Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Politik Beras Mataram Islam

4 Januari 2020   01:00 Diperbarui: 8 Januari 2023   21:22 2302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintahan yang kuat adalah mereka yang disiplin dalam mengolah komoditas pangannya-Maryoto (2009)

Sebagai orang Indonesia, kita tentu akan mengakui jika beras adalah makanan pokok yang lebih sering kita santap ketimbang makanan pokok lainnya, seperti singkong, cantel, jagung, ubi, jejawut, atau pun sagu. Kita mungkin bingung dan bertanya-tanya, mengapa kita orang Indonesia sangat menggandrungi beras sebagai makanan pokok, padahal makanan pokok yang ada di bumi Indonesia teramat banyak dan tidak melulu soal beras. 

Ternyata, ketergantungan kita terhadap beras, menurut Maryoto (2009) tidak lepas dari pengaruh dan campur tangan politik pangan sejak ratusan tahun yang lalu. Ada berbagai catatan sejarah yang mampu menjelaskan hal ini. Salah satunya adalah catatan sejarah dari Kesultanan Mataram Islam, yang memiliki hikayat tentang komodifikasi beras sebagai alat politik dan menjadi salah satu agen dalam melegitimasi menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia hingga sekarang. 

Sejarah Masuknya Beras ke Nusantara

Sebelum masuk lebih jauh pada pembahasan itu, ada baiknya jika kita terlebih dahulu memahami sejarah tentang masuk serta berkembangnya tanaman padi di bumi Nusantara. Sejarah kehadiran padi di Indonesia dapat ditelusuri jejaknya dari sebuah penelitian budaya yang dilakukan oleh Hendrik Kern. Menurut JC Anceaux dalam Maryoto (2009: 21-22), penelitian Kern berusaha mencari tahu akar dari bahasa Melayu Kuno, bahasa leluhur bangsa Melayu dan Indonesia modern. 

Dalam penelitiannya, Kern menemukan bahwa kata padi, khususnya beras telah digunakan oleh para penutur di bagian Barat Austronesia, yang merupakan asal wilayah leluhur bangsa Melayu. Bukti inidiperkuat ketika dalam penelitiannya, Kern menemukan kata "beras" di Indonesia dengan kata "bras" yang umum digunakan oleh para penutur dari wilayah Tibet, memiliki arti dan maksud yang sama, yakni tanaman seralia berwarna putih yang disantap sebagai makanan pokok. 

Kata "bras" dalam bahasa Tibet kemungkinan berasal dari serapan bahasa penutur bagian Barat Austronesia. Maryoto (2009), menjelaskan kedua bangsa itu (Austronesia dan Tibet) kemungkinan bertemu di satu tempat yang berlokasi di sekitar wilayah Asia Tenggara, di mana mereka saling bertukar komoditi hasil bumi dan membawa serta berbagai ilmu pengetahuan tentang pertanian, seperti cara bercocok tanam, cara memahami cuaca, cara membudidayakan tanaman, dan lainnya. 

Namun, ada pendapat lain yang di utarakan oleh Koentjaraningrat (1984), yang menjelaskan kebudayaan bercocok tanam yang diterapkan di Indonesia banyak mengadopsi metode pertanian yang berasal dari daerah Birma (Myanmar) Utara, yang kemudian metodenya banyak menyebar ke wilayah-wilayah Asia Tenggara, seperti Semenanjung Melayu (Malaysia) hingga ke Nusantara, lengkap dengan modifikasi metode yang disesuaikan dengan keadaan geografis sekitarnya.  

Penggunaan teknologi pun tidak lepas dari pengaruh legitimasi budaya asing. Menurut Boomgaard (2003), penggunaan teknologi untuk bercocok tanam padi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh metode bercocok tanam padi bangsa Kalinga, yang berasal dari wilayah India bagian Selatan, atau tepatnya berasal dari Negara Bagian Tamil Nadu sekarang. Bangsa Kalinga membawa teknologi pertanian berupa ladang yang dialiri oleh air secara periodik atau yang kita kenal dengan sawah. 

Alat-alat dalam metode pertanian masa lampau|Dok. Pribadi/Thomas Panji
Alat-alat dalam metode pertanian masa lampau|Dok. Pribadi/Thomas Panji

Teknologi ini diberikan oleh bangsa Kalinga yang berasal dari kasta Brahmana, yang memang terkenal sebagai kasta dengan kecerdasan dan kecakapan pengetahuannya yang tinggi (Ambarwati, 2019). Sejarah transfer teknologi pertanian dan metode bercocok tanam ini, ternyata dibahas secara lengkap dalam kitab Negarakertagama, kitab milik Kerajaan Majapahit. Dalam kitab tersebut, dituliskan bahwa Raja Hayamwuruk memanggil rakyatnya untuk membabat hutan dan mengubahnya menjadi sawah. 

Rakyat yang nantinya mengelola areal persawahan diharuskan membayar upeti kepada sang raja berupa hasil bumi. Di dalam kitab tersebut, Kerajaan Majapahit tercatat berhasil melakukan swasembada beras ke wilayah-wilayah yang menjadi daerah kekuasaannya (vassal). Menurut Koentjaraningrat (1984), meski berhasil melakukan swasembada beras, namun ternyata masih ada begitu banyak petani-petani miskin, karena kekayaan dari hasil swasembada itu hanya dapat dinikmati oleh para pembesar kerajaan. 

Dari Majapahit ke Mataram Islam 

Melihat keberhasilan mereka dalam mencapai kemakmuran karena komoditas beras, akhirnya Kerajaan Majapahit perlahan mulai memanfaatkan beras sebagai alat politik untuk menciptakan sekaligus merawat legitimasi seorang raja yang sedang bertahkta. Tidak ada catatan sejarah resmi yang menjelaskan tentang awal mula praktik politisasi Kerajaan Majapahit atas beras. Namun, menurut Gradjito dkk (2019), catatan sejarah itu dapat ditemukan kembali di dalam Kitab Negarakertagama. 

Di dalam kitab tersebut, salah satu hal yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit adalah menggaji para prajuritnya dengan beras dan gabah, selain memberikan gaji dalam bentuk harta seperti emas atau logam. Gabah juga diberikan kepada para prajurit agar mereka juga bisa bercocok tanam dan memiliki sumber makanannya sendiri kelak. Selain itu, gabah juga dapat diperjualbelikan dan dapat menjadi tambahan penghasilan bagi para prajurit untuk menambah kebutuhan rumah tangganya. 

Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, Kesultanan Mataram Islam kemudian mewarisi dan memantapkan metode penguasaan padi dan beras sebagai alat politik.  Di sinilah kita akan mulai melihat, bagaimana padi dan beras kemudian lekat dengan praktik politik dan mampu menjadikannya sumber makanan pokok terbesar bagi masyarakat Indonesia. Sejak abad ke-16 sampai abad ke-18, penguasaan padi dan beras sudah program politik Kesultanan Mataram Islam (Maryoto, 2009). 

Keberhasilan panen padi dan swasembada beras menurut perspektif Sultan Mataram adalah simbol tercapainya stabilitas ekonomi, politik, dan sosial.

Bagi Kesultanan Mataram Islam, kesuksesan panen padi dan swasembada beras digunakan sebagai indikator keberhasilan dalam hal politik, ekonomi, dan sosial. Sebab, ketika seorang sultan mampu memenuhi ketiga indikator tersebut, artinya seorang sultan yang bertahkta dinilai mampu dan berhasil membawa rakyat serta kerajaannya menuju gerbang kesejahteraan, sekaligus menandakan kekuatan serta ketangguhan logistik kerajaan dalam hal militer. 

Menurut Olthof (2016), di dalam Babad Tanah Jawi terdapat sebuah catatan sejarah yang menjelaskan tentang praktik komodifikasi beras sebagai alat politik yang dilakukan oleh Kesultanan Mataram Islam. HJ de Graf, seorang peneliti Belanda mengklaim bahwa meski Babad Tanah Jawi isinya diduga mengandung mitos dan dongeng belaka, namun de Graf percaya bahwa pemanfataan padi sebagai komoditas politik sudah diterapkan di sekitar tahun 1500 sampai 1700-an. 

Sultan Agung Hanyokrokusumo|Sumber: tirto.id
Sultan Agung Hanyokrokusumo|Sumber: tirto.id

Praktik komodifikasi ini adalah salah satu tujuan utamanya Ki Ageng Pemanahan, pendiri Kesultanan Mataram Islam untuk menjaga ketangguhan pangan. Ki Ageng Pemanahan sadar, menciptakan kerajaan yang kuat haruslah dimulai dari urusan perut. Ketika urusan perut sudah tercukupi barulah kegiatan-kegiatan politik dan militer dapat dilakukan secara maksimal. Kebutuhan akan ketangguhan pangan tidak lepas dari ambisi Kesultanan Mataram Islam yang saat itu ingin untuk memperluas wilayah kekuasaanya. 

Beras dan Ekspansi Wliayah

Saat masa pemerintah Sultan Agung, Kesultanan Mataram Islam banyak melakukan kampanye militer untuk memperluas daerah kekuasaan mereka ke wilayah Jawa bagian Timur. Keberhasilan Kesultanan Mataram Islam dalam menempatkan padi sebagai komoditas politik telah memberikan dampak nyata keberhasilan mereka dalam merebut berbagai wilayah yang ada di bagian Timur Pulau Jawa, termasuk juga Pulau Madura dan sebagaian Pulau Kalimatan bagian pesisir (Sukadana). 

Jauh sebelum Sultan Agung menyerang Batavia, Kesultanan Mataram Islam sudah sangat fasih bertempur di front Timur Pulau Jawa.

Dalam operasinya, pasukan-pasukan khusus Kesultanan Mataram Islam sebelum bertempur akan ditugaskan terlebih dahulu untuk memperhitungkan pasokan pangan bagi para prajurit yang akan bertempur dan melakukan operasi tilik sandi atau operasi mata-mata ke wilayah yang dapat dijadikan sebagai tempat berlindungan sekaligus lumbung pangan prajurit. Wilayah yang dipilih pun haruslah yang memiliki kontur tanah yang rata dan dekat dengan sumber air. 

Dalam sejarah pertempuran mereka ke wilayah Timur Pulau Jawa, pasukan Kesultanan Mataram Islam memilih Jepara sebagai salah satu lokasi ideal untuk dijadikan daerah peyangga pangan dan berlindung bagi para prajurit Kesultanan Mataram Islam semasa perang. Selain mencari lokasi yang aman dan daerah penyaangga pangan, para pasukan rahasia ini juga ditugaskan untuk menghitung serta mempertimbangkan strategi taktik isolasi pasokan logistik untuk menaklukan lawan. 

Taktik isolasi ini efektif. Sebab, dengan isolasi pangan pasukan lawan pada akhirnya hanya akan makan pangan ala kadarnya yang ditemukan di sekitar mereka, seperti bonggol pisang, umbi kunci, dan makanan lainnya yang kurang memiliki kandungan gizi. Dengan strategi itu, pihak lawan akan mengalami stress dan demoralisasi. Sehingga, mereka dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak menguntungkan, yakni menyerah dan mengaku kalah atau bertahan meski kelaparan (Maryoto, 2009: 99).

Adapun taktik serupa juga digunakan Kesultanan Mataram Islam ketika menyerang Batavia pada tahun 1628 dan tahun 1629. Sebelum menyerang Batavia, Kesultanan Mataram Islam membangun pos perbekalan dan perlindungan di wilayah Cirebon serta Tegal. Adapun pasukan khusus Kesultanan Mataram Islam juga memblokade aliran sungai menuju Batavia dan memblokade akses terhadap sumber makanan yang banyak berasal dari wilayah-wilayah sekitar Batavia, seperti Bogor, Priangan, Banten, dan lainnya. 

Meski menerapkan taktik yang serupa, namun pada dua babak perang Batavia, Kesultanan Mataram Islam mengalami kekalahan telak. Salah satu kekalahan tersebut adalah karena pos perbekalan dan perlindungan Mataram di wilayah Cirebon serta Tegal dibumihanguskan oleh Belanda saat mereka melakukan serangan balik ke wilayah Mataram. Dari peristiwa itu, ambisi Sultan Agung untuk menguasai Batavia sirna dan kemudian Belanda lah yang justru berhasil menguasai Mataram di periode selanjutnya.  

Setelah keruntuhan Kesultanan Mataram Islam, politisasi beras tetap dilestarikan oleh para penerusnya, mulai dari Kasunan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat; Presiden Soekarno saat era kemerdekaan; Presiden Soeharto saat masa orde baru; hingga era Indonesia modern seperti sekarang. Campur tangan politik selama ratusan tahun telah menjadikan beras sebagai makanan pokok yang mampu mengeliminasi berbagai makanan pokok lainnya yang justru melimpah ruah di bumi Nusantara.

Selama makanan pokok yang satu ini masih menjadi asupan yang digandrungi oleh kita semua maka beras akan selalu menjadi komoditas politik yang menggiurkan untuk dikuasai dan terus dipolitisir. Sejarah telah mencatat, mengkomodifikasi beras dan mencapai target swasembada adalah kunci untuk menyatakan kekuatan akan sebuah kekuasaan. Barang siapa yang bisa menguasainya, maka dia lah yang akan menang dan terus berkuasa. 

Daftar Pustaka:

Maryoto, A. 2009. Jejak Pangan Sejarah, Silang Budaya dan Masa Depan. Jakarta. Kompas 

Gardjito, M et al. 2019. Gastronomi Indonesia (Jilid I). Yogyakarta. Global Pustaka Utama.

Ambarwati, A. 2019. Nusantara Dalam Piringku, Merayakan Keberagaman Pangan Pokok. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta. Balai Pustaka. 

Olthof. 2016. Babad Tanah Jawi Mulai dari Nabi Adam Sampai Pangeran Purbaya. Yogyakarta. Narasi

Boomgaard, P. In the Shadow of Rice: Roots and Tubers in Indonesian History, 1500-1950. Agricultural History, (77) 4: 582-610. Duke University. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun