Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kersanan Dalem, Melawan Penjajahan Melalui Jamuan Makan

23 Desember 2019   10:00 Diperbarui: 5 Januari 2023   18:16 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bir djawa. Mahakarya abdi dalem keraton penunduk arogansi Belanda | Dok.pri/Thomas Panji

Dalam sejarahnya, Kersanan Dalem mengalami perisitiwa akulturasi kuliner, khususnya dengan pengaruh-pengaruh budaya Belanda. Peristiwa akulturasi itu terjadi saat masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubowono VII. Pada masa itu, hubungan politik antara keraton dengan pemerintah kolonial Belanda bisa dikatakan cukup erat dan mesra. Para pejabat kolonial Belanda sering berkunjung ke lingkungan keraton untuk bersilahturahmi sekaligus mengadakan perundingan-perundingan. 

Atas itu, Sri Sultan Hamengkubowono VII mau tidak mau harus lebih sering mengadakan acara jamuan makan yang mewah serta lengkap dengan tata krama meja makan masyarakat Eropa yang baku dan kaku. Salah satu sajian yang wajib disuguhkan di berbagai acara jamuan makan tersebut adalah bir. Sebab, orang-orang Eropa sangat gemar minum bir dan bir sudah menjadi bagian dari budaya orang-orang Eropa ketika menghadiri suatu jamuan makan. 

Namun, menyajikan bir di setiap acara jamuan makan adalah mimpi buruk bagi Sri Sultan Hamengkubowono VII. Sebab, menurut riset sejarah dari Gardjito, bir saat itu sangat lah mahal, karena bir pada saat itu hanya dapat diimpor dari Belanda dan para pejabat pemerintah kolonial Belanda di satu sisi juga memiliki kebiasan serta kecenderungan untuk hanya mau mengkonsumsi bir yang berasal dari Belanda dan tidak mau dari tempat lain. 

Selain itu, bir juga harus dikonsumsi oleh segenap abdi dalem keraton, termasuk mereka yang berada di strata bawah. Hal ini bertujuan untuk memperkuat legitimasi soal kekayaan dan kekuasaan Keraton Yogyakarta, bahwa mereka bisa mengakses sesuatu yang sangat mahal dan langka, namun bisa dinikmati sepuasanya oleh seluruh lapisan orang-orang yang berada serta bekerja di dalam lingkungan keraton tanpa terkecuali.  

Bir djawa. Mahakarya abdi dalem keraton penunduk arogansi Belanda | Dok.pri/Thomas Panji
Bir djawa. Mahakarya abdi dalem keraton penunduk arogansi Belanda | Dok.pri/Thomas Panji

Menurut Anton, Keraton Yogyakarta saat itu berusaha mati-matian untuk membuat kreasi minuman yang tampak seperti bir namun bukan bir dan tidak beralkohol. Minuman ini kemudian dikenal sebagai bir djawa. Bir djawa pada dasarnya terbuat dari rempah-rempah, seperti jahe, lengkuas, serai, kayu manis, cengkeh, adas, madu, sedikit pala, dan ditambah dengan serutan kayu secang, serta bunga lawang, gula batu, dan jeruk nipis yang akan mengubah warnanya kuning selayaknya bir Eropa. 

Karena bir djawa, akhirnya Sri Sultan Hamengkubowono VII tetap dapat menyediakan bir kala keraton mengadakan acara jamuan makan. Di satu sisi, menurut Gardjito bir djawa menjadi alat diplomasi politik bagi keraton untuk menunjukkan status, keperkasaan, dan status quo mereka atas penjajahan Belanda, sekaligus membuktikan bahwa Keraton Yogyakarta tetap kaya dan berkuasa, meski sudah ditekan oleh Belanda dari segala arah. 

Selain bir djawa, adapun pam brid dan suwar-suwir yang merupakan kuliner hasil akulturasi antara Keraton Yogyakarta dengan Belanda. Pam brid menurut Gardjito muncul dari tangan seorang chef Belanda yang namanya Van Brid. Menu pam brid berasal dari adaptasi hidangan keraton bernama sumo ewo, panekuk khas Jawa yang berisi campuran parutan kelapa dan gula merah yang di gulung seperti dadar gulung dan disajikan berdampingan dengan kuah santan yang hangat serta gurih. 

Jika sumo ewo berisi parutan kelapa dan gula merah dan disajikan bersama kuah santan, pam bird adalah panekuk berisi selai nanas dan disajikan berdampingan dengan saus putih yang terbuat dari susu, krim, dan gula yang bercita rasa manis. Menu pam bird bisa muncul di lingkungan Keraton Yogyakarta karena orang Belanda sangat menggemari kudapan sumo ewo dan menginginkan untuk dibuatkan juga panekuk yang berasal dari negara mereka bernama pam brid. 

Ada juga suwar-suwir, menu makanan di dalam Kersanan Dalem yang terbuat dari potongan daging bebek bagian dada yang disiram dengan saus yang terbuat dari buah nanas dan buah kedondong. Menurut Anton, hubungan pergaulan yang makin akrab antara Keraton Yogyakarta dengan Belanda membuat terciptanya suatu hubungan baru berupa kepercayaan dari Sri Sultan Hamengkubowono VII untuk mengirim anak-anaknya ke Belanda untuk menimba ilmu dan menitipkannya pada keluarga Belanda. 

Salah satu putra Sri Sultan Hamengkubowono VII yang mendapatkan kesempatan menimba ilmu ke negeri Belanda adalah Gusti Raden Mas Dorodjatun, yang kelak akan naik tahkta menjadi Sri Sultan Hamengkubowono IX. Sewaktu menimba ilmu di negeri kincir angin, Raden Mas Dorodjatun memiliki selera makan yang sangat unik, yakni mencampurkan unsur budaya kuliner Jawa dengan unsur budaya kuliner Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun