Pernahkah anda menonton program-program acara hiburan seperti Opera van Java, Yuk Kita Sahur, Ini Talk Show ataupun Tonight Show? Jika ya, berarti selamat! Anda adalah salah satu dari ratusan juta orang Indonesia yang mudah hanyut ke dalam sebuah tayangan hiburan yang membuat anda semakin “konsumtif”. “Konsumtif?”
Bagaimana bisa saya berasumsi demikian dan menempatkan deretan program acara hiburan yang berbalut dengan komedi tersebut sebagai sebuah tayangan yang akan membuat anda semua menjadi jauh lebih “konsumtif?”.
Pada kenyataannya, cobalah anda lihat dengan seksama semua program hiburan komedi yang saya sebutkan diatas dan sekarang cobalah anda melihat berapa banyak sponsor yang menaungi program acara tersebut yang membuatnya semakin jauh lebih hidup, meriah dan semakin membuat anda menjadi “terlena”.
Deretan sponsor dan promosi dari produk-produk yang ada di dalam setiap program hiburan tersebut pada kenyataan ingin menarik atensi anda dan mungkin mendikte anda supaya anda mengkonsumsi berbagai produk tersebut secara sadar atau tidak yang praktis juga membuat anda semakin konsumsitf.
Memang, sudah tidak menjadi rahasia umum bagi kita jika iklan atau sponsor bergerak dengan strategi yang demikian. Namun, yang menjadi pertanyaan besar di artikel ini adalah bukan pada program acaranya namun pada bagaimanakah alur proses terbentuknya fenomena ini dikehidupan kita yang sering kita acuhkan dan seringkali juga kita menyesal karenanya? Fenomena yang dijelaskan diatas dapat kita sebut sebagai “budaya massa”.
Budaya massa merupakan sebuah budaya yang diproduksi oleh kaum borjuis (kapitalis) yang kemudian dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah.
Produk budaya massa selalu bersumber dari budaya populer yang kemudian mengalami sebuah tahapan industrialisasi atau disebut dengan “media mass production” oleh para kapitalis untuk dapat menghasilkan keuntungan dan kekuasaan yang kontinu.
Fenomena budaya massa ini berawal dari munculnya serta berkembangnya teknologi produksi media yang bergerak di ranah audiovisual layaknya televisi dan film pada dasawarsa tahun 1920-1930-an.
Perkembangan teknologi ini pun memuncak pada tahun 1950-an dan mendorong tumbuhnya produk-produk budaya yang diproduksi secara massal seperti program televisi dan film.