Mohon tunggu...
thomas gunawan wibowo
thomas gunawan wibowo Mohon Tunggu... -

thomas gunawan wibowo. seorang pendidik di sma kanisius jakarta. sedang menekuni manajemen perubahan sekolah dan instruksional pembelajaran di loyola university chicago

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menciptakan "Iklim" Belajar Di Kelas

10 Maret 2009   03:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:17 2145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah anda mendengar keluhan anak-anak anda, anak saudara, atau teman kerja anda, tentang guru mereka? Tentang bagaimana mereka mengajar?

“Wah, pak Anton itu, galaknya luar biasa, dan para siswa hanya diam saja kalau ia sedang mengajar di kelas” atau “Sementara ibu Maria, kalau mengajar enak sekali, dua jam pelajaran rasanya berlalu begitu cepat”, juga barangkali “Nah, kalau Pak Sumantri itu, sukanya melucu namun jarang mengajar di kelas”. Begitulah barangkali, komentar sebagian siswa tentang para guru mereka. Sebagian menyenangkan, sebagian membuat kening berkerut memang.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa kelas itu memang unik. Kegiatan belajar antara guru-siswa di kelas, adalah kegiatan yang kompleks dan terkadang unpredictable. Jangan dikira, ketika guru menyiapkan bahan pembelajaran atau lesson plan, semuanya sudah selesai.

Masalah di atas bukan hanya milik guru “baru”, mereka yang berpengalaman mengajar berpuluh-puluh tahun pun, tidak bisa memberi jaminan bahwa kegiatan pengajarannya pasti “beres”, hanya karena modal kesenioritasan mereka. Di dalam kelas, 35 – 45 siswa di dalamnya, dengan sekian banyak karakter yang berbeda, segala sesuatu bisa terjadi. Apa yang dirancang guru, bisa bertolak belakang dengan apa yang terjadi di dalam kelas. Semua bisa berbalik arah, 180 derajat, kata guru matematika.

Oleh karena interaksi belajar di dalam kelas bersifat kompleks, maka diperlukan instrumen yang dapat dipakai untuk mengamati dan mengukur, sejauhmana proses kegiatan di kelas tersebut efektif atau tidak. Efektif dalam pengertian, sejauhmana itu membuat siswa menjadi belajar secara optimal, sesuai dengan objektif pembelajaran itu sendiri. 

Dari begitu banyak aspek yang dipakai untuk menilai efektifitas pembelajaran di kelas, salah satunya adalah bagaimana pentingnya seorang guru menciptakan dan membangun iklim belajar yang kondusif bagi siswa di dalam kelas, selama proses pembelajaran yang dilakukannya.

Borich, G.D (2008), mengingatkan pentingnya guru memperhatikan tiga aspek berikut, yakni (a) keprihatinan guru, (b) kemampuan guru mengelola kedekatan (intimitas) dan kontrol, dan (c) pengaruh lingkungan sosial dalam pembelajaran.

Dalam prakteknya ketiga hal di atas saling berinteraksi, dan berkaitan satu dengan yang lainnya. Tidak satu pun, saling berdiri sendiri.

Perhatian seorang guru
Peran guru di kelas, seperti disinggung di awal, adalah menyelenggarakan pembelajaran dan pengajaran yang efektif di kelas. Untuk menjalankan peran tersebut guru perlu melihat secara jeli, seperti ditulis Fuller (1969), bagaimana ia memahami bagaimana dan siapa dirinya sendiri (self), tugas dan tanggungjawabnya (task), serta dampak aktifitasnya (impact) bagi para siswa.
Seorang guru yang tidak di -“terima” murid di kelasnya, entah karena karakter guru itu yang “dingin” atau tidak gaul, barangkali, akan mengalami kesulitan membangun suasana belajar yang diterima siswa di kelas. Penampilan diri yang “culun”, volume suara yang rendah, emosionalitas yang tidak stabil, dan pengalaman mengajar yang minim, acapkali menjadi sebab seorang guru tidak PD (percaya diri) berdiri tegak di depan kelas (self).
Guru yang pemarah, misalnya, terkadang juga merupakan upaya menyembunyikan kegelisahan dan ketidakpercayaan diri di hadapan para siswanya. Dengan cara itu, menjadi “marah”, akan menjadi cara efektif mengendalikan siswa di kelas, menurutnya.
Setiap kali ia mengajar, mungkin faktor metode atau pendekatan mengajarnya tidak menarik, lalu para siswa menjadi acuh atau bergumam satu sama lain. Spontan saja, segera sang guru itu “marah”. Guru itu, mungkin merasa aman, karena muridnya segera “tenang” dan diam seribu bahasa. Ia merasa berhasil, karena “mampu” mengendalikan para siswanya dengan cepat.
Dalam arti tertentu, guru itu mungkin “berhasil”. Pada sisi lain, ia mesti bertanya, inikah tujuan pembelajaran yang mau diarahnya?
Peran guru sangat esensial, ia mesti mengenal siapa dan bagaimana karakternya (self), dan sejauhmana itu mendukung tugas dan tanggungjawabnya. Yakni, tanggungjawab menyelenggarakan pengajaran yang efektif (task), bersama dan untuk para siswanya (impact). Para siswa, sesungguhnya membutuhkan rasa nyaman, relasi manusiawi yang akrab, dan rasa aman, yang membuat mereka memiliki ruang untuk bebas menyampaikan “uneg-uneg” dan pikirannya.

Intimitas dan kontrol
Hal kedua yang diberikan perhatian oleh Borich adalah, bagaimana guru membangun suasana kedekatan emosional dan menerapkan kontrol di kelas.
Tatkala kehadiran guru di kelas, membuat situasi tegang dan mencekam, sesungguhnya guru tersebut kehilangan kesempatan menggali keingintahuan, membangun keterlibatan dan mendorong keberanian bertanya pada diri siswanya. Ia telah gagal membangun iklim yang “sejuk” dalam pembelajaran di kelas. Padahal iklim seperti itu sejatinya, merupakan fondasi seseorang yang ingin belajar pengetahuan lebih dalam. Guru, tanpa sadar, mematahkan semua itu atas nama otoritas miliknya belaka.
Guru harus memikirkan bagaimana ia mengelola “kedekatan” emosial dan menjalankan kontrol secara proporsional. Keberhasilan menjalankan ini dapat dilihat dari fenomena berikut. Misalnya, seberapa sering siswa berani bertanya, menyanggah, dan mengajukan pendapat. Apakah siswa merasa rileks, dan bebas menjawab pertanyaan guru atau rekan lain, aktif dalam pembelajaran baik dalam kelompok maupun tugas individual
Lewat ketrampilannya, melalui bertanya dan memberi feedback, guru akan mampu mendorong siswa berpikir lebih luas dan lebih dalam, yang tidak jarang membawa pada tataran “melebihi” ekspektasi yang mereka pikirkan. Guru juga diharapkan mampu mengembangkan, apa yang menjadi pertanyaan dan kegelisahan siswa menjadi alat efektif untuk memotivasi mereka menggali informasi dan pengetahuan lebih dalam.
Komentar guru yang bersifat negatif (negative feedback), hanya akan “membunuh” sikap kreatif dan keberanian siswa melakukan sesuatu yang baru dan bereksperimen.
Sebagai contoh, bagaimana seorang guru merespon siswa tatkala jawaban siswa terlalu jauh menyimpang dari pertanyaannya. Si guru tak perlu memvonis siswa tersebut, misalnya dengan menyebut “jawaban bodoh” atau “pendapatmu itu tidak masuk akal”. Sang guru, bisa menggantinya dengan merespon, misalnya, “apa maksud jawaban itu, ibubelum paham maksudnya”, atau lainnya seperti “coba kamu ceritakan hubungan jawaban itu dengan pertanyaan terakhir tadi”.
Respon terakhir guru tersebut, jauh lebih berharga dan memotivasi siswa daripada melakukan komentar yang sifatnya menilai (judging) seperti yang diucapkan dalam dua komentar pertama tadi.
Kelihaian guru di kelas, diantaranya, adalah membuat dinamika yang “pas” antara kedekatanya terhadap siswa dengan seberapa besar ia menerapkan disiplin atau kontrol secara seimbang.
Kelas yang terlalu dikontrol perilakunya, akan menjadi kelas “militer” yang kaku dan sangat membosankan. Tentu saja, membuat siswa menjadi tidak kreatif dan merasa nyaman belajar. Sebaliknya, kelas yang sangat “longgar”, hubungan guru-murid seolah tanpa batas dan menjadi permisif, juga akan membuat siswa kurang termotivasi dan menjadi seenaknya sendiri. Ia tidak melihat sebuat target dan tantangan belajar yang konkrit dihadapannya.

Lingkungan sosial
Lingkungan belajar siswa adalah bagian lain yang mesti diperhatikan seorang guru. Beragam perbedaan lingkungan siswa, kiranya menjadi pertimbangan tersendiri bagaimana guru mendesain kelas yang ideal di dalam pembelajarannya.
Siswa datang dari beragam suku dan budaya, berbeda dalam minat dan tujuan belajar, berlainan kecepatan belajar antara seorang siswa dengan lainnya. Mereka memiliki aturan main yang berbeda antar kelas dan keluarga, di dalam kelas juga terjadi ‘klik” atau kelompok diantara mereka, bagaimana masing-masing memilik masalah dengan lainnya. Juga, ada persaingan dan kompetisi di antara mereka, dan beragam perbedaan serta kesejangan lainnya.
Guru yang menggeneralisir sebuah pendekatan mengajar untuk semua, tanpa memperhatikan beragam faktor lingkungan sosial yang berbeda, sesungguhnya telah mendesain sebuah ketegangan secara sistematis, tanpa ia sadari, yang sangat berpotensi mengganggu kelancarannya dalam mengengelola pengajarannya di kelas.
Ambilah sebagai contoh, seorang guru baru (new teacher) yang mengajar sekolah di kota besar. Dia berpikir, bahwa setiap siswa di kota terbiasa dengan kompetisi atau persaingan. Sang guru kemudian berinisiatif, untuk merangsang kemajuan dan kerajinan siswa belajar, memberi poin lebih kepada setiap siswa yang menjawab dengan “cepat’ pertanyaan sang guru.
Apa yang terjadi, setiap kali ia melontarkan pertanyaan, ternyata hanya satu orang di kelas itu yang selalu menjawab pertanyaan sang guru.
Belakangan terdengar kabar, bahwa telah terjadi “pertengkaran”, mengarah ke intimidasi dan ancaman, dari anggota kelas kepada siswa yang rajin menjawab pertanyaan sang guru itu. Usut punya usut, rupanya telah terjadi “kesepakatan’ informal di antara mereka, anggota kelas, bahwa keberhasilan mereka dalam belajar, diukur dari seberapa besar kerjasama dan memberi kesempatan satu kepada yang lain di dalam kelompok.
Apa yang dilakukan satu siswa yang “rajin” tadi, dianggap melanggar kesepakatan kelas, demi mencari keuntungannya sendiri. Iklim kompetisi, yang ingin dikembangkan guru di kelas itu, ternyata telah bertabrakan dengan semangat kebersamaan yang telah menjadi kesepakatan segenap siswa di kelas tersebut.
Apa yang telah dipahami dan dirancang dengan maksud baik, namun kurang memperhatikan aspek social (social environment) kelas, ternyata menjadi kontraproduktif bagi perkembangan kelas itu.
Selamat mendesain iklim belajar yang positif di kelas anda, atau di mana pun anda berada, sekali pun sekiranya anda bukan seorang guru. 000

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun