemudian menimbulkan sikap kepercayaan yang spontan dan lunturnya sikap kritis untuk mencari kepastian informasi. Lunturnya sikap kritis inilah yang kemudian semakin membuat situasi menjadi runyam. Salah satu contoh infodemik adalah peristiwa pembakaran sejumlah menara seluler 5G di tiga kota di Inggris Raya, yakni Liverpool, Birmingham dan Merseyside karena informasi sesat yang menyebar luas bahwa menara seluler 5G dapat menyebarkan virus corona (cnnindonesia.com).
Masih dari laporan yang sama, CNN Indonesia juga menyebutkan, bahwa Full Fact, perusahaan nirlaba pemeriksa fakta di Inggris Raya telah menyatakan teknologi 5G tidak menimbulkan resiko bagi manusia. Hal itu terbukti dari kasus Covid-19 di Iran yang menyebar bukan karena dipengaruhi teknologi jaringan 5G, dimana Iran menjadi salah satu negara yang tidak memiliki teknologi tersebut. Peristiwa ini semakin memperkuat pandangan bahwa infodemik harus diatasi agar tidak berkembang menjadi jauh lebih berbahaya di masa depan jika ada fenomena serupa seperti halnya pandemi Covid-19.
Karena itu, infodemik memerlukan sebuah vaksin. Penulis beropini, bentuk vaksin yang mungkin dapat mencegah dan juga mengobati virus infodemik adalah dengan membaca berita indepth reporting dan investigasi. Mengapa? Mari kita lihat yang terjadi dengan media dan jurnalisme kita. Media kita sejauh ini secara bisnis selalu menggunakan logika pasar, dimana konten media selalu dibuat dan disajikan hanya sebagai komoditas dagang semata serta mengikuti permintaan konsumen demi tercapainya profit.
Pola kerja seperti ini tidak melihat jurnalisme sebagai barang publik (public goods) yang perannya sangat besar untuk mendidik masyarakat, memperluas cakrawala pemikiran, alat kontrol sosial dan mampu mengubah sikap masyarakat. Padahal indepth report dan investigasi seperti memberi publik sebuah senter, supaya publik bisa melihat berbagai konteks fenomena yang terjadi secara menyeluruh dan komprehensif.
Kehadiran indepth report dan investigasi memberi kita asupan berita yang memadai dan berpihak bagi publik, karena beberapa tujuan pemberitaan indepth report dan investigasi adalah untuk memperluas cakrawala pemikiran dan mengubah sikap masyarakat. Jadi, penulisan sebuah indepth reporting dan investigasi pasti akan selalu mengikuti kaidah dan disiplin jurnalistik yang baik karena ini ditujukan kepada publik supaya publik menjadi bijaksana dan kritis dalam melawan infodemik seperti saat ini.
Infodemik sejatinya lahir karena media kita selama ini selalu “nurut” kepada konglomerasi yang hanya mengambil keuntungan saja. Sehingga karya jurnalistik dikorbankan untuk membuat berita yang clickbait, sensasional, disinformasi, misinformasi, marjinal terhadap suatu kelompok masyarakat dan lainnya. Padahal tidak tersedianya informasi yang berorientasi dan ramah publik akan semakin menghambat kebutuhan informasi kredibel yang sangat diperlukan untuk bisa melawan virus infodemik yang semakin liar.
Oleh karena itu menurut sudut pandang penulis, media tidak akan bertahan jika dalam bisnisnya tetap mempertahankan strategi untuk menyajikan konten berita yang tidak relevan dan tidak bersahabat dengan publik, yang semata-mata hanya untuk menciptakan daya tarik dan mendulang profit sebesar-besarnya. Maka membaca berita indepth reporting dan investigasi adalah cara yang paling bijak yang dapat dilakukan pembaca untuk mengatasi buntunya informasi yang tidak kredibel.
Dengan membaca berita indepth reporting dan investigasi, kita sebetulnya telah menjaga kewarasan berpikir karena dengan demikian publik sudah melakukan “detoksifikasi” terhadap berita hoax ataupun sensasional.
“Detoksifikasi” terjadi karena indepth reporting dan investigasi secara dalam menangkis spekulasi yang berkembang di internet sehingga dapat memicu hoax. Itu dapat terjadi karena semangat indepth reporting dan investigasi lekat dengan praktik analitik guna mengungkap data dan fakta yang sesungguhnya agar menjauhkan masyarakat dari misinformasi dan disinformasi sehingga menghantar pembaca berpikir lebih kritis dan jernih.
Oleh karena itu membaca berita indepth reporting dan investigasi bisa menjadi vaksin untuk melawan infodemik. Karena dengan membaca berita indepth reporting dan investigasi, kita secara tidak langsung telah menjaga kewarasan berpikir dan melakukan kontrol sosial terhadap banjir informasi yang bisa menyesatkan. Selain itu dengan membaca dan menggunakan indepth reporting dan investigasi sebagai referensi utama, kita juga memberikan apresiasi terhadap kerja jurnalistik yang telah mengedukasi publik agar lebih kritis dan berhati-hati dalam melihat sebuah fenomena, khususnya infodemik yang menjadi musuh bersama.
Daftar Pustaka
McLuhan, Powers. 1989. The Global Village: Transformations in World Life and Media in the 21st Century. Oxford University Press
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H