Portal berita Kompas.com pada tanggal 6 Desember 2024 memberitakan pemerintah akan pangggil Gojek hingga Grab untuk melakukan verifikasi pengemudi ojol agar dapat bahan bakar minyak bersubsidi (https://money.kompas.com/read/2024/12/06/153802726/panggil-gojek-hingga-grab-kementerian-umkm-verifikasi-data-pengemudi-ojol-agar?page=all&utm_source=Google&utm_medium=Newstand&utm_campaign=partner). Sangat penting untuk memastikan subsidi bahan bakar minyak dikonsumsi oleh pihak yang berhak karena subsidi tersebut adalah uang pajak. Di sinilah salah satu peran penting artificial intellgince (AI). AI saat ini merupakan sebuah keniscayaan. Dunia perpajakan dan bisnis tidak lagi bisa mengandalkan operasional bisnis  dan administrasi perpajakan pada sistem yang konvensional. Dalam Tax Administration (TA) 3.0: The Digital Transformation of Tax Administration, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) melihat tranformasi digital harus diterapkan pada administrasi perpajakan di mana proses perpajakan menjadi tanpa hambatan seiring dengan berjalannya waktu. Saat ini perbaikan administrasi, efisiensi, dan efektivitas administrasi perpajakan bukan lagi menjadi isu. Hal tersebut merupakan topik TA 2.0. Dunia saat ini sudah bergerak pada tatanan TA 3.0 di mana dengan transformasi digital kepatuhan tercipta di segala sektor ekonomi, membawa pajak dekat dengan sumbenya, kemudian secara signifikan menurunkan beban pajak yang timbul sebagai akibat adanya perbedaan antara proses perpajakan dengan kehidupan maupun kegiatan usaha pembayar pajak. Kesempatan ini membawa pada terobosan yang signifikan pada batasan administrasi yang secara terus-menerus menciptakan tax-gap, utang pajak yang tidak dibayar, dan beban pajak yang semakin meningkat. Era ini memprioritaskan transparansi dan keadilan pajak, meningkatkan hubungan antara pembayar pajak dengan pemerintah, dan pada akhirnya menciptakan ekosistem pajak yang efisien, adil, dan koperatif. Data menjadi bahan bakar TA 3.0 dalam bertransformasi. Data menjadi sangat penting karena data memberi otoritas bagi otoritas pajak dalam membuat keputusan, menegakkan kepatuhan, dan menjamin keadilan pajak. Administrasi perpajakan yang digerakkan oleh data akan lebih memahami aktivitas bisnis termasuk transaksi keuangan, insvestasi, dan hubungan kontraktual sehingga pajak tidak hanya berbicara pada bagaimana memungut pajak tapi juga menumbuhkan pendekatan yang menyeluruh di mana otoritas pajak mampu menilai apa yang terutang pajak dan apa yang diharapkan dari bisnis. Kita dapat membayangkan bagaimana suatu transaksi ekonomi dapat langsung terhubung dengan otoritas pajak secara real-time, tanpa hambatan, sesegera mungkin, dan secara digital. Saat wajib pajak menjual produknya maka pembayaran yang diterima sudah termasuk pajak yang terutang dan yang harus dibayar, kemudian transaksi ini terinformasikan secara real-time kepada otoritas pajak. Sistem seperti ini akan menciptakan jejak audit berbentuk catatan digital dibandingkan harus bergantung pada penyediaan data dari pihak lain. Masyarakat digital saat ini sedang bergerak sangat cepat. Digitalisasi ini merupakan kesempatan sekaligus tantangan bagi masyarakat dan otoritas pajak. Perubahan ini membawa keterbatasan struktural administrasi perpajakan kepada praktik integrasi proses perpajakan yang ditanamkan pada sistem yang digunakan wajib pajak dalam kegiatan bisnis maupun kehidupan sehari-harinya. Integrasi semacam ini menciptakan compliance-by-design yang pada akhirnya mereduksi biaya kepatuhan. Dalam padangan TA 3.0, hal-hal berikut ini akan meningkat seiring dengan pengaplikasiannya.
1. Tertanam dalam sistem alamiah wajib pajak. Otoritas pajak dan organisasi sektor privat menciptakan kolaborasi yang inovatif, pelayanan yang bernilai tambah, menurunkan beban administrasi dan memberikan rasa aman, serta transparansi dan hasil yang handal.
2. Menciptakan sistem dalam sistem yang berkesinambungan. Penyedia platform digital bertindak sebagai agen perpajakan yang membawa proses adminstrasi pajak dalam sistem mereka. Beberapa platform digital tidak hanya bertindak mengumpulkan data namun juga pemungutan pajak dan transfer pembayaran, sementara platform yang lain mengidentifikasi para wajib pajak dan transaksi yang relevan. Pemerintah kemudian bertugas mengawasi dan menjamin kualitas, kehandalan, ketangguhan operasionalisasi dan hasil.
3. Penyediaan kepastian pajak yang tepat waktu. Tidak semua kewajiban perpajakan dapat diselesaikan dengan siklus yang singkat. Di sinilah mekanisme penyeimbang sangat dibutuhkan. Informasi pengkreditan dan pendebitan pembayaran maupun pengembalian pajak secara tepat waktu diperlukan. AI digunakan sebagai alat pengambilan keputusan dengan dukungan algoritma.
4. Transparansi dan kepercayaan. Wajib pajak diberi kesempatan untuk menguji dan mempertanyakan nilai pajak yang telah jatuh tempo, terutang, dan dibayar secara tepat waktu. Wajib pajak dapat menentukan sendiri data personal yang dapat diakses untuk tujuan perpajakan meskipun proses ini membutuhkan produk legislasi.
5. Integrasi tata kelola. Identitas digital mendukung hubungan yang tanpa batas antara proses dan sumber data. Pembayaran, keuntungan, maupun pengembalian pajak saling terhubung dan dihitung sesuai dengan perspektif wajib pajak.
6. Sentuhan kemanusiaan dan organisasi yang adaptif terhadap teknologi tinggi. Kunci sukses TA Â 3.0 adalah perpaduan sumber daya manusia dengan keterampilan tinggi dan alat pengambilan keputusan seperti AI. Paradigma ini mampu mendeteksi adanya anomali, kebocoran, dan kecacatan dalam sistem perpajakan sekaligus menciptakan masyarakat ekonomi yang tanggap terhadap perubahan maupun krisis.
TA 3.0 bahkan juga dapat digunakan sebagai alat pengambilan keputusan untuk subsidi bahan bakar yang tepat sasaran. Pemerintah dapat dengan tepat waktu menentukan entitas yang layak mengonsumsi subsidi yang bersumber dari angggaran negara. Pemanggilan terhadap penyelenggara platform digital seperti Gojek, Grab, ataupun Maxim terkait pengemudi ojol seharusnya tidak diperlukan dalam ekosistem digital karena informasi dan data tersebut sudah tersedia dalam sistem pemerintah.
Data analytics
Pengumpulan data pada sistem perpajakan tradisional berfokus pada analisis historis yang digunakan untuk tujuan kepatuhan pajak. Data tersebut acap kali dikumpulkan dari Surat Pemberitahuan (SPT) yang dilaporkan oleh wajib pajak berdasarkan aktivitas ekonomi pada tahun yang lampau. Untuk itu saat ini kebutuhan akan transisi pola pikir semakin bertumbuh pesat. Otoritas pajak dapat memanfaatkan kekuatan analisis guna kepentingan penerimaan pajak. Data diperoleh melalui penggalian yang mendalam dengan menggunakan queries, memungkinkan pemahaman yang lebih menyeluruh tentang faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan pajak. Bagaimana pun data historis tetap dapat digunakan untuk meyusun model statistik guna memproyeksikan skenario perpajakan di masa yang akan datang. Dengan analisis, otoritas pajak dapat melampaui apa yang dicapai di masa lalu dan memanfaatkan pendekatan perencanaan pajak  serta manajemen risiko. Analisis memanfaatkan berbagai kasus yang pernah terjadi guna mengidentifikasi alokasi sumber daya, anomali yang terjadi, dan area risiko yang kemungkinan terjadi. Perpajakan era TA 3.0 menggunakan data historis tidak lagi sekadar untuk penjabaran yang bersifat desktiptif namun lebih lanjut data tersebut dianalisis guna keperluan prediktif dan preskriptif. Analisis preskriptif merekomendasilan tindakan-tindakan strategis yang harus diambil dalam pengambilan keputusan secara proaktif. Data yang berkualitas membuka cakrawala kepada pemahaman yang mendalam, meningkatkan kemampuan otoritas pajak dalam memastikan wajib pajak telah memenuhi kewajiban perpajakannya dengan efisien. Lebih lanjut, data yang berkualitas dan analisis preskriptif menyediakan pelayanan yang baru bagi wajib pajak di mana wajib pajak dapat menyusun SPT profoma, proses pelaporan yang lebih sederhana, meminimalkan biaya kepatuhan, dan secara keseluruhan meningkatkan efisiensi.
AI memegang peranan penting dalam menjamin kebijakan dan praktik transfer pricing (TP) sejalan dengan standard internasional. Salah satu keuntungan penggunaan AI adalah pengolahan dan analisis jumlah data yang sangat besar dengan tingkat kecepatan dan akurasi melebihi kemampuan manusia. Pemeriksaan TP sering melibatkan ribuan bahkan jutaan transaksi untuk memastikan kepatuhan sesuai arm's-length-principle di mana harga transfer antar-perusahaan mencerminkan harga yang disepakati pada lingkup transaksi non-afiliasi. Dengan pemanfaatan algoritma AI, otoritas pajak dapat melakukan otomasi pengolahan data dengan efisien. Algoritma AI dapat mengidentifikasi data transaksi yang menyimpang, tidak konsisten, dan adanya pola yang terindikasi pada tindakan pengalihan laba, ataupun pola penghindaran pajak lainnya. Instrumen yang digerakkan oleh AI juga dapat digunakan untuk membandingkan transaksi lintas industri, letak geografis, dan periode waktu tertentu untuk mendeteksi trend yang tidak biasa agar dapat diteliti lebih lanjut. Cakupan lain yang dapat memberikan dampak adalah standardisasi dan konsistensi dalam penegakan TP. Saat ini hasil pemeriksaan TP berbeda-beda sesuai dengan juridiksi masing-masing sehingga memberikan hasil yang berbeda untuk kasus yang sama. AI dapat menyusun suatu platform yang seragam dan jelas bagi seluruh jurudiksi sehingga tidak terjadi variasi dalam  penerapannya. AI mampu mereduksi sengketa antara otorias pajak dengan perusahaan multinasional dan menumbuhkan kerjasama global yang lebih besar dalam penanganan tantangan TP. Sebagaimana data analytics dimanfaatkan untuk keperluan prediktif dan preskriptif, demikian juga analisis yang diperkuat oleh AI menawarkan pengaplikasian pemeriksaan TP dengan cara yang lebih revolutif. TP secara tradisional dimaknai terbbatas pada faktor-faktor industri, skala transaksi, ataupun keberadaan transaksi hubungan istimewa. Kriteria yang ditetapkan tersebut tidak mencerminkan adanya ketidakpatuhan. AI mampu menyediakan model analisis prediktif yang lebih luas guna menampilkan penilaian risiko yang memungkinkan otoritas pajak menyusun prioritas sehubungan dengan kasus-kasus manipulasi TP. Model yang disediakan AI dapat menciptakan variasi yang luas, termasuk sifat transaksi, jurisdiksi yang terlibat, tingkat profitabilitas dari suatu entitas, dan kondisi ekonomi dari industri terkait. Analisis prediktif membantu otoritas pajak dalam menentukan sasaran pemeriksaan TP secara lebih efektif dengan fokus pada kasus-kasus yang menghasilkan temuan-temuan signifikan. Otoritas pajak tidak perlu lagi menunggu wajib pajak melaporkan SPT-nya karena AI mampu menandai potensi pajak dalam transaksi ekonomi yang dilakukan wajib pajak. Otoritas pajak dapat mendahului untuk memberikan intervensi dalam proses transaksi wajib pajak agar tindakan ketidakpatuhan dapat dicegah. Untuk perusahaan multinasional, pemanfaatan AI oleh otoritas pajak memberikan peringatan agar entitas bisnis mengurungkan niat melakukan perencanaan pajak yang agresif. Sebaliknya, perusahaan multinasional yang mengaplikasikan AI dalam bisnisnya dapat mencegah terjadinya sengketa TP. Namun harus diakui pemanfaatan AI juga disertai dengan isu hukum dan etika. Model analisis prediktif dapat saja keliru menentukan target pemeriksaan TP dikarenakan adanya bias industri dan transaksi. Terlebih lagi wajib pajak tidak memiliki akses kepada algoritma yang digunakan dalam menilai risiko sehingga berakibat pada ketidakmampuan wajib pajak untuk menyanggah temuan-temuan pemeriksaan. Dalam hal ini kerangka tata kelola AI yang kuat mampu memberikan kepastian bahwa AI digunakan dengan prinsip keadilan dan transparan. Pengaplikasian AI dalam TP memiliki keterbatasan dan tantangan tersendiri. Tantangan utama adalah ketersediaan dan kualitas data. AI sangat bergantung pada jumlah data yang besar dan berkualitas tinggi agar dapat berfungsi dengan efektif. Padahal dalam banyak kasus data yang tersedia bagi otoritas pajak seringkali tidak lengkap, tidak konsisten, atau bahkan sudah invalid. Harmonisasi data dari berbagai jurisdiksi untuk selanjutnya dianalisis oleh AI merupakan hambatan yang signifikan. Hambatan berikutya adalah kemampuan memberikan interpretasi atas hasil kerja AI yang mana analisis mendalam dan hasil dengan tingkat akurasi tinggi terkadang tidak mampu dimengerti oleh manusia. Interpretasi atas analisis AI ini menyulitkan jika harus digunakan sebagai alat bukti pada persidangan ataupun presentasi temuan kepada wajib pajak. TP sangat membutuhkan interpretasi hukum dan penilaian ekonomi sehingga ketidakmampuan dalam menyediakan transparansi dalam proses pengambilan keputusan dengan bantuan AI akan menenggelamkan legitimasi temuan pemeriksaan. Di sinilah dibutuhkan sumber daya manusia yang ahli dalam mengkalibrasi, menjaga, dan menginterpretasikan AI. Belum lagi data bias dapat menyebabkan hasil analisis yang juga bias. Maka muncullah isu keadilan dan ketidaksempurnaan informasi. Banyak panduan TP yang disusun sebelum merebaknya penggunaan AI sehingga dibutuhkan panduan pemeriksaan dengan bantuan AI agar penggunaan AI tidak kontraproduktif yang justru menghadirkan sengketa hukum lebih banyak. Jumlah data yang sangat besar harus ditangani dengan cara-cara yang bertanggung jawab serta terlindungi dari penyalahgunaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI