Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

LGBT dan Pandemi, Diskriminasi Media Membuat Mereka Sulit Bertahan

19 Mei 2020   10:53 Diperbarui: 19 Mei 2020   10:52 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bendera perjuangan kelompok LGBT| sejuk.org

"Pemberitaan diskriminatif terhadap LGBT membuktikan bahwa media berusaha membunuh mereka secara perlahan, termasuk ditengah situasi pandemi."

LGBT menjadi kelompok minoritas yang sangat di lema di tengah situasi pandemi saat ini. Sebagai kelompok yang selalu mendapatkan tindakan persekusi, politik pensetanan dan juga pengucilan dari masyarakat membuat mereka harus kembali menderita atas ketidakmampuannya untuk mendapatkan hak dan akses dalam bertahan hidup ditengah situasi pandemi Covid-19. Hal ini di dasari atas bentuk diskriminasi terhadap kaum LGBT yang sudah berlangsung sejak lama dan terus mengakar dalam masyarakat sebagai andil dari peran media yang selalu menempatkan LGBT sebagai musuh masyarakat.

Ditengah situasi pandemi yang sudah pelik dan genting, sejumlah politikus gaek masih saja memanfaatkan isu Covid-19 dan LGBT sebagai komoditas politik mereka. Mari kita lihat pernyataan dari Amien Rais, salah satu politikus kawakan dari partai PAN. Seperti yang dikutip dari portal berita Suara, Amien menjelaskan secara terang-terangan kepada cucunya dalam sebuah video blogg pribadi, jika Covid-19 adalah tentara Allah untuk menjewer manusia karena LGBT. Pernyataan serupa pun juga di muat dalam portal berita Detik dan Republika. Namun, kedua portal berita ini tampaknya menyuguhkan judul berita yang bersahabat dan cenderung santun dengan kelompok LGBT. Meski pada bagian substansinya, kedua portal berita tersebut tetap saja mendiskusikan hal yang sama dan cenderung memojokan LGBT, seperti halnya portal berita Suara yang menyebutkan jika virus corona adalah hukuman dari Allah kepada manusia karena LGBT.

LGBT selalu di cap sebagai musuh masyarakat dan sering kali di pakai sebagai komoditas politik dan agama. Pembingkaian LGBT yang selalu sensional dan marjinal di berbagai institusi media membuat perjuangan kaum LGBT selalu menemui jalan buntu. Pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah mengapa media sangat tertarik dalam membawakan isu LGBT secara negatif? Lalu, bagaimana seharusnya wartawan membingkai isu LGBT dan adakah hukum atau etika yang mengaturnya?

Dalam sebuah webinar yang bertajuk "Dampak Covid-19 dan Pemberitaan Media terhadap Transgender", yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan juga bekerjasama dengan Internews, Senin (13/4/2020), mengundang sejumlah ahli dan aktivis, seperti Usman Hamid Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Kansong Direktur Pemberitaan Media Indonesia, Hendrika Mayora Victoria dari komunitas transpuan Fajar Sikka Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Ketua Sanggar Waria Remaja (SWARA) Kanzha Vina.

Media memang berperan besar dalam mendikte kehidupan LGBT di lapangan. Menurut Mayora, media-media besar pada dasarnya sangat gemar untuk tidak mendukung sebuah peliputan berita yang baik dan berimbang terhadap LGBT. 

Pernyataan ini kemudian di perkuat oleh argumen Vina yang mengungkapkan bahwa media-media besar pada hakikatnya melihat berbagai isu LGBT sebagai keuntungan yang bisa diraih dalam jumlah banyak.

Karena media besar menempatkan LGBT sebagai komoditas politik demi mengambil keuntungan, maka dampak yang ditimbulkan adalah berkembangnya opini didalam masyarakat untuk melakukan tindakan- kekerasan ataupun penolakan terhadap LGBT. 

Menurut Vina, isu-isu mengenai trangender ini sangat rentan untuk terus dipolitisasi agar media bisa mendapatkan untung dan masyarakat tetap menjaga jarak terhadap LGBT.

Demonstrasi menolak kehadiran LGBT| cnnindonesia.com
Demonstrasi menolak kehadiran LGBT| cnnindonesia.com

"Dampak yang paling berbahaya yang sudah kita rasakan saat ini adalah semakin mengakarnya cara berpikir masyarakat bahwa transgender dan LGBT itu adalah sampah masyarakat, sehingga kami sulit untuk bisa mendapatkan hak dan akses dalam lingkup sosial", ungkap Mayora.

Tidak berimbangnya pemberitaan mengenai LGBT di Indonesia sejatinya dilandasi oleh faktor-faktor yang menyangkut tentang etika peliputan dan penulisan berita yang baik mengenai LGBT. Menurut penjelasan Kansong, media pada dasarnya memiliki tiga faktor yang menjadi kendala dalam peliputan dan penulisan berita mengenai LGBT. Faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Media lebih memilih untuk diam karena media belum memiliki concern pada kehidupan LGBT.

2. Media lebih suka untuk membuat sebuah berita yang negatif mengenai LGBT.

3. Media yang lebih bersahabat dengan LGBT dan gender-gender lainnya adalah media yang minoritas dan jarang.

 Media di Indonesia menurut Kansong belum memiliki terms and policy yang khusus mengatur tentang bagaimana mereka seharusnya menggambarkan dan meliput LGBT di muka media yang akan sangat berdampak pada cara masyarakat dalam memandang dan berpikir mengenai LGBT itu sendiri.

"Konsekuensinya adalah kita bisa menemukan ada begitu banyak berita yang tidak pernah berimbang dan ini bahaya bagi publik, karna ketidakberimbangan itu," pungkas Kansong.

Ketidakberimbangan berita dan diskriminasi yang mengakar terhadap LGBT membuat situasi semakin menjadi runyam karena ditambah dengan isu penyebaran Covid-19. 

Menurut Hamid, situasi yang sedemikian campur aduknya membuat kelompok LGBT semakin tidak mampu untuk bisa mendapatkan akses bertahan hidup yang lebih baik seperti akses kesehatan, hunian yang layak, keadilan, bantuan sosial dan lainnya. 

Ditengah situasi darurat kesehatan dan diskriminasi yang mengakar terhadap LGBT seharusnya membuat stiap institusi media memutar otak dalam menekan praktik diskriminasi dan kekerasan terhadap LGBT demi menyelamatkan keberlangsungan hidup mereka. 

Salah satu caranya adalah dengan mengubah pola kerja dan idealisme media itu. Menurut Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dalam Samsuri dan Nugroho, menyebutkan bahwa "Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani".

"Terkait pemberitaan media yang selalu negatif soal LGBT, faktor penyebabnya, pertama, silent majority yang belum Berani bersuara; kedua, kurangnya dukungan dari masyarakat luas untuk mengawasi media; dan ketiga, media lebih cenderung bersikap malas dalam analisis peliputan LGBT. 

Ini akan berbahaya jika di biarkan, bukan hanya kerja jurnalisme saja yang tercoreng, namun juga soal HAM dan toleransi di dalam hidup bermasyarakat", pungkas Hamid.

Daftar Pustaka:

Samsuri, Nugroho. 2013. Pers Berkualitas, Masyarakat Cerdas. 2013. Dewan Pers

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun