Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Cita Rasa Jenang Legendaris dari Sudut Pasar Lempuyangan

29 April 2020   07:51 Diperbarui: 2 Mei 2020   11:50 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gesti, penjual jenang legendaris dari Pasar Lempuyangan Yogyakarta| Dok. pribadi/Thomas panji

Jenang adalah kudapan yang sangat legendaris bagi masyarakat Jawa. Mulai dari zaman kerajaan hingga zaman modern seperti saat ini, jenang tetaplah eksis dan seakan-akan tidak pernah kehilangan popularitasnya dalam kehidupan masyarakat Jawa. 

Jenang sendiri biasanya sering disuguhkan dan disantap secara umum ataupun dalam kondisi dan waktu tertentu. Seperti saat acara pernikahan, selamatan ibu hamil, selamatan lahiran bayi, acara ulang tahun, acara lelayu ataupun juga disantap sebagai panganan harian seperti sarapan pagi. 

Bicara mengenai jenang dalam kultur masyarakat Jawa, Yogyakarta adalah salah satu tempat di Indonesia yang masih melestarikan fungsi dan esensi jenang dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. 

Sebagai contoh, di Yogyakarta setiap malam satu “suro” masyarakat yang masih memegang tradisi Jawa akan memasak jenang abang (merah) atau sengkala sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan atas bergantinya bulan baru dalam penanggalan Jawa. 

Eksistensi jenang pun kemudian tidak hanya berhenti di seputaran fungsinya sebagai alat persembahan dalam banyak kegiatan masyarakat saja, namun popularitas juga tetap dipertahankan lewat dari banyaknya orang yang berjualan jenang.

Di kota Yogyakarta sendiri, ada sebuah warung jenang kecil yang cukup legendaris dan terkenal karena sudah berjualan dari tahun 1950 serta pernah melayani banyak sekali orang-orang penting dan terkenal di negara ini, seperti alm. Soeharto, Megawati, alm. Bondan Winarno hingga Sri Sultan Hamengkubowono X

Warung jenang itu bernama Jenang Gempol Bu Gesti. Warung jenang ini berlokasi di dalam Pasar Lempuyangan kota Yogyakarta. 

Warung jenang ini secara fisik sangatlah kecil dan bahkan tidak ada tanda ataupun tulisan yang menyebutkan nama warung jenang ini. 

Ada cara yang mudah untuk bisa menemukan warung jenang ini. Seperti biasa, anda hanya tinggal perlu bertanya kepada petugas parkir dan juga beberapa pedagang. Uniknya mereka akan menyebutkan sebuah kata unik untuk mengarahkan jalan anda menuju ke sana. 

Kata-katanya seperti ini “kalau nanti lihat ada orang rame-rame mbawa pincuk disitu tempatnya”. Dan ternyata benar saja, terlihat ada begitu banyak orang yang makan jenang dengan pincuk dari anyaman bambu beralaskan daun pisang dan tampak di warung tersebut bergerumul banyak sekali orang yang sedang mengantre ataupun makan dalam posisi berdiri dan duduk.

Saat itu jam menunjukkan pukul 09.21 WIB dan warung jenang ini buka setiap hari pada jam 08.00 WIB dan tutup ketika dagangan habis. Penulis pun langsung segera bergegas untuk memesan sepincuk jenang. 

Di tengah antrian yang padat, tanpa menunggu waktu lama Gesti pun langsung menyiapkan jenang pesanan penulis dengan cekatan. Kebetulan saat itu yang dipesan adalah jenang komplit dan harga perporsinya hanya Rp 5.000,00 saja. 

Jenang komplit Gesti berisi empat macam jenis jenang, yakni jenang candhil, jenang mutiara, jenang sumsum manis (coklat), jenang sumsum putih serta siraman kuah santan hangat. 

Jenang milik Gesti secara fisik sangatlah berbeda dengan kebanyakan jenang pada umumnya. Jenang milik Gesti memilik rupa yang hampir mirip seperti halnya papeda yang dicampur dengan kuah ikan kuning. 

Tekstur jenang ini terasa sangat slimy dan cukup creamy. Perpaduan santan dan jenang menciptakan dua tekstur tersebut menjadi terasa unik. Untuk makan jenang ini, anda hanya tinggal perlu menyesapnya saja seperti minum kuah kaldu yang gurih.

Jenang Komplit Gesti, harganya murah dan porsinya cukup untuk mengganjal perut| Dok. Pribadi/Thomas panji
Jenang Komplit Gesti, harganya murah dan porsinya cukup untuk mengganjal perut| Dok. Pribadi/Thomas panji
Dari segi rasa, jenang milik Gesti tidak memiliki karakter manis yang pekat yang bisa membuat kerongkoan sakit, sehingga sangat cocok bagi mereka yang tidak menyukai kuliner bercita rasa terlalu manis. 

Hal unik lainnya adalah aromanya yang berbeda, yakni terdapat aroma asap wangi dari jenang tersebut selain tentunya wangi harum dari gula yang sudah dimasak. 

Siraman santan hangat pun juga memainkan peran yang sangat penting, yakni menciptakan perpaduan rasa manis yang sangat gurih dan nyaman sekali lidah. 

Rasa jenang yang sangat nikmat ini pun kemudian menggiring penulis untuk bertanya lebih jauh tentang bagaimana proses dan teknik Gesti untuk menciptakan rasa jenang yang khas tersebut.

“Saya itu generasi kedua yang jualan. Sebelumnya, yang rintis itu mertua saya tahun 1950-an lalu saya ambil alih di tahun 2012. Sampe sekarang kira-kira sudah delapan tahun,” ungkap Gesti.

Gesti menuturkan bahwa cita rasa khas jenangnya kuncinya ada di bahan baku dan proses memasaknya. Proses memasak jenang yang dilakukan Gesti sudah bertahan dan tidak pernah berubah sejak usaha ini pertama kali dirintis oleh mertuanya. 

Gesti membocorkan bahwa ia tidak pernah menggunakan bahan baku instan. Bahan baku yang dipakai Gesti semua sangat tradisional, mulai dari menumbuk beras untuk jadi tepung jenang, menggunakan buah kelapa murni untuk membuat santan, hanya menggunakan gula jawa dan gula pasir serta beberapa hal lainnya. Kemudian yang kedua adalah dicara memasaknya. Gesti menuturkan jika cara memasak tradisional adalah kunci terbaik untuk bisa mendapatkan cita rasa yang khas.

“Alasan saya masih pakai parktek yang tradisional adalah karena saya ga pengen mengubah cita rasa jenang saya. Saya gapapa capek yang penting pelanggan saya senang,” tutur Gesti.

Untuk proses memasaknya, Gesti menyebutkan bahwa tungku kayu adalah pilihan yang terbaik untuk bisa membuat jenang menjadi jauh lebih enak dan beraroma wangi. 

Tungku kayu menurut Gesti akan memberikan sentuhan karakter aroma yang kuat dan khas, karena tungku kayu dinilai dapat menjaga titik panas secara jauh lebih stabil. Hal ini diperkuat dengan karakter dari sebuah jenang yang akan mengeluarkan air ketika di masak. 

Gesti menjelaskan bahwa air itu tidak boleh keluar dari jenang sehingga tungku kayu dipilih untuk mengatasi hal tersebut. Hasilnya adalah aromanya menjadi lebih kuat karena pati tepungnya tidak pecah dan semua aroma dari pati bisa terperangkap ke dalam adonan secara konsisten. Tungku kayu sendiri juga berfungsi untuk menjaga kadaluarsa dari jenang. 

Percaya atau tidak jenang milik Gesti bisa bertahan hingga sehari tanpa mengalami proses pengerasan, sehingga jenang milik Gesti bisa dibawa keluar kota sebagai cinderamata kuliner. Meski masih mempertahankan tradisi memasak tradisional, Gesti menuturkan bahwa tantangannya menjadi jauh lebih berat.

Anak dari Gesti, yang sering membantu dalam kesehariannya berjualan jenang| Dok. Pribadi/Thomas Panji
Anak dari Gesti, yang sering membantu dalam kesehariannya berjualan jenang| Dok. Pribadi/Thomas Panji
“Cara masak yang masih tradisional itu menurut saya bakalan lebih capek karena masaknya harus satu-satu dan perlu waktu masak yang cukup lama, supaya apa? Supaya bisa lebih enak,” tutur Gesti. 

Gesti biasanya sudah menyiapkan berbagai bahan bakunya di sore hari, seperti tepung hasil menumbuk, parutan kelapa murni, mutiara, tumbukan gula Jawa dan lainnya. Proses memasaknya sendiri memakan waktu sekitar empat jam dan dimulai dari jam 03.00 WIB sampai jam 07.00 WIB. 

Satu jenis jenang memerlukan waktu satu jam, karna Gesti memiliki empat jenis jenang, maka estimasi menjadi empat jam pengerjaan. Waktu pengerjaan selama itu dilakukan oleh Gesti dan anaknya setiap hari. 

Namun, menurutnya, memasak selama empat jam adalah waktu yang sangat normal. Gesti bercerita bahwa ia pernah memasak jenang selama 12 jam lama! Saat itu Gesti harus memenuhi pesanan acara ulang tahun dari anak pelukis tersohor Indonesia, Kartika Affandi.

“Jadi waktu itu, Kartika Affandi pesen jenang. Saya itu masak sembilan kuali jenang dan jenisnya macam-macam. Waktu itu saya masak dari jam 11.00 WIB sampai 23.00 WIB non-stop karena paginya jam lima saya harus antar ke lokasi. Itu menurut saya bener-bener ga terlupakan lah karena yang makan jenang saya pas itu jumlahnya sampai ratusan orang,” terang Gesti sambil mengingat.

Bagi sebagian orang, jenang mungkin tampak seperti panganan yang mudah untuk dibuat. Namun, pengalaman dari Gesti mengajarkan kita bahwa diperlukan dedikasi, kerja keras, kesabaran dan pengetahuan untuk bisa membuat sebuah jenang yang baik dan mampu untuk bertahan hingga seperti saat ini. 

Tanpa adanya rasa yang dicurahkan secara utuh untuk melestarikannya, mungkin jenang hanya akan menjadi suatu identitas gastronomi lokal saja tanpa kita pernah mengentahui wujudnya. Sehingga, penting bagi kita untuk semakin menghargai kekayaan kuliner lokal, tidak hanya sebagai alat kebutuhan primer namun juga menjadi identitas masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun