Mohon tunggu...
thomas edison soinbala
thomas edison soinbala Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar sekolah

Jika kemarin adalah luka, maka usahakan agar hari ini adalah obatnya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Kosmosentrisme-Ekologi: Suatu Wacana Universal Dalam Kerangka Teologi Pembebasan

16 September 2024   20:48 Diperbarui: 27 September 2024   19:14 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah Ekologi pertama kali digunakan oleh Ernst Haeckel (1869), dan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara makhluk hidup dan lingkungannya yang bersifat organik maupun an-organik.[1] Lebih luas, ekologi memiliki korelasi dengan rumah tangga makhluk hidup yang bermuara dalam suatu sistem yang tunggal, ekosistem. Ketegangan yang terbangun dalam ekosistem ekologi kerap kali memunculkan konflik dalam siklus kehidupan antara manusia dengan makhluk lain. Istilah kosmosentrise dipopulerkan oleh seorang teolog kenamaan berkebangsaan Brazil, Leonardo Boff. Kosmosentrisme yang dikemukakan oleh Leonardo Boff membias dari keprihatinan terhadap alam semesta yang "dinomor duakan". Paham kosmosentrisme mengkristalkan paham bahwa seluruh  makhluk di alam semesta memiliki hak asasi dan bukan hanya manusia. Awalnya ekologi masih menjadi wacana regional karena berkaitan dengan pelestarian spesies tertentu yang terancam punah atau dengan penciptaan cagar alam yang memastikan kondisi yang lestari bagi berbagai ekosistem hayati. Atau dengan kata lain kehijauan planet ini, terutama hutan tropis yang mangandung keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Namun timbulnya kesadaran akan akibat dari pembangunan industri, ekologi pembebasan menjadi wacana universal.[2] Kendati kosmosentrisme sering kali tersisihkan sebagai masalah kedua setelah industri dan ilmu pengetahuan (antroposentrisme) yang ternyata adalah "rumpun serampangan" yang terus eksis dalam ekosistem kosmik. Mengingat krisis lingkungan semakin realistis, tokoh-tokoh yang berkehendak baik dalam mengusahakan suatu sistem rekonstruksi ekologis, mengingat dunia sedang dihadapkan pada akibat kehancuran lingkungan hidup dan pemanasan global maka lahirlah suatu teologi baru yakni teologi pembebasan. Awalnya teologi pembebasan berbasis pada Asia sebagai respon atas permasalah ekologis, kemiskinan dan keterbelakangan sumber daya manusia. 

Penguraian pengetahuan yang diperoleh dari berbagai proyek luar angkasa, menyuguhkan kepada kita suatu kronologi baru yaitu kita dapat mengetahui paradigma yang koheren tentang relasi antara manusia dan alam semesta. Beberapa astronot seperti Isaac Animov, John Jung mengatakan bahwa bumi seukuran telapak tangan, tidak ada kulit putih dan hitam di dalamnya, tidak ada kaum marxis dan demokrat. Yang ada, bumi adalah planet biru-putih yang teramat menakjubkan. Bumi dan manusia merupakan satu kesatuan. Kita manusia tidak hanya berada di bumi tetapi “kita di bumi”. Kita pria dan wanita adalah bumi yang berpikir, berharap, mencintai dan telah memasuki fase pengambilan keputusan yang tidak lagi naluriah tetapi sadar. Kita adalah ekspresi bumi dan kosmos paling kompleks dan unik yang diketahui sejauh ini. Kendati demikian manusia harus bersikap sportif dalam membangun suatu ekosistem dalam siklus kebutuhannya. Sangat tidak bijaksana apabila antroposentrime labih diutamakan dari pada kosmosentrisme. Sekali waktu seorang ahli ekologi Amerika Serikat mengatakan bahwa risiko terakhir yang diambil bumi adalah mempercayakan takdirnya pada keputusan manusia, memberikan komunitas manusia kekuatan keputusan atas sistem kehidupan dasarnya. Dengan kata lain Tuhan telah lalai dengan mempercayakan ciptaan-Nya yang paling sakral dikelola oleh manusia. manusia menggiring bami pada suatu vase evolusi yang amat celaka.

Pada tanggal 24 Mei 2015 siang hari waktu setempat, ensiklik Laudato Si secara resmi dipublish di Vatikan dan pada tanggal 18 Juni 2015 disertai dengan konverensi pers vatikan merilis dokumen tersebut dalam bahasa Italia, Jerman, Inggris, Spanyol, Polandia, Portugis dan Arab. Ensiklik Laudato Si merupakan ensiklik kedua yang di buat oleh Paus Fransiskus setelah Lumen Fidei atas keprihatinan terhadap konsumerisme, pembangunan yang tidak terkendali, kerusakan lingkungan, pemanasan global dan ajakan kepada semua orang dari seluruh lapisan masyarakat di dunia untuk mengambil sikap global terpadu demi rekonstruksi dan pelestarian lingkungan berkelanjutan. LAUDATO SI ', mi' Signore", - "Terpujilah Engkau, Tuhanku". Meneruskan apa yang telah dibangun oleh Santo Fransiskus dari Asisi yang tertuang dalam tulisan; nyanyian saudara matahari, puisi dan doa sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas penciptaan berbagai makhluk dan seluruh aspek bumi. Paus Fransiskus mengingatkan semua orang diseluruh penjuru dunia untuk kembali merefleksikan bahwa bumi adalah rumah kita bersama; seperti saudari yang berbagi hidup dengan kita dan sebagai ibu rupawan yang tak henti-hentinya menerima kita dengan penuh kasih dan tangan terbuka. "Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang memelihara dan mengasuh kami, dan menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan".[1] Ungkapan syukur kepada Tuhan yang menciptakan kita dan bumi sebagai wadah tempat kita berbagi hidup serta kecemasan akan krisis lingkungan hidup, menjadi gagasan dasar Paus Fransiskus menggaungkan seruan yang tertuang dalam ensiklik Laudato Si, agar semua orang diseluruh dunia merasakan kecemasan yang sama sebagaimana Paus Fransiskus merasakannya. 

Selain Paus Fransiskus, ada pula pendahulunya Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus II,  Paus Benedictus XVI, ada pula teolog, ahli, filosof dan ada segelintir orang yang hidup terpisah di berbagai tempat yang berkehendak baik untuk merekonstruksi bumi rumah kita bersama. Mereka menyerukan dan menggaungkan dialog agar semua orang yang hidup di planet ini memiliki empati untuk bersikap dan memerangi tindakan-tindakan yang merusak bumi. Semua orang di bumi, di ajak untuk membangun hubungan yang intim dan mengalami kesatuan dengan alam semesta sebagai bagian tak terpisah dari dirinya. Membangun hubungan yang intim dengan semesta berarti melihat kerusakan di bumi sebagai luka yang mesti dirasakan dan disembuhkan bersama. Kerusakan yang terjadi di bumi adalah cerminan dari keserakahan kita yang lupa bahwa bumi adalah tempat kita saling mengisi. Tokoh-tokoh dunia melihat bahwa bumi sedang dalam kondisi yang amat memprihatinkan sebagai akibat dari kemerosotan moral dan etika ekologi. Lingkungan hidup mengalami degradasi yang signifikan.

Seruan yang digelontorkan oleh Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si, merupakan seruan, ajakan dan dialog yang masih sangat aktual. Bukan baru pertama kali dan tidak terlepas dari apa yang digaungkan oleh Paus Paulus VI, Santo Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benedictus XII. Beberapa tokoh katolik paling berpengaruh dunia ini, membangun dialog dalam "tataran katolik" regional dan universal untuk memperhatikan lingkungan hidup.  Paus Paulus VI mengajak semua orang di dunia melalui ensiklik Pacem In Terris untuk melihat masalah ekologis sebagai akibat tragis dari aktifitas manusia yang tak terkendali karena eksploitasi alam secara tidak bertanggungjawab. Pertumbuhan ekonomi menimbulkan risiko kehancuran yang akibatnya manusia sendiri menjadi korban dari degradasi ini. Ia juga mendesak pihak Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk intens melihat krisis ekologis yang akan menjadi bencana nyata akibat  pengaruh peradaban industri, dan menekankan "kebutuhan mendesak akan perubahan radikal dalam perilaku umat manusia", karena "kemajuan ilmiah yang sangat luar biasa, kemampuan teknis yang sangat menakjubkan, pertumbuhan ekonomi yang sangat mencengangkan, bila tidak disertai dengan perkembangan sosial dan moral autentik, akhirnya akan berbalik melawan  manusia".[1] 

Penegasan ini bertumpa pada konsekuensi mengenaskan yang sewaktu-waktu akan dialami manusia karena ulah sendiri. Kecemasan akan degradasi dan konsekuensi sebagai akibat dari aktifitas serampangan manusia, maka Paus Paulus VI berdasarkan refleksinya, mengajak dunia untuk melihat dan merangkul bumi yang "sedang terluka" sebagai saudari dan ibu yang mesti di kasihi. Keserakahan tidak boleh memperoleh tempat seincipun di bumi. Seyogianya, manusia mesti menjadikan bumi sebagai "dirinya sendiri" yang ketika digores, maka yang merasakan sakitnya harus manusia.

Sedangkan Santo Paus Yohanes Paulus II bersikap secara lebih teologis. Ia melihat tindakan perusakan dan degradasi moral dan etik terhadap lingkungan hidup sebagai dosa berat; kendati menggunakan diksi perkara, Santo Paus Yohanes Paulus II beranjak dari ketegasannya agar terdapat pertobatan ekologis global. "Penghancuran lingkungan manusia merupakan perkara sangat berat, tidak hanya karena Allah telah mempercayakan dunia kepada manusia, tetapi karena hidup manusia itu sendiri merupakan anugerah yang harus dilindungi dari berbagai bentuk kemerosotan. Setiap upaya untuk melindungi dan memperbaiki dunia kita memerlukan perubahan besar dalam "gaya hidup, dalam pola-pola produksi dan konsumsi, begitu juga dalam sistem maupun struktur-struktur pemerintahan yang sudah membaku, yang sekarang ini menguasai masyarakat". Pengembangan manusia yang autentik memiliki sifat moral. Ini mengandaikan penghormatan penuh terhadap pribadi manusia, tetapi juga harus peduli terhadap dunia di sekitar kita dan "mempertimbangkan sifat setiap makhluk dan hubungan satu sama lain dalam suatu sistem yang tertata". Dengan demikian, kemampuan manusia untuk mengubah realitas harus dilakukan berdasarkan pengaruniaan segalanya oleh Allah menurut maksud-Nya semula"[1]. (Paus Yohanes Paulus II; Pertobatan Ekologis)

 

Santo Paus Yohanes Paulus II memandang bumi sebagai karunia Allah yang diberikan secara Cuma-Cuma, mencakup lingkungan alam, lingkungan alam hayati dan manusia di dalamnya sebagai pelindung. Manusia diberi marwah khusus untuk mengelola, merawat, menjaga dan menggunakan alam ciptaan secara bertanggung jawab demi kelangsungan hidup dan demi kemuliaan Allah Sang Pencipta (kreator). Dengan pandangan yang lebih teologis, maka menjadi lebih falid dan kohoren apa bila merusak bumi adalah  perkara/dosa berat. Tidak berlebihan untuk perkera sebesar itu dianggap sebagai tindakan berdosa. Santo Paus Yohanes Paulus II, menuntut moral dan etika dari setiap orang yang mendiami planet ini dalam mengelola dan menggunakan apa yang melekat dan bumi itu sendiri.  

Paus Benedictus XVI lebih menyoroti lembaga-lembaga struktural ekonomi dan mengkritik model-model pertumbuhan yang tidak memberi rasa hormat pada lingkungan hidup. Paus Benedictus membangun suatu peringatan kepada dunia bahwa lingkungan alam tidak terbatas pada satu aspek tertentu melainkan adalah satu kesatuan tak terpisahkan dari lingkungan, kehidupan, seksualitas, keluarga dan hubungan sosial. Maka kerusakan alam sangat erat dengan habitus yang membentuk koeksistensi manusia. [2]

Yang teraktual, Paus Fransiskus melalui ensiklik Laudato Si, Ia melihat dan mengalami lebih dalam, bagaimana kerusakan lingkungan hidup dan akibat buruk yang merugikan manusia. Dewasa ini, akibat-akibat kerusakan alam tidak lagi terbatas pada perkiraan dan wacana, melainkan telah menyata dalam kehidupan konkret. Paus Fransiskus ketika terpilih sebagai pemimpin gereja katolik roma yang kedua ratus enam puluh enam dalam konklaf pada tahun 2013 silam, ia terinspirasi oleh semangat Santo Fransiskus Asisi yang amat mencintai semua orang, tak terkecuali kaum miskin dan yang tersisih. "Santo Fransiskus Asisi juga adalah contoh unggul dalam melindungi yang rentan dan dalam suatu ekologi integral, yang dihayati dengan gembira dan autentik. Dia adalah santo pelindung semua orang yang mempelajari dan bekerja di bidang ekologi, dan ia juga sangat dicintai oleh orang non-Kristiani. Dia telah menunjukkan kepedulian khusus terhadap ciptaan Allah dan kaum miskin serta mereka yang tersisihkan. Dia mengasihi dan sangat dikasihi karena kegembiraannya, pemberian dirinya yang murah hati, dan keterbukaan hatinya. Dia adalah seorang mistikus dan peziarah yang hidup dalam kesederhanaan dan keselarasan yang indah dengan Allah, dengan orang lain, dengan alam, dan dengan dirinya sendiri".[3] (Paus Fransiskus; Laudato Si., hlm. 10). 

Mengenai lingkungan yang kian terperosok dalam kerusakan yang akut, Paus Fransiskus membangun ekosistem dialogal, untuk menjaga dan merekonsktruksi bumi sebagai saudari, ibu dan rumah kita bersama. Ia melihat bahwa saudari, ibu dan rumah kita bersama kini menjerit kesakitan karena kerusakan yang ditimpakan padanya, karena penyalahgunaan kita yang tidak begitu bertanggung jawab. Kekayaan yang telah diletakan Allah di atas bumi  seharus digunakan secara bijaksana dan tidak berpikir bahwa kita adalah tuan dan penguasanya yang berhak dan menjarahnya secara membabi buta. Dosa-dosa manusia tercermin dalam kerusakan bumi.

".......karena penggunaan dan penyalahgunaan kita yang tidak bertanggung jawab atas kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita berpikir bahwa kita adalah tuan dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, di dalam air, di udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu, bumi terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling kita abaikan dan lecehkan. Ia "mengeluh dalam rasa sakit bersalin" (Roma 8:22). Kita telah melupakan bahwa kita sendiri berasal dari debu tanah (Kejadian 2: 7); tubuh kita sendiri tersusun dari unsur-unsur yang sama dari bumi, dan udaranya memberi kita nafas serta airnya menghidupkan dan menyegarkan kita". (Paus Fransiskus; Laudato Si. Hlm., 5

Keprihatinan ini diangkat sebagai problem global sehingga wajib bagi semua orang dari segala lapisan dan segala elemen masyarakat agar mengalihkan pandangan, mengambil sikap, bermpati dan bertindak cekatan, sebelum kemurkaan alam mencatat dirinya sebagai sejarah kelam manusia. Keserakahan, konsumerisme dan hedonisme yang menjadi kultur manusia dewasa ini membombardir kelestarian lingkungan hidup. Tokoh-tokoh di atas membuka mata kita terhadap suatu realitas kelam yang telah dihidupi oleh manusia dalam keserakahan dan kerakusan yang ditimpakan kepada bumi, rumah kita bersama. Usaha tersebut sebagai usaha untuk membangun ekologi yang lestari. Problematika dunia dari aspek, baik politik maupun IPTEK, sepenuhnya berimbas pada bumi yang seharusnya dijaga sebagaimana perempuan atau ibu mesti diperlakukan. Isu teologi yang menyita banyak perhatian berbagai kalangan yakni kerusakan alam (the suffering earth) dan kemiskinan (the poor).

Ekologi dan Manusia 

              Antroposentrisme dan kosmosentrime. Dua paham yang selamanya saling berkaitan. Manusia berada dalam alam dan alam berada dalam manusia; bahkan manusia mesti disebut sebagai bumi. Awalnya kosmosentrisme manempati posisi kedua setelah antroposentrisme hingga krisis ekologi menjadi kecemasan bersama. Krisis ekologi disebabkan karena lingkungan hidup atau kosmos dianggap sebagai lingkungan hidup manusia saja, padahal lingkungan hidup berjalan bersama proses evolusi yang dimotori oleh manusia. Lingkungan hidup berkembang di sekitar manusia tempat organisme dan an-organisme bertumbuh dan berinteaksi. Bumi telah berusia sekitar lima miliar tahun sedangkan kehidupan berkembang baru tiga miliar tahun. di bumi terdapat beragam spesies, sekitar lima juta spesies flora dan sepulu juta spesies fauna serta terdapat tiga juta spesies mikro-organisme. Manusia hanya satu spesies. Oleh karena itu, manusia sesengguhnya merupakan bagian kecil dari alam semesta, berperan lebih kecil dalam membangun, mengembangankan dan mempertahankan keseimbangan ekologi. Namun kenyataannya manusia berkat pengetahuannya membombardir alam raya dengan alasan memenuhi kebutuhannya yang tiada cukup. Manusia menguras lebih bahan lebih besar dari keberadaaanya secara kuantitatif di bumi. Ada beberapa bentuk pencemaran yang dialami orang setiap hari. Terkena polusi udara mengakibatkan berbagai masalah kesehatan, terutama bagi masyarakat miskin, dan menyebabkan jutaan kematian dini. Orang jatuh sakit, misalnya, karena terus menghirup asap bahan bakar tingkat tinggi yang digunakan untuk memasak atau memanaskan rumah. Ada lagi polusi yang mempengaruhi semua orang, yang disebabkan oleh transportasi, asap industri, zat yang memberikan kontribusi pada pengasaman tanah dan air pupuk, insektisida, fungisida, herbisida dan agrotoksin pada umumnya. Teknologi yang, dalam kaitan dengan kepentingan bisnis, diklaim sebagai satu-satunya cara untuk memecahkan masalah-masalah ini, pada kenyataannya, biasanya tidak mampu melihat misteri aneka hubungan di antara banyak hal, lalu kadang-kadang memecahkan satu masalah hanya untuk menciptakan masalah lain.

               Perubahan iklim merupakan masalah global dengan dampak buruk untuk lingkungan, masyarakat, ekonomi, perdagangan dan politik. Ini merupakan salah satu tantangan utama yang dihadapi umat manusia pada zaman kita. Dampak terburuk mungkin akan dirasakan dalam beberapa dekade mendatang oleh negara-negara berkembang. Banyak orang miskin tinggal di wilayah-wilayah yang paling dipengaruhi oleh pelbagai gejala yang terkait dengan pemanasan bumi, sementara penghidupan mereka sangat tergantung pada cadangan alam dan jasa ekosistem seperti pertanian, perikanan, dan kehutanan. Mereka tidak memiliki kegiatan keuangan atau sumber daya lain yang memungkinkan mereka untuk beradaptasi dengan perubahan iklim atau menghadapi bencana alam, dan akses mereka ke pelayanan dan perlindungan sosial sangat terbatas. Misalnya, hewan dan tumbuhan yang tidak bisa beradaptasi dengan perubahan iklim, akan terdorong untuk bermigrasi; hal ini pada gilirannya mempengaruhi kehidupan orang miskin, yang kemudian terpaksa meninggalkan rumah mereka, dengan ketidakpastian yang besar untuk masa depan mereka dan anak-anak mereka. Telah terjadi peningkatan tragis pada jumlah migran yang berusaha melarikan diri dari kemiskinan yang makin parah, akibat kerusakan lingkungan. Mereka tidak diakui sebagai pengungsi oleh konvensi internasional; mereka menanggung kerugian penghidupan yang mereka tinggalkan, tanpa menikmati perlindungan hukum apa pun. Sayangnya, ada ketidakpedulian global terhadap tragedi yang saat ini terjadi di berbagai belahan dunia. Kurangnya tanggapan terhadap tragedi yang dialami saudara-saudari kita menunjukkan hilangnya rasa tanggung jawab untuk sesama kita, yang menjadi landasan setiap masyarakat sipil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun