Pemerintahan yang kuat adalah mereka yang disiplin dalam mengolah komoditas pangannya-Maryoto (2009)
Sebagai orang Indonesia, kita tentu akan mengakui jika beras adalah makanan pokok yang lebih sering kita santap ketimbang makanan pokok lainnya, seperti singkong, cantel, jagung, ubi, jejawut, atau pun sagu. Kita mungkin bingung dan bertanya-tanya, mengapa kita orang Indonesia sangat menggandrungi beras sebagai makanan pokok, padahal makanan pokok yang ada di bumi Indonesia teramat banyak dan tidak melulu soal beras.Â
Ternyata, ketergantungan kita terhadap beras, menurut Maryoto (2009) tidak lepas dari pengaruh dan campur tangan politik pangan sejak ratusan tahun yang lalu. Ada berbagai catatan sejarah yang mampu menjelaskan hal ini. Salah satunya adalah catatan sejarah dari Kesultanan Mataram Islam, yang memiliki hikayat tentang komodifikasi beras sebagai alat politik dan menjadi salah satu agen dalam melegitimasi menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia hingga sekarang.Â
Sejarah Masuknya Beras ke Nusantara
Sebelum masuk lebih jauh pada pembahasan itu, ada baiknya jika kita terlebih dahulu memahami sejarah tentang masuk serta berkembangnya tanaman padi di bumi Nusantara. Sejarah kehadiran padi di Indonesia dapat ditelusuri jejaknya dari sebuah penelitian budaya yang dilakukan oleh Hendrik Kern. Menurut JC Anceaux dalam Maryoto (2009: 21-22), penelitian Kern berusaha mencari tahu akar dari bahasa Melayu Kuno, bahasa leluhur bangsa Melayu dan Indonesia modern.Â
Dalam penelitiannya, Kern menemukan bahwa kata padi, khususnya beras telah digunakan oleh para penutur di bagian Barat Austronesia, yang merupakan asal wilayah leluhur bangsa Melayu. Bukti inidiperkuat ketika dalam penelitiannya, Kern menemukan kata "beras" di Indonesia dengan kata "bras"Â yang umum digunakan oleh para penutur dari wilayah Tibet, memiliki arti dan maksud yang sama, yakni tanaman seralia berwarna putih yang disantap sebagai makanan pokok.Â
Kata "bras" dalam bahasa Tibet kemungkinan berasal dari serapan bahasa penutur bagian Barat Austronesia. Maryoto (2009), menjelaskan kedua bangsa itu (Austronesia dan Tibet) kemungkinan bertemu di satu tempat yang berlokasi di sekitar wilayah Asia Tenggara, di mana mereka saling bertukar komoditi hasil bumi dan membawa serta berbagai ilmu pengetahuan tentang pertanian, seperti cara bercocok tanam, cara memahami cuaca, cara membudidayakan tanaman, dan lainnya.Â
Namun, ada pendapat lain yang di utarakan oleh Koentjaraningrat (1984), yang menjelaskan kebudayaan bercocok tanam yang diterapkan di Indonesia banyak mengadopsi metode pertanian yang berasal dari daerah Birma (Myanmar) Utara, yang kemudian metodenya banyak menyebar ke wilayah-wilayah Asia Tenggara, seperti Semenanjung Melayu (Malaysia) hingga ke Nusantara, lengkap dengan modifikasi metode yang disesuaikan dengan keadaan geografis sekitarnya. Â
Penggunaan teknologi pun tidak lepas dari pengaruh legitimasi budaya asing. Menurut Boomgaard (2003), penggunaan teknologi untuk bercocok tanam padi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh metode bercocok tanam padi bangsa Kalinga, yang berasal dari wilayah India bagian Selatan, atau tepatnya berasal dari Negara Bagian Tamil Nadu sekarang. Bangsa Kalinga membawa teknologi pertanian berupa ladang yang dialiri oleh air secara periodik atau yang kita kenal dengan sawah.Â
Teknologi ini diberikan oleh bangsa Kalinga yang berasal dari kasta Brahmana, yang memang terkenal sebagai kasta dengan kecerdasan dan kecakapan pengetahuannya yang tinggi (Ambarwati, 2019). Sejarah transfer teknologi pertanian dan metode bercocok tanam ini, ternyata dibahas secara lengkap dalam kitab Negarakertagama, kitab milik Kerajaan Majapahit. Dalam kitab tersebut, dituliskan bahwa Raja Hayamwuruk memanggil rakyatnya untuk membabat hutan dan mengubahnya menjadi sawah.Â