Mohon tunggu...
Thomas Mulia
Thomas Mulia Mohon Tunggu... -

Idea Shaper.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

The Melody

26 April 2013   11:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:34 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Andhika berjalan memasuki panggung. Dibalik tirai merah tepat didepan matanya ada aula besar dengan dua ribu kursi yang terisi penuh dengan orang-orang yang tak sabar untuk melihat dirinya tampil. Andhika memberikan tanda pada orang di belakang panggung dengan tangannya, dan tiraipun terbuka. Yang pertama kali Andhika dengar dan lihat setelah tirai terangkat adalah tepuk tangan riuh penonton yang menyambut dirinya. Andhika maju ke tengah panggung dan membungkukkan badannya untuk memberi hormat pada para penonton yang bersemangat untuk melihat penampilan dirinya.

Setelah memberi hormat Andhika melangkah menuju piano hitam miliknya, dia duduk didepan pianonya itu lalu mulai menaruh jari-jarinya yang panjang diatas tuts piano dan mulai mengalunkan nada-nada yang membuat penonton terhanyut dalam kedamaian disetiap bunyi yang dikeluarkan dari piano yang ia mainkan. Sekarang Andhika berumur dua puluh tujuh tahun dan telah menjadi seorang pemain piano terbaik di Indonesia. Siapa yang sangka, sepuluh tahun yang lalu Andhika hanyalah seorang pemuda putus sekolah yang bekerja sebagai tukang penyemir sepatu.

***

Sepuluh tahun yang lalu Andhika yang berusia tujuh belas tahun seperti biasanya berjalan keluar dari rumahnya yang kumuh di daerah Jakarta Barat menuju stasiun kereta api untuk bekerja sebagai seorang tukang semir sepatu. Andhika berbadan kurus dan berkulit coklat kehitaman karena sering terkena sinar matahari. Dia memiliki dua adik perempuan yang masih SMP dan seorang ibu sakit-sakitan. Dalam sehari penghasilan Andhika menyemir sekitar dua puluh ribu sampai tiga puluh ribu rupiah.

Biasanya uang segitu Andhika gunakan untuk makan keluarganya dan membeli obat untuk ibunya, ayah Andhika pergi meninggalkan dia dan keluarganya saat Andhika masih kecil. Sebagai satu-satunya pria di keluarganya, Andhika memilih untuk tak melanjutkan sekolah di usianya yang masih remaja dan memilih untuk bekerja supaya adik-adiknya dapat terus melanjutkan pendidikannya. Sejak saat itu tiap hari Andhika akan membawa peralatan menyemirnya dalam kotak kayu dan berjalan menuju stasiun kereta api untuk mencari orang-orang yang mau disemir sepatunya.

Di stasiun itu Andhika memiliki pelanggan yang biasa dipanggilnya Om Benny. Om Benny adalah seorang pria tua berumur enam puluh tahun yang rambutnya sudah memutih semua. Om Benny tiap hari akan naik kereta di stasiun tempat Andhika menyemir sepatu untuk pergi ke rumah anak didiknya, dia adalah seorang guru les piano bagi anak-anak kecil. Andhika suka mengobrol dengan orang tua ini karena Om Benny enak diajak bercanda.

Suatu hari saat Andhika sedang menyemir sepatu hitam milik Om Benny, orang tua itu bertanya "Oi Andhika, kamu ga cape kerja begini? Kenapa ga coba cari kerjaan lain aja?" Andhika tersenyum mendengar pertanyaan Om Benny dan menjawab " Enggalah Om, Andhika ga cape kok. Asal halal dan ga nyusahin orang Andhika mau kerja apa aja." "Kamu mau coba kerja ama Om? Om mulai cape kerja sendirian. Om butuh asisten buat ngangkatin tas om sama bantu-bantu waktu lagi ngajar. Mungkin om juga ga bisa kasih banyak, tapi paling engga lebihlah dari penghasilan kamu semir sepatu." Andhika yang tak menyangka akan ditawari pekerjaan langsung menyanggupinya "Beneran Om? Andhika mau banget kerja ama om!" katanya riang. "hahaha, ok kita mulai dari besok ya. Pakailah kemeja dan celana panjang lalu pastikan kau mencukur rambutmu itu" Andhika tersenyum dan mengganguk mengiyakan perkataan Om Benny. Semua hal ini membuat Andhika tak sabar untuk segera pulang dan memberi tahu pada keluarganya tentang pekerjaan barunya ini.

***

Sudah setahun Andhika bekerja bersama Om Benny, tapi sekarang Andhika tidak lagi menjadi asisten guru les piano itu karena dia telah menjadi muridnya. Ini terjadi karena sekitar delapan bulan yang lalu disaat Andhika sedang membersihkan piano milik Om Benny di rumahnya Andhika tiba-tiba merasa ingin bermain piano. Saat sekolah dulu Andhika pernah belajar main piano, tapi ia tidak terlalu lama mempelajari bermain musik dengan piano. sehingga ia hanya bisa memainkan satu lagu mengunakan alat musik itu. Lagu yang ia bisa mainkan berjudul "The Prayer"

jadi karena iseng, setelah membersihkannya Andhika duduk di kursi dan mulai memainkan pianonya. Om Benny yang masuk ruangan saat Andhika sedang bermain langsung terkesima, walaupun masih perlu banyak perbaikan tapi Om Benny sadar Andhika memiliki bakat. Sejak itu Andhika menjadi murid Om Benny, ini adalah keputusan yang tepat karena dari bulan ke bulan permainan musik Andhika makin baik. Hingga akhirnya Om Benny memutuskan untuk memasukkan Andhika dalam perlombaan musik di Jakarta. Andhika berlatih keras untuk perlombaan itu, siang dan malam Andhika terus memainkan piano milik Om Benny dengan bersemangat.

Hingga akhirnya hari perlombaan itupun tiba. Sebelum berangkat ke tempat perlombaan, Andhika berpamitan pada ibunya terlebih dahulu. Andhika mengetuk pintu kamar ibunya sambil berkata "Bu, Andhika masuk ya. Andhika mau pamitan pergi ke tempat lomba." hening, tak ada jawaban dari ibunya. "Bu denger ga, buka dong pintunya. Andhika mau masuk" katanya lagi. Merasa ada yang salah, Andhika menggedor pintunya lebih keras tapi tetap tak ada jawaban. Hingga akhirnya dengan ketakutan yang mulai dia rasakan, Andhika mendobrak pintu kamar ibunya. Betapa terkejutnya Andhika begitu masuk, ia melihat ibunya tergeletak tak sadarkan diri di lantai. "Ibu, bangun Bu, bangun! Jangan buat Andhika takut! bangun bu, bangun!" tapi Ibunya tak menjawab, dia hanya terbaring begitu saja dilantai tak bergerak.

***

Andhika di rumah sakit, dia batal mengikuti lomba itu karena ibunya harus dibawa ke sini. Dia merasa kosong, untuk perlombaan itu Andhika telah berlatih begitu keras, tapi sekarang dia telah kalah bahkan sebelum bertanding. Duduk di kursi rumah sakit sendirian menunggu kabar dokter tentang ibunya, Andhika membenamkan kepalanya diantara kedua tangannya sambil berkata pada dirinya sendiri "Gagal, semua gagal. Gw ga bisa ikut lomba lagi, dan sekarang mungkin nyokap gw lagi sekarat. Gw ga punya apa-apa lagi." Saat sedang memikirkan segala kemalangannya, Om Benny datang menghampirinya dan duduk di sebelah Andhika. Om Benny menaruh tangannya di pundak Andhika dan berkata "Ga usah terlalu dipikirin. Yang penting ibu kamu selamat dulu, kan juga masih ada lomba selanjutnya." "Iya, tapi Andhika ga ngerti om! Kenapa disaat Andhika baru mau coba raih mimpi Andhika, semua malah hancur berantakan. Andhika cape om, Tuhan ga sayang ama Andhika, Dia ga peduli ama Andhika. Tuhan jahat om!" Andhika berkata putus asa. Selama ini Andhika telah mengalami kehidupan yang berat. Kelaparan, hinaan dan ketakutan adalah hal biasa yang dialami anak jalanan seperti Andhika. Ditambah lagi dengan keadaan ibunya sekarang membuat Andhika benar-benar putus asa.

"Andhika, jangan menyalahkan Tuhan. Om rasa Tuhan pasti suatu maksud membiarkan semua hal ini terjadi. Tuhan ga bakal memberikan cobaan diluar kemampuan umatNya." Om Benny berkata pada Andhika. Sepertinya Andhika tak menghiraukan perkataan Om Benny, karena ia memutuskan untuk berdiri dan pergi menjauhinya. Andhika pergi ke taman rumah sakit, dia membutuhkan udara segar. Berjalan beberapa menit, Andhika melihat seorang anak kecil botak di kursi roda yang didorong oleh seorang suster.

"Michael, kita duduk disini saja ya" suster itu mengajak anak kecil itu untuk berhenti sebentar dan duduk di kursi taman, Michael si anak kecil itu mengangguk mengiyakan. Michael adalah seorang anak kecil berusia tujuh tahun yang sangat kurus dan botak. Anak kecil ini adalah seorang penderita kanker stadium akhir. Andhika duduk di sebelah anak kecil ini sambil merenung, saat sedang terdiam Andhika tiba-tiba mendengar anak kecil disebelahnya bertanya "Apa yang sedang kakak pikirkan?" Andhika tesenyum dan menjawab anak kecil ini "Kakak lagi mikirin hidup sama masa depan kakak"

Michael berkata "Wah, pasti masa depan kakak cerah ya..." "kenapa kamu berkata seperti itu?" "Karena kakak sehat!" Michael menjawab ceria. "Maksudnya?" Andhika bertanya. "Yah, lihat aku sekarang kak. Mungkin aku ga bakal bisa hidup lebih dari lima tahun lagi dan juga sepertinya sisa hidupku akan aku habiskan dirumah sakit ini. Jadinya masa depanku sepertinya tak akan terlalu cerah." Michael terdiam sejenak dan melanjutkan "aku selalu merasa heran sama anak-anak lainnya yang masih sehat dan memiliki lebih banyak hal dari aku bukannya mengucap syukur malah lebih suka mengeluh dalam hidupnya. Memang dihidup ini kita pasti memiliki banyak masalah tapi pasti selalu akan ada jalan keluar untuk semua itu asal kita tak pernah lelah mencarinya." Andhika merasa ketenangan yang tak bisa ia jelaskan saat mendengar anak kecil disebelahnya ini berbicara.


"Jadi dibanding mengeluh dan menyesal dalam hidup ini, harusnya kita semua belajar mengucap syukur pada Tuhan dan terus berjuang meraih mimpi kita!" Michael berkata ceria. Andhika tak mengenal siapa Michael ini, tapi dia setuju dengan apa yang dikatakan bocah itu. "Jalan keluar permasalahan selalu ada bagi mereka yang tak lelah mencarinya" Andhika mengulangi perkataan Michael. Semangat baru tiba-tiba datang menyelimuti hati Andhika, dia berdiri dan berkata pada anak kecil yang terdiam di kursi roda itu "Hei nak, kakak harap kita akan bertemu lagi suatu saat nanti. Cepat sembuh ya, kakak pergi dulu!" Andhika bergegas kembali masuk ke rumah sakit.

***

Om Benny masih duduk sendirian di kursi yang sama saat Andhika pergi meninggalkannya. Andhika menghampiri orang tua itu dan berkata, "Om, kapan perlombaan piano akan diadakan lagi?" Om Benny kaget mendengar Andhika bertanya seperti itu, karena ia berfikir Andhika telah menyerah. "eer, sekitar dua bulan lagi. Kenapa?" "oke, kapan kita bisa mulai latihan?" Om Benny tertawa mendengar perkataan Andhika itu dan berkata "kita bisa mulai kapanpun kamu mau"

***

Tidak beberapa lama kemudian, Ibu Andhika membaik dan bisa keluar dari rumah sakit. Andhika menjadi teman baik si kecil Michael, saat Andhika sedang tak latihan piano dia biasanya akan menjenguk Michael di rumah sakit. Hingga akhirnya, hari perlombaanpun dimulai, Andhika maju ke panggung saat namanya dipanggil dan duduk di depan pianonya. Sebelum bermain dia memejamkan matanya sejenak dan memikirkan perkataan Michael, "selalu ada jalan keluar bagi mereka yang mencarinya" lalu menaruh jari-jarinya di atas tuts piano. Alunan musik yang begitu lembut memenuhi aula saat Andhika memainkan pianonya, sepertinya semua penonton memejamkan matanya seperti tak mau diganggu siapapun saat mendengar musik yang bagus. Saat bait terakhir selesai dimainkan Andhika, seluruh ruangan dipenuhi gemuruh tepuk tangan penonton, Andhika hanya bisa tersenyum puas.

Tentu saja pemenang lomba itu adalah Andhika, dia begitu bahagia saat namanya diumumkan sebagai pemenang dan langsung memeluk ibunya. Om Benny berkata pada Andhika "Om tau saat pertama kali melihat kamu bermain piano pada hari itu, akan tiba saatnya kamu menjadi juara seperti sekarang" Andhika hanya bisa memeluk Om Benny sebagai ucapan terima kasihnya. Setelah itu Andhika langsung bergegas menuju rumah sakit untuk menunjukkan piala kemenangannya pada Michael. Saat ia sampai didepan kamar Michael, dia tak repot-repot mengetuk pintu dan langsung membukanya, tapi sayang yang ia lihat dibalik pintu bukanlah Michael yang sedang berbaring di ranjang kamarnya seperti biasanya. Yang Andhika lihat hanyalah ranjang kosong yang sepertinya baru dibersihkan.

Melihat ini Andhika langsung pergi menuju ruang informasi dan bertanya "Michael, anak yang ada di kamar dua ratus tiga, kemana perginya dia?" Suster yang ada dibalik meja, membuka komputernya untuk mencari nama Michael, dan berkata beberapa saat kemudian "Michael telah meninggal pagi hari ini. Penyakit kankernya telah menular hingga otaknya. Dia sudah tak bisa diselamatkan lagi." semua kesenangan yang dirasakan Andhika karena memenangkan lomba langsung hilang. Dia syok, dan langsung merasakan air mata keluar mengalir ke pipinya. Piala yang dari tadi ingin ia tunjukkan pada anak kecil itu dia biarkan lepas dari genggaman tangannya dan jatuh ke lantai.

Lalu tiba-tiba seorang suster menghampirinya dan berkata "kau pasti Andhika, aku suster yang waktu itu bersama Michael saat bertemu denganmu di taman beberapa bulan yang lalu. Aku tau ini memang mengagetkan, tapi ini mungkin yang terbaik untuk Michael. Ini ada surat dari dia, Michael menyuruh aku memberikannya pada kamu saat dia telah tidak ada lagi" Andhika mengambil surat itu dan bertanya pada suster itu "Seperti apa Michael saat akan meninggal?" Suster itu menatap Andhika dengan haru dan berkata "dia tersenyum, Michael tersenyum saat menyambut ajalnya."

Andhika duduk di ruang tunggu pasien dan membuka surat yang diberikan Michael. Tulisan Michael yang acak-acakkan membuat Andhika tersenyum saat akan membacanya, yang tertulis di surat Michael untuk Andhika adalah ini: "Kak Andhika, selamat ya! Aku tau kakak pasti menang perlombaan itu. Maaf kak, Michael pergi duluan. Michael ga bisa nemenin kakak waktu menang, tapi ga apa-apa kak. Michael tau kakak pasti bakal jadi orang yang berhasil, terus berjuang ya kak! Jangan pernah menyerah, waktu hidup yang kakak tempuh makin sulit dan jalanan makin terjal, BERDOALAH. Percaya kak, Tuhan itu baik! Walau kita ga bisa melihatNya tapi pertolonganNya nyata di hidup kita. Tetap tersenyum kak, jangan bersedih. Michael percaya kita bakal ketemu lagi suatu saat nanti, Dan saat Kak Andhika main piano, Michael pasti bakal selalu ada nonton kakak main dari surga. Makasih ya kak buat semuanya."

Tulisan Michael berakhir disitu. Andhika hanya bisa menangis saat membaca surat yang ada didepannya, dan mulai hari itu dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan terus melakukan yang terbaik dan tak akan menyerah dalam hidup ini.

***

Andhika berkeliling dunia sekarang untuk melakukan konser musiknya. Sebelum dia mulai bermain, Andhika akan selalu memejamkan matanya sejenak dan mengingat perkataan Michael yang mengatakan bahwa ia selalu ada menonton Andhika bermain. Entah hanya karena imajinasinya atau memang betulan, seringkali saat Andhika melakukan konser, di kursi terdepan penonton dia selalu merasa melihat Michael duduk disitu dan tersenyum menyaksikan Andhika bermain di atas panggung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun