Di Gunungkidul, Yogyakarta, para petani memiliki cara unik untuk menyambut musim hujan yang dikenal sebagai tradisi Ngawu-awu. Tradisi ini dilakukan bukan hanya sebagai persiapan fisik menghadapi musim tanam, namun juga sebagai simbol harapan akan panen yang melimpah. Di tengah kondisi tanah kering yang disebabkan oleh musim kemarau panjang, Ngawu-awu menjadi langkah awal dalam memulai siklus pertanian baru.
Apa Itu Tradisi Ngawu-awu?
Ngawu-awu adalah kegiatan menaburkan benih padi di atas tanah kering yang telah diolah sebelumnya. Proses pengolahan tanah ini dilakukan dengan cara membalik-balik tanah, memecahkan retakan akibat kekeringan, dan menghaluskannya agar benih dapat beradaptasi lebih baik. Harapannya, ketika hujan pertama turun, benih yang sudah tersebar akan berkecambah dan berkembang dengan cepat sehingga bisa memberikan hasil panen optimal.
Mengapa Disebut Ngawu-awu?
Secara etimologis, kata ngawu dalam bahasa Jawa dapat diterjemahkan sebagai "menabur" atau "menyebarkan". Meski asal usul tepat nama ini belum diketahui secara pasti, istilah Ngawu-awu secara langsung menggambarkan esensi kegiatan ini---menabur benih sebelum datangnya musim hujan. Bagi petani Gunungkidul, Ngawu-awu adalah bentuk keyakinan dan kesiapan mereka dalam menyambut musim hujan dengan penuh harapan.
 Tahapan Pelaksanaan Ngawu-awu
1. Pengolahan Tanah
  Sebelum benih ditaburkan, petani mengolah tanah terlebih dahulu dengan membalik dan menghaluskan permukaannya. Ini penting agar tanah siap menyerap air hujan dan benih dapat tumbuh di lingkungan yang optimal.
2. Pemilihan Benih yang Tepat
  Pemilihan benih padi yang baik dan tahan cuaca menjadi langkah penting dalam Ngawu-awu. Petani biasanya memilih varietas lokal yang sudah terbukti tumbuh baik di kondisi tanah Gunungkidul.