Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompas.id, Misi dan Proyek Ambisius di Tengah Gejolak Bisnis Media

22 April 2020   09:00 Diperbarui: 22 April 2020   09:20 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo dari Kompas.id | kompas.id

Siapa yang tidak kenal dengan koran Harian Kompas. Mungkin beberapa pembaca ataupun orang tua pembaca pernah berlangganan koran harian ini. Koran sudah tidak menjadi suatu hal yang cukup menjanjikan dalam bisnis bermedia yang dimana saat ini semuanya sudah berbasis internet begitu pun juga dengan para pembacanya yang lebih condong ke internet dari pada konvensional. Namun koran Harian Kompas tampaknya tetap terbit seperti sedia kala dan seolah semuanya tampak baik-baik saja. 

Di balik semua itu, industri dan bisnis media cetak hari ini seperti halnya koran Harian Kompas tentu tidak akan luput dari berbagai macam masalah dan gejolak. Seperti halnya perubahan segmen pasar, kebutuhan konten yang semakin meluas, populasi pembaca yang semakin beragam, content interest pembaca yang berbeda-beda dan hal-hal lainnya membuat koran Harian Kompas sekiranya perlu untuk merancang sebuah cetak biru yang baru dalam mempertahankan eksistensi dan popularitas dari koran Harian Kompas yang notabene menjadi hall of mark dari Kompas. 

Kompas.id akhirnya hadir dan menjadi sebuah jawaban untuk mempertahkan eksistensi dan popularitas dari koran Harian Kompas. Namun, apa dan siapakah Kompas.id itu? Dan kenapa serta bagaimana juga mereka bisa menjadi penyelamat bagi legasi dari koran Harian Kompas?

Pada hari Rabu (15/4/2020), penulis menghadiri sebuah kuliah daring yang terbuka untuk umum dan saat itu topik pembahasan yang disajikan adalah tentang Jurnalisme Multimedia di Kompas.id. Haryo Damardono selaku Wakil Redaktur Pelaksana Koran Harian Kompas menjadi pemateri dari kuliah daring ini. 

Dari sinilah kemudian Haryo bercerita dan menjelaskan secara mendalam tentang Kompas.id, misi yang ingin dicapai, kesulitan bisnis media dan lainnya. Bagi yang asing dengan platform ini, Kompas.id dan Kompas.com yang secara umum lebih populer, sejatinya adalah dua hal yang berbeda dan dikerjakan oleh kelompok pekerja yang berbeda serta dengan misi yang berbeda. 

Di sini Kompas.id sejatinya adalah versi digital dari koran Harian Kompas yang dimana pengerjaannya sepenuhnya dilakukan oleh tim koran Harian Kompas. Portal berita ini lahir dengan membawa misi untuk mempertahankan identitas dari Kompas yang terkenal karena koran hariannya. 

Kompas.id juga menjadi sebuah proyek untuk bisa mendulang keuntungan dan pangsa pasar media yang saat ini lebih banyak beraktivitas secara daring, dimana keuntungan yang bisa di dulang kebanyakan bersumber dari pendapatan iklan dan pembaca yang berlangganan.

Haryo menjelaskan prediksinya, bahwa di masa depan nanti, bisnis media pendapatannya akan di dominasi dari pembaca yang berlangganan. Sebagai contoh sederhana, New York Times adalah salah satu media yang telah berhasil mendulang keuntungannya lewat pembaca yang berlangganan di platform mereka karena sukses dalam mengembangkan koran daringnya secara konsisten dan berkualitas. 

Inilah yang kemudian menjadi semangat yang ingin diciptakan dan dihidupkan juga oleh Kompas.id. Namun, tantangan selalu menghadang di depan. Untuk bisa ke arah sana saja, Haryo menjelaskan bahwa orang-orang yang secara khusus bekerja di koran Harian Kompas yang dulunya tidak punya kecakapan dan habitus digital, saat ini mereka harus bekerja dan mampu berkawan dengan digital secara utuh. 

Tetapi, siapa sangka jika Kompas pada dahulunya sudah menyiapkan rencana untuk mengantisipasi kemungkinan perubahan bentuk bermedia dan bisnisnya dengan menciptakan nilai 3 M Kompas (Multimedia, Multichannel, Multiplatform)

Haryo kemudian kembali menjelaskan bahwa 3 M Kompas inilah yang saat ini sudah berlaku secara efektif penerapannya dan harusnya menjelma di dalam diri orang-orang Kompas. Dengan adanya nilai 3 M Kompas, maka hal ini pun praktis juga akan mendorong perubahan kerja secara teknis dan struktural.

“Perubahan habitus ini praktis akan kami lalui dengan perjuangan yang ga mudah. Kalau saya boleh bilang, wartawan Kompas adalah satu-satunya wartawan yang bekerja untuk dua platform. Kita menulis untuk cetak di malam hari dan kemudian di online pada pagi dan siang hari. Selain itu, wartawan Kompas saat ini juga harus punya banyak keahlian seperti foto, video dan lainnya,” ujar Haryono.

Poster kelas daring bersama Haryo Darmono| Dok. pribadi/Thomas Panji
Poster kelas daring bersama Haryo Darmono| Dok. pribadi/Thomas Panji

Secara redaksi menurut Haryo, Kompas.id dibentuk untuk kepentingan bisnis dan juga mempertahankan esensi jurnalisme yang khas dari koran Harian Kompas. Pada dasarnya, media harus mendapat income supaya jurnalismenya bisa bertahan. Dalam praktiknya, ada dua cara bagi media untuk mendapatkan income tersebut, seperti halnya dari iklan dan dari pembaca berlangganan. Pemasukan yang diambil dari pembaca berlangganan kemudian menjadi sebuah pilihan yang ingin diterapkan oleh Kompas.id sebagai model bisnis mereka, serupa seperti apa yang dilakukan oleh New York Times saat ini. 

Namun, untuk bisa mencapai kata setara saja dengan New York Times, Haryo menjelaskan bahwa perjuangannya masih sangat panjang. Haryo menceritakan bahwa kesulitan terbesar saat ini adalah di bagian SDM-Nya. New York Times bisa melakukan hal tersebut karena memiliki 1.600 wartawan, di mana mereka harus menulis satu artikel saja untuk satu hari.

Sedangkan, Kompas.id hanya memiliki 250 wartawan saja. Meski angka SDM-Nya terlampau jauh, namun Kompas.id menetapkan sebuah kebijakan bahwa wartawan hanya ditugaskan untuk menulis satu sampai dua berita saja sehari agar sebuah berita dapat disajikan dengan bagus, tepat dan mencerdaskan pembacanya.

“Wartawan yang baik itu adalah wartawan yang bisa punya waktu luang sehingga mereka bisa punya waktu untuk berpikir dan membuat berita yang bagus serta berkualitas,” tutur Haryono.

Sebagai media daring, Haryono menjelaskan bahwa SEO (Search Engine Optimization) bagi Kompas.id menjadi suatu aspek yang penting dalam misi untuk melanggengkan legitimasi dan jurnalisme yang khas dari koran Harian Kompas. 

Sistem penyedian kolom untuk menulis liputan berita di Kompas.id sengaja disediakan jauh lebih banyak dari pada di koran Harian Kompas. Alasannya adalah karena kolom yang disediakan untuk menulis berita di koran Harian Kompas sifatnya jauh lebih terbatas dan bahkan tidak cukup untuk memasukan sebuah foto. Sedangkan di Kompas.id kolom tulisan disediakan jauh lebih banyak sehingga setiap wartawan bisa menulis sebuah liputan menjadi jauh lebih panjang, lebih mendalam dan dapat disertai dengan foto-foto pendukung. 

Meski begitu, Haryo menjelaskan bahwa Kompas.id memerlukan waktu untuk memindahkan semua pembacanya dari koran ke portal media daring mereka secara menyeluruh karena adanya perbedaan jenis pembaca yang terdapat diantara koran Harian Kompas maupun di Kompas.id.

Menurut Haryo, pembaca di koran Harian Kompas adalah mereka yang jauh lebih suka untuk membaca berita yang bersifat langsung dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang tua. Maksudnya adalah pembaca ini memiliki karakter untuk membaca sebuah berita pada hari itu saja dan tidak bergantung pada sebuah update berita. 

Sebagai contoh, Haryo menjelaskan sebuah berita bencana alam. Media saat ini memiliki kapasitas untuk menyampikan informasi-informasi terkini berdasarkan update yang terjadi di lapangan. Namun, orang-orang yang membaca koran Harian Kompas pada dasarnya adalah mereka yang lebih suka menunggu perkembangan berita selanjutnya di esok hari. Sedangkan, pembaca yang ada di Kompas.id kebanyakan adalah mereka yang masih tergolong dalam usia muda namun sangat suka dengan konten-konten yang berbau serius. 

Haryo juga bercerita bahwa ada sebuah fenomena unik di Kompas.id, dimana pembaca yang sebagian besar di dominasi oleh anak-anak muda ini, sejatinya sangat menggemari konten-konten opini di Kompas.id. Kebanyakan dari pembaca ini sangat berkeinginan untuk bisa menaruh tulisan opini mereka di Kompas.id.

Salah satu contoh keaktifan komentar pembaca di media New York Times| Dok. pribadi/ Thomas Panji
Salah satu contoh keaktifan komentar pembaca di media New York Times| Dok. pribadi/ Thomas Panji

“Kebanyakan anak-anak muda yang baca di Kompas.id itu umur sekitaran 24-30 tahunan. Memang banyak dari mereka memilih untuk membaca Kompas.id karena mereka menilai jauh lebih praktis dan efesien,” tutur Haryo.

Di akhir perkuliahan daring, Haryo kemudian menjelaskan dan menceritakan tentang apa yang ingin di capai oleh Kompas.id di masa depan. Seperti yang sudah disinggung diatas, Kompas.id akan meniru pola bisnis yang serupa seperti New York Times yang pendapatan medianya diperoleh dari pembaca yang berlangganan. 

Namun Haryo kemudian menegaskan bahwa pendapatan media dari pembaca berlangganan pada dasarnya tidak akan berhasil jika media tidak menciptakan berita berdasarkan orientasi yang diinginkan oleh pembaca. Haryo kemudian bercerita bahwa New York Times bisa demikian karena mereka berhasil menciptakan berita-berita yang berorientasi kepada kepentingan dan kebutuhan pembacanya. 

Kemudian, Haryo membuktikan hal tersebut dengan mengajak untuk melihat kolom komentar yang ada di New York Times. Ia menjelaskan bahwa interaksi antara pembaca dengan media itu sangat kritis dan aktif, bahkan hanya dari komentar saja mereka bisa membuat sebuah artikel berita baru. Sehingga dengan demikian pembaca lebih mendapatkan esensi dan manfaat beritanya bagi kehidupan mereka.

Di samping berhasilnya menjaring atensi dan daya kritis pembaca di kolom komentar, hal yang tidak kalah penting adalah menciptakan gathering antara pembaca dengan wartawan yang menulis sebuah berita. Menurut Haryo, gathering dinilai menjaid sebuah sikap yang positif dan solutif karena pembaca dapat berinteraksi, berdikusi, bertukar pikiran dan bahkan dapat menciptakan berbagai macam kemungkinan-kemungkinan baru dalam sebuah peliputan berita. 

Sebagai contoh yang sederhana, Haryo menjelaskan bahwa gathering kegiatan g bisa dilakukan ketika wartawan menyambangi sebuah daerah tertentu dan kemudian masyarakat dan wartawan sepakaat untuk membuat sebuah forum diskusi yang santai namun berbobot. Dengan demikian, pembaca yang berlangganan akan merasakan dampak yang luar biasa. Tidak hanya berasal dari membaca berita saja, tetapi juga ada diskusi nyata yang bisa di utarakan yang semoga bisa membentuk sudut pandang yang kebaruan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun