Nilai investasi di saham tersebut mencapai Rp 250 miliar. Belakangan, investasi itu tergerus bersamaan dengan jatuhnya harga saham SUGI di bursa. Bahkan, saat ini, saham SUGI dibekukan perdagangannya oleh otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) karena dinilai penurunan harga sahamnya tak wajar.Â
SUGI menjadi saham bernilai "gocap" dan dibekukan alias tidak boleh dijual maupun dibeli di Bursa Efek Indonesia. Lalu ada investasi-investasi besar lainnya yang bermasalah, misalnya adalah Kontrak Pengelolaan Dana (KPD) oleh berbagai manajer investasi.Â
Tercatat KPD besutan PT Bumiputera Capital Indonesia (BCI), PT Optima Kharya Capital Management, PT Sinergy Asset Management, PT Falcon Asia Resources Management, PT NATPAC Asset Management, dan PT Sarijaya Permana Sekuritas. Dan sayangnya Kontrak Pengelolaan Dana ini berujung rugi, dengan kerugian Rata-rata investasi tersebut di atas Rp 100 miliar (katadata).Â
Kasus salah urus investasi lain yang juga menjadi sorotan adalah penjualan aset tanah seluas 15 hektare di Kuningan, Jakarta Selatan, pada era 1990-an. Kini, lokasi itu dikenal dengan nama Mega Kuningan. Bumiputera menjual lahan tersebut kepada perusahaan Bakrie dengan iming-iming kepemilikan saham sebesar 58,15 persen.Â
Belakangan, pada 1997, harga saham perusahaan tersebut anjlok. Ujung-ujungnya, saham AJB Bumiputera kembali dibeli balik oleh perusahaan Bakrie dengan harga sangat murah. Ini benar-benar konspirasi dengan group bakrie yang dilakukan dengan cara halus, mengakali harga saham, mungkin ini yang dimaksud dengan menggoreng saham?Â
Ketika gosong dibeli murah, padahal dulu dijual mahal sekali!. Kasus tersebut sempat dikonfirmasi Praktik-praktik salah investasi inilah yang diduga turut menyebabkan menyusutnya aset finansial serta properti AJB Bumiputera.Â
Berdasarkan informasi terakhir, aset finansial Bumiputera cuma tersisa Rp 5,5 triliun dan properti Rp 2,5 triliun. Dan sayangnya nilai riil aset finansial tersebut bisa lebih rendah lagi bila dijual.Â
Yang lebih aneh lagi adalah kasus ini, seorang mantan direksi bahkan menuntut dibayarkannya komisi atas suatu polis asuransi. Prosesnya saat itu hingga ke meja hijau. Bagaimana mungkin direksi menerima komisi, sedangkan ia bukan agen asuransi. Itu kan sama saja dengan gratifikasi? Jangan-jangan praktik ini juga dilakukan oleh direksi lainnya? Hanya saja yang apes ketahuan hanya beberapa.Â
Jika melihat cara pengelolaan yang hampir semuanya merugi dan membuat nilai aset mereka terjun bebas, jadi wajar kalau para nasabah AJB Bumiputera kini mulai was-was dan deg-degan, karena menunggu kepastian pencairan klaim yang jatuh tempo. Apakah anda salah satunya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H