Mohon tunggu...
Thomas Aeron Hans Gunawan
Thomas Aeron Hans Gunawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Agroteknologi - Fakultas Pertanian dan Bisnis UKSW

Pemula dalam menulis, terus menggali

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tradisi Ngawu-awu: Menabur Benih di Atas Tanah Kering dan Kaitannya Dengan Pertanian Berkelanjutan

30 Oktober 2024   02:52 Diperbarui: 30 Oktober 2024   02:59 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Gunungkidul, Yogyakarta, para petani memiliki cara unik untuk menyambut musim hujan yang dikenal sebagai tradisi Ngawu-awu. Tradisi ini dilakukan bukan hanya sebagai persiapan fisik menghadapi musim tanam, namun juga sebagai simbol harapan akan panen yang melimpah. Di tengah kondisi tanah kering yang disebabkan oleh musim kemarau panjang, Ngawu-awu menjadi langkah awal dalam memulai siklus pertanian baru.

Apa Itu Tradisi Ngawu-awu?

Ngawu-awu adalah kegiatan menaburkan benih padi di atas tanah kering yang telah diolah sebelumnya. Proses pengolahan tanah ini dilakukan dengan cara membalik-balik tanah, memecahkan retakan akibat kekeringan, dan menghaluskannya agar benih dapat beradaptasi lebih baik. Harapannya, ketika hujan pertama turun, benih yang sudah tersebar akan berkecambah dan berkembang dengan cepat sehingga bisa memberikan hasil panen optimal.

Mengapa Disebut Ngawu-awu?

Secara etimologis, kata ngawu dalam bahasa Jawa dapat diterjemahkan sebagai "menabur" atau "menyebarkan". Meski asal usul tepat nama ini belum diketahui secara pasti, istilah Ngawu-awu secara langsung menggambarkan esensi kegiatan ini---menabur benih sebelum datangnya musim hujan. Bagi petani Gunungkidul, Ngawu-awu adalah bentuk keyakinan dan kesiapan mereka dalam menyambut musim hujan dengan penuh harapan.

 Tahapan Pelaksanaan Ngawu-awu

1. Pengolahan Tanah

   Sebelum benih ditaburkan, petani mengolah tanah terlebih dahulu dengan membalik dan menghaluskan permukaannya. Ini penting agar tanah siap menyerap air hujan dan benih dapat tumbuh di lingkungan yang optimal.

2. Pemilihan Benih yang Tepat

   Pemilihan benih padi yang baik dan tahan cuaca menjadi langkah penting dalam Ngawu-awu. Petani biasanya memilih varietas lokal yang sudah terbukti tumbuh baik di kondisi tanah Gunungkidul.

3. Menabur Benih

   Setelah tanah siap, benih-benih padi ditaburkan di atas tanah. Proses ini dilakukan secara serentak oleh para petani, terkadang disertai doa dan harapan agar musim hujan membawa kesejahteraan dan panen berlimpah.

4. Pengawasan Awal

   Sebelum hujan turun, petani menjaga area tanam agar tetap bersih dari gulma. Begitu hujan datang, tanah yang telah disiapkan mulai menyerap air, dan benih pun akan segera berkecambah.

5. Perawatan Setelah Hujan

   Setelah hujan turun, para petani mengamati pertumbuhan bibit dan memastikan semua tumbuh dengan baik. Ini adalah tahap lanjutan untuk menjaga agar lahan tetap terjaga hingga masa panen.

Ngawu-awu dalam Pilar Pertanian Berkelanjutan

Sebagai bagian dari kearifan lokal, Ngawu-awu berperan penting dalam mendukung konsep pertanian berkelanjutan yang berlandaskan tiga pilar utama: lingkungan, ekonomi, dan sosial-budaya.

- Lingkungan

  Dengan menabur benih sebelum musim hujan tiba, Ngawu-awu memanfaatkan air hujan sebagai sumber pengairan alami. Praktik ini mengurangi ketergantungan pada irigasi buatan, menjaga keseimbangan alam, dan mempertahankan kesuburan tanah secara alami.

- Ekonomi

  Tradisi ini mendukung produktivitas pertanian yang lebih efisien dengan cara yang sederhana namun efektif. Dengan tanaman yang tumbuh lebih awal, petani di Gunungkidul dapat mengurangi risiko gagal panen akibat keterlambatan hujan, sehingga hasil panen yang optimal dapat tercapai dengan biaya produksi yang relatif rendah.

- Sosial-Budaya

  Ngawu-awu bukan hanya kegiatan individu, melainkan dilaksanakan secara bersama-sama oleh komunitas petani. Aktivitas ini mempererat ikatan sosial dan semangat gotong royong, serta melestarikan nilai budaya setempat yang diwariskan turun-temurun.

Di tengah perkembangan zaman, Ngawu-awu menghadapi tantangan dari modernisasi pertanian dan perubahan iklim yang tidak terduga. Namun, masyarakat Gunungkidul terus menjaga agar tradisi ini tetap hidup, mengadaptasinya dengan inovasi sederhana yang tidak mengubah esensi utama. Tradisi Ngawu-awu adalah bukti bahwa teknologi tradisional masih sangat relevan dalam membangun ketahanan pangan sekaligus melestarikan kearifan lokal yang kaya makna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun