Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Habislah Gundik, Terbitlah Indis

23 Februari 2020   09:00 Diperbarui: 23 Februari 2020   09:02 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang perempuan Jawa yang menjadi Gundik | malangtimes.com

Penjajahan mungkin akan selalu membawa duka dan air mata. Tetapi siapa sangka, bahwa penjajahan sejatinya juga akan menciptakan sebuah kebudayaan baru dalam sejarah manusia

Pernahkah anda membayangkan gambaran seorang noni Belanda yang mengenakan kebaya atau seorang pemuda Jawa yang mengenakan setelan jas berawarna putih yang lengkap dengan berbagai atribut berbau Eropa mulai dari dasi kupu-kupu, sepatu kulit hitam mengkilap hingga sebatang pulpen yang selalu diselipkan di saku baju? 

Sejarah penjajahan Belanda memang banyak memberi kontribusi mulai dari akulturasi hingga asimilasi budaya antara bangsa Pribumi dengan Belanda. Bentuk akulturasi dan asimilasi ini berkembang di banyak aspek kehidupan, seperti fesyen, musik, kuliner dan pendidikan. 

Peristiwa mengenai akulturasi dan asimilasi budaya antara pribumi dengan Belanda konon katanya juga menjadi cikal bakal kelahiran kebudayaan Indonesia modern. Cikal bakal kebudayaan tersebut sering kali disebut dengan kebudayaan Indis.

Kebudayaan Indis menurut Fadly Rahman dalam bukunya yang berjudul RIJSTAFEL Budaya Kuliner Di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 (2016: 18) adalah sebuah kebudayaan yang berkembang sejak akhir abad ke-18 sampai memasuki abad ke-19. 

Kebudayaan ini lahir karena adanya peristiwa pernikahan silang antara laki-laki Belanda dengan perempuan Pribumi yang kemudian diikuti dengan adanya bentuk pertukaran kebiasaan antara kedua pihak. Pertukaran kebudayaan ini semakin menguat sejak memasuki abad ke-19 karena didukung dengan adanya perubahan kondisi politik, sosial dan ekonomi. 

Perubahan ini mengakibatkan seluruh lapisan masyarakat kolonial saat itu baik itu Belanda dan Pribumi harus mampu beradaptasi dan bersahabat dengan kultur, penduduk dan segala bentuk kebiasaannya. Namun, proses adaptasi yang dijalani untuk bisa membentuk kebudayaan Indis pun terbilang memakan waktu yang cukup lama karena diikuti oleh naik turunnya tensi politik kolonial kala itu.

Kebudayaan Indis membuka peluang akses pendidikan bagi pribumi | kebudayaan.kemdikbud.go.id
Kebudayaan Indis membuka peluang akses pendidikan bagi pribumi | kebudayaan.kemdikbud.go.id

Kebudayaan Indis semakin tumbuh dan berkembang karena adanya berbagai unsur-unsur yang saling mengisi dan melengkapi dalam prosesnya. Adanya unsur-unsur yang saling mengisi dan melengkapi inilah yang kemudian secara tidak langsung justru membuat sebuah ruang khusus yang di dalamnya ada kegiatan pertukaran mental antara Pribumi dengan Belanda. 

Pertukaran mental ini pun praktis akan membuat sebuah tatanan baru yang berimplikasi pada meningkatnya kesejahteraan dan status bagi kedua pihak. Meningkatnya kesejahteraan dan status praktis juga akan mengubah pola gaya hidup kedua pihak. 

Seperti halnya orang Pribumi yang mulai mengubah cara berpakaiannya, cara mereka menyantap makanan, cara berbicaranya bahkan sampai bagaimana cara mereka menghargai waktu (Rahman, 2016: 19). 

Adapun menurut Sastrowardoyo dalam Fadly Rahman (2016: 20), dikisahkan bahwa orang-orang Belanda merasa tidak malu untuk mengikuti adat dan kebiasaan Pribumi, seperti kaum pria yang mengenakan celana panjang bermotif batik dan gaya baju yang berpotongan Tionghoa (baju takwa). Mereka pun juga suka untuk mendengarkan alunan gamelan, percaya kepada dukun bahkan di pijat saat lelah (Rahman, 2016: 20).

Cikal bakal lahirnya kebudayaan ini seperti yang dijelaskan diatas, secara alamiah bersumber dari pernikahan antara dua bangsa. Menurut Fadly Rahman (2016: 20), peristiwa pergundikan adalah kunci perkembangan awal dari kebudayaan Indis. Pergundikan sendiri muncul setelah di bukanya banyak lahan perkebunan di Hindia Belanda. 

Pembukaan lahan tersebut praktis juga mendorong banyak orang Pribumi yang bekerja di dalamnya, seperti para perempuan Pribumi yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (indigenous house keeper) di rumah-rumah pejabat kolonial dan tentu di sekitar areal perkebunan. Dari sini lah peristiwa pergundikan ini muncul. 

Para perempuan Pribumi yang menikah dengan laki-laki Belanda ini kerap dipanggil dengan sebutan nyai. Hal ini pun kemudian juga berdampak pada berubahnya kehidupan kedua pasangan dalam konteks gaya hidup dan juga cara bagaimana mereka mendidik anak-anak hasil perkawinan mereka yang semakin mengukuhkan budaya campuran di tanah jajahan (Rahman, 2016: 21).

Kebudayaan Indis juga melahirkan sebuah kebudayaan kuliner, yakni Rijstaffel | idntimes.com
Kebudayaan Indis juga melahirkan sebuah kebudayaan kuliner, yakni Rijstaffel | idntimes.com

Anak-anak Indo dari hasil pernikahan Pribumi dan Belanda ini pun praktis membuat demografi penduduk tanah jajahan tambah menjadi heterogen. Namun, kehadiran dari anak-anak Indo ini justru melahirkan sebuah masalah baru. Menurut Fadly Rahman (2016: 22), anak-anak Indo cenderung untuk membanggakan bentuk fisik mereka seperti halnya warna kulit mereka yang putih dan juga rambut mereka yang pirang. 

Hal ini pun sekali lagi mengubah gaya hidup mereka dengan berusaha bersikap seperti ala barat Belanda, mulai dari cara makan, cara berpakaian, penggunaan bahasa dan cara mereka beretiket. Kehadiran anak-anak Indo ini pun pada akhirnya semakin menguatkan unsur-unsur subjektif layaknya solidaritas dan rasa kesatuan dalam kehidupan masyarakat. 

Unsur-unsur ini pun kemudian berkembang menjadi sebuah konsep baru untuk menciptakan pembagian kelas-kelas sosial tersendiri dalam struktur masyarakat kolonial yang meliputi kalangan Belanda, Pribumi, Indo dan lainnya (Rahman, 2016: 23).

Kita mungkin bisa menyimpulkan bahwa kebudayaan Indis adalah sebuah kekayaan kultural yang memberikan kontribusi besar berupa tonggak awal peradaban kehidupan modern bagi bangsa kita. Kebudayaan Indis telah berhasil menciptakan berbagai pertukaran ide dan pranata antara bangsa Belanda maupun Pribumi di tanah jajahan yang mampu menciptakan banyak keuntungan dan akses seperti pendidikan, kuliner, politik, sosial bahkan ekonomi. 

Lahirnya Sumpah Pemuda, budaya makan Rijstaffel dan Perhimpunan Indonesia adalah contoh bisa mengingatkan kita bahwa tanpa dibukanya akses pendidikan oleh kebudayaan Indis mungkin kedua gerakan nasionalisme ini tidak akan pernah hadir untuk memperjuangkan kemerdekaan.

Sehingga, refleksi yang mungkin bisa kita resapi adalah meski kita harus mengakui jika sejarah dari kelahiran kebudayaan Indis adalah hasil dari peristiwa pergundikan yang pahit dan menyedihkan, namun jika sejarah ini tidak pernah terjadi maka Indonesia mungkin kurang untuk bisa menemukan tonggak awal kebangsaannya dalam misi menjadi bangsa dan negara yang modern dan bermartabat di percaturan dunia internasional di masa depan.

Daftar Pustaka:

Rahman, F. 2016. RIJSTAFEL Budaya Kuliner Di Indonesia Masa Kolonial 1870-194. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun