Dengan sabar, mungkin dia tahu keterbatasan bahasa Inggris saya dengan idiolek Javanese English --nya, si guru itu menjelaskan maksud semuanya itu. Pada pada awal tahun ajaran sekolah, anak-anak telah diberikan modal dengan uang sebesar $100.Â
Semua mendapat modal "kebaikan" yang sama. Dalam perjalanannya, tiap kali membuat kesalahan, modal itu akan berkurang. Tentu jumlah $100 itu bukan uang dalam arti sesungguhnya atau angka simbolik semata.
Uang itu adalah simbol harga diri (yang mereka sebut sebagai modal kebaikan) yang akan mereka pertahankan. Siapapun melanggar aturan paling sedikit, berarti jumlah modal kebaikannya tidak banyak hilang, dan dia mendapat hak untuk memperoleh hadiah atau apreasiasi dari guru (sekolah) di akhir tahun.Â
Kebiasaan artifisial
Bagi saya, cara penanaman nilai dan pembiasaan yang dilakukan oleh sekolah agar siswa bertanggung jawab terhadap aturan main ala modal $ 100 adalah sesuatu yang menarik.
Harus diakui, acapkali sekolah gamang atau gagal melakukan pembiasaan "aturan main" kepada para murid. Mengapa sekolah?Â
Sekolah adalah rumah kedua seorang anak yang menghabiskan separuh waktu keseharian hidupnya. Itu artinya, waktu di sekolah demikian berharga dan bukan kesempatan yang dibuang percuma.Â
Maka, menghabiskan waktu yang berharga itu hanya demi kegiatan yang artifisial adalah tidak patut dan hanya membuang kesempatan berharga di dalam hidup mereka.
Sayangnya, tidak jarang aturan main di sekolah menjadi "bagai panggang jauh dari api." Aturan main sekolah diredusir menjadi tata tertib sekolah. Dan, bukan kesempatan membangun kultur bagaimana hidup bersama di masyarakat. Anak-anak melakukan tata tertib hanya demi tata tertib itu sendiri.
Mereka berperilaku "tertib" hanya agar tidak mendapat hukuman semata. Anehnya pihak sekolah merasa berhasil mendidik mereka dengan cara itu. Â Alhasil, gurupun senang karena seolah tidak ada masalah dengan para muridnya.
Namun ada yang terlupa, anak-anak tidak dituntun dan diajak berproses melihat lebih dalam, merefleksikan, dan memilikinya. Tata tertib dibiarkan menjadi instrumen di luar diri mereka, bukan menjadi miliknya. Puaskah kita manakala para nilai-nilai itu berhenti menjadi milik "sekolah" saja (guru, kepala sekolah, pengurus yayasan?).
Tema dan nilai yang tersirat dalam "aturan main" atau "tata tertib" sekolah tidak diolah menjadi bahan bacaan, bahan diskusi atau referensi yang hidup di kelas. Anak mengolahnya dengan tesis dan anti tesis. Berdialektika, saling mengritisi agar bisa menemukan apa sesungguhnya yang bernilai dari itu semua.Â