Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film Nasional Indonesia, dari Kemerdekaan Hingga Pasca Komunisme

27 September 2019   15:01 Diperbarui: 15 September 2022   23:03 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asrul Sani, salah satu sineas Indonesia | kulturalindonesia.id
Asrul Sani, salah satu sineas Indonesia | kulturalindonesia.id

Pada era awal film nasional di Indonesia, Asrul Sani menjadi tokoh kehormatan dalam industri film nasional Indonesia, karena menjadi tokoh Indonesia pertama yang menggunakan medium film untuk mendidik dan memberikan pencerahan pada audiens serta untuk mempromosikan nasionalisme. Sejarah film idealis di Indonesia kemudian dilanjutkan legasinya oleh seorang sineas muda bernama Usmar Ismail, yang berhasil membuat film pertamanya yang berjudul Darah dan Doa (1950). Pengetahuan dan keahliannya dalam membuat film pertama kali datang dari keikutsertaannya dalam proses kemerdekaan. 

Awal perjalanan karir Usmar Ismail sebagai seorang sineas muda dimulai dari ketika dirinya bekerja di bagian propaganda sebagai seorang penulis naskah. Namun, saat Belanda kembali datang pada agresi militer kedua, Usmar kemudian bertugas dan tunduk untuk bekerja kepada SPCC. SPCC adalah sebuah perusahaan film milik pemerintah Belanda yang kala itu ditugaskan untuk memproduksi semua film-film propaganda untuk kepentingan kampanye militer NICA di Indonesia. Selama proses itu Usmar memahami bagaimana cara kerja teknologi pengambilan gambar sekaligus manajerial produksi film milik orang Eropa. 

Selepas agresi militer dan Indonesia dinyatakan sebagai negara merdeka seutuhnya pada tahun 1949, Usmar kemudian mulai memantapkan dirinya untuk memproduksi karya film perdanaya yang berjudul Darah dan Doa. Film Darah dan Doa saat itu diproduksi oleh Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), sebuah perusahaan yang didirikan oleh Rosihan Anwar beserta dengan Umar Ismail. Film Darah dan Doa mengisahkan tentang perjuangan Divisi Siliwangi saat berjalan pulang dari Jawa Timur setelah berhasil menumpas pemberontakan Muslim di Yogyakarta. 

Film ini dinilai cukup kontroversial, karena dinilai mematikan kegagahan militer dengan menyertakan adegan tewasnya Kapten Sudarto yang dibunuh oleh PKI Madiun di tahun 1948. Meski banyak dikritik, film ini mendapat julukan sebagai "film nasional" pertama dan hal itu diikuti dengan penetapan Hari Film Nasional yang jatuh setiap tanggal 30 Maret. Selain itu, film-film seperti Enam Djam di Jogja (1951) dan Lewat Djam Malam (1954) memiliki kesamaan pola dengan film Darah dan Doa (1950), yakni sama-sama menampilkan citra militer dan perjuangan bersenjata untuk menyatukan Indonesia merdeka (Cheng, 2011: 11).

Prinsip film nasional Indonesia yang dibawa oleh Usmar Ismail saat itu ingin menekankan perjuangan militer yang notabene tidak hanya berbicara soal Belanda sebagai musuh utamanya, namun juga membahas berbagai ancaman persatuan bangsa lainnya, seperti gerakan separatis Islam dan Komunisme yang saat itu marak selepas kemerdekaan di tahun 1949 (Cheng, 2011: 11-12). Sosok Usmar Ismail sendiri juga dianggap krusial karena dalam status film tersebut ia adalah pribumi pertama yang secara independen membuat film pada masa pasca kemerdekaan Indonesia dan banyak dari film produksinya mengarah pada konsep etno-nasionalis. 

Kapitalisasi, Isu Rasial, dan Komunisme dalam Film Nasionalisme Indonesia

Selain Usmar Ismail yang sarat akan produk film idealisnya, ada nama lain yang juga bisa disebut sebagai bapak film nasionalis Indonesia. Djamaluddin Malik adalah salah seorang produser Persari (Perseroan Artis Indonesia) yang namanya juga dinobatkan sebagai bapak pendiri film Indonesia. Malik pada waktu itu dianggap mengganggu kategori film nasional saat itu, karena orientasi produknya berfokus pada film-film komersial bukan film ideologis (Cheng, 2011: 12). Hal ini diwujud nyatakan oleh Persari dengan cara membuat studio film ala Hollywood untuk mendukung mimpi dalam memproduksi film komersil. 

Di tahun 1955, Malik mendirikan Festival Film Indonesia (FFI) sebagai tujuannya untuk mendorong produksi lokal dan mendukung film-film yang di produksi oleh Ismail. Saat FFI pertama, film produksi Persari, yakni Tarmina berhasil memenangkan nominasinya bersama dengan film Lewat Djam Malam karya Ismail. Namun, banyak pihak menganggap adanya kecurangan mengenai produksi film Indonesia berwarna pertama karya Lilik Soedjio yang diproduseri oleh Persari. Beredar kabar bahwa Persari mencuri cerita populer dari masyarakat Filipina dalam pembuatan filmnya dan bukan merupakan ide yang orisinil. 

Di saat yang bersamaan, produser film Tionghoa juga terus menerus dikritik karena dituding membuat "film murahan yang hanya bertujuan untuk memenuhi keuntungan pasar" (Cheng, 2011: 13). Etnis Tionghoa saat itu dianggap menjadi penyebab lahirnya dominasi film-film komersial atas film idealis nasional di era industri film sebelum kemerdekaan. Namun, film Darah dan Doa (1950) sendiri juga merupakan ironi, sebab meski etnis Tionghoa saat itu selalu dimarjinalkan, tapi film Darah dan Doa sendiri bisa selesai produksinya karena bantuan dana dari pemilik bioskop keturunan Tionghoa, bernama Tong Kim Mew. 

 Film Senyap, salah satu film yang membahas tentang nasib para PKI selepas peristiwa G-30S/PKI | jatim.tribunnews.com
 Film Senyap, salah satu film yang membahas tentang nasib para PKI selepas peristiwa G-30S/PKI | jatim.tribunnews.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun