Mohon tunggu...
Thomas Aquino Ariasoca
Thomas Aquino Ariasoca Mohon Tunggu... -

Competence, Conscience, Compassion

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Kami Berbeda?

5 November 2014   01:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:37 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum memulai surat aspirasi yang sepertinya tidak akan dibaca pemerintah ini, saya pertama ingin meminta maaf kepada para dosen yang tengah mengajar saya, karena pasti menurut bapak-ibu dosen sekalian saya belum pantas memberikan aspirasi tentang pendidikan kepada pemerintah. Wong skripsi saja masih sebatas cita-cita, kuliah masih sering bolos atau tidur di kelas, dan persiapan ujian lewat Sistem Kebut Semalam (SKS), saya sudah sok-sokan mengkritik pemerintah lewat surat pembaca yang tidak memakai Bahasa Indonesia baku. Tapi toh ini negara yang katanya demokratis, kalau selebtweet boleh eksis cari perhatian di media sosial, saya bolehlah sedikit bermain kata di blog pribadi yang sepi iklan ini.

Maksud dari surat aspirasi ini, adalah mempertanyakan kenapa pendidikan kami (mahasiswa), yang masuk dalam pendidikan tinggi dibedakan dengan pendidikan dasar dan menengah, dan justru bergabubg dengan kemenristek? Lihatlah akibatnya, akronim 2 kementrian yang bersangkutan menjadi panjang dan tak enak didengar: Kemenbuddikdasmen dan Kemenristekdikti. Toh pendidikan dasar, menengah, dan tinggi sama-sama pendidikan bukan? Membedakan pendidikan tinggi dengan pendidikan dasar-menengah sungguh membuat kami merasa teralienasikan dengan teman-teman kami yang masih di SD-SMP-SMA, padahal banyak diantara kami yang masih menjalin hubungan romansa dengan dedek gemesh SMA.

Jauh sebelum itu, istilah ‘Mahasiswa’ untuk kami-kami yang sedang menumpang belajar di universitas juga sebenarnya terkesan lebay, kata Maha- itu seakan membuat kami lebih dari siswa yang punya kekuatan dewa, padahal kemampuan kami biasa saja, kami juga belajar, mencontek, diskusi, mengerjakan tugas, dan ujian layaknya siswa SD-SMA kok, mungkin yang membedakan kami dengan mereka adalah frekuensi berdemonstrasi tanpa makna di jalan dan usia yang legal untuk mabuk-mabukan. Bahkan di seluruh penjuru dunia, kami para mahasiswa tetaplah seorang pelajar, atau bahasa kerennya students, dengan embel-embel undergraduate atau college sebelum students saja misalnya untuk negara-negara berbahasa kafir.

Kalau kata orang banyak, itu menunjukkan bagaimana Indonesia begitu menghormati dan mengapresiasi mahasiswa sebagai agen perubahan dan segala omong kosong lainnya, melebihi negara lain. Aduh pak, bu, kalo Indonesia mengapresiasi dan menghormati kami lebih baik dengan mengurangi biaya kuliah atau memperbarui fasilitas kampus agar efektif untuk riset dan belajar, bukannya dengan gelar kehormatan penuh omong kosong seperti ini, pak, bu. Toh seperti yang saya bilang tadi, tidak semua orang yang belajar di universitas punya kemampuan layaknya dewa.

Lalu kemana apresiasi untuk teman-teman kami yang SD, SMP, SMA? Tidak ada, karena mereka-mereka tidak dianggap sebagai aset bangsa, tapi anak-anak bandel yang menghabiskan duit orangtua mereka, dan bagi Kemenbuddiknas yang dulu, lahan untuk mencari uang lewat Ujian Nasional dan program gonta-ganti kurikulum. Bahkan oleh dosen, pendidikan dasar dan menengah dianggap tidak ada, dan menyalahkan pendidikan SMA sebagai sebab buruknya nilai UAS kami. Mungkin karena bapak-ibu dosen tidak bisa bermain proyek disana ya?

Sungguh kasihan mereka, di daerah-daerah terpencil tidak ada yang mau mengajari mereka indahnya belajar, megahnya Indonesia, ataupun serunya berhitung. Mereka menjadi korban uji coba Kurikulum dan Ujian Nasional. Lalu untuk setiap kegagalan Kurikulum dan UN, penyebabnya adalah siswanya. Karena mereka bukan ‘Maha’siswa? Sungguh ironi, padahal banyak siswa SMA bahkan SMP yang lebih jago matematika atau berlogika dibanding kami-kami yang mahasiswa. Lihat saja gerakan-gerakan mahasiswa nirnalar yang anti-demokrasi itu. Atau mahasiswa yang demo kemudian bentrok dengan polisi, lalu melakukan vandalisme, dan ujung-ujungnya menyalahkan pemerintah atau Zionisme. Katanya sih ‘Maha’siswa, tapi nalar kami banyak yang tidak melebihi anak TK.

Lalu mengapa pendidikan tinggi digabung dengan menristek? Apakah agar urusan riset mahasiswa lebih mudah? Atau agar riset yang dihasilkan mahasiswa lebih banyak? Hanya Tuhan dan orang pemerintahan yang tahu. Memang riset dan teknologi sangat berhubungan dengan pendidikan, tapi bukan pendidikan tinggi saja, pak, bu. Pasti di suatu tempat di Indonesia ada anak SMP yang sedang merancang bom nuklir, atau anak SMA yang melakukan penelitian pengobatan Ebola. Pendidikan tetaplah pendidikan, dan riset tetaplah riset, keduanya adalah hal berbeda yang membutuhkan satu sama lain. Atau mungkin agar bapak-ibu dosen yang periset bisa lebih enak bermain proyeknya di kampus? Hanya anda yang tahu, pak, bu.

Intinya, kami juga pelajar, seperti teman-teman kami yang TK, SD, SMP, dan SMA. Apa yang kami pelajari jelas berbeda, memang karena TK-SD-SMP-SMA juga mempelajari hal yang berbeda. Membedakan pendidikan tinggi dengan dasar dan menengah akan semakin menambah omong kosong pada kata ‘Mahasiswa’, yang sudah banyak mendapat omong kosong hanya karena kami adalah produk akhir dari sebuah pabrik pendidikan yang siap kerja, siap melanjutkan omong kosong di negeri ini. Mungkin karena itu ‘Mahasiswa’ mendapat perlakuan berbeda seperti ini? Padahal mengkutip kata seseorang, “Belajar adalah Proses Seumur Hidup,” dan kita semua adalah pelajar seumur hidup kita bukan?

Tidak usahlah mengelu-elukan kami para ‘Mahasiswa’ bak penyelamat bangsa, berekspektasi tinggi bahwa kami semua secerdas Einstein atau sekharismatik Bung Karno. Demi Zeus, kami semua cuma menumpang belajar di Universitas, dan semua gerakan revolusioner bisa dilakukan semua orang yang sadar, mau berpikir, dan berani, bukan hanya oleh ketua BEM dan organisasi lainnya. Menjadi ‘Mahasiswa’ adalah salah satu proses belajar yang hanya berlangsung 4 tahun bagi yang mampu, belajar dilakukan seumur hidup bagi yang mau. Jadi, tak usahlah berbangga menjadi ‘Mahasiswa’ berbanggalah masih bisa dan mau menjadi seorang ‘siswa’, yang belajar dan belajar untuk menghasilkan sesuatu bagi bangsa. Tak ada yang berbeda dari kami, para pelajar pendidikan tinggi dengan pelajar pendidikan dasar dan menengah, kami sama-sama belajar. Yah, mungkin yang membuat kami berbeda adalah kami lebih banyak mengalami omong kosong. Hidup Mahasiswa Indonesia!

*tulisan ini juga pernah saya muat di https://dinamikarotasi.wordpress.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun