Tentu saja bukan berarti dunia kerja mendewakan “karakter” daripada “kemampuan”, karena bagi dunia kerja lebih mudah diajarkan/ dilatih sementara soal karakter sifatnya lebih mendalam.
Aktualisasi sifat dan karakter semacam itu tidak akan terbentuk begitu saja saat mereka memasuki dunia kerja tanpa melalui proses pembiasaan secara kontinyu dalam jenjang pendidikan di sekolah. Maka sekolah yang lebih terbuka dalam pengembangan “sifat dan karakter” demikian itu lebih diminati pendidikan lanjut, dunia kerja, dan masyarakat luas dibandingkan dengan yang tidak memilikinya.
Membangun keunikan
Sekolah swasta mau tidak mau dituntut realistis sekaligus menyadari bahwa stakeholders “fanatik” mereka mungkin telah bergeser. Asumsi tingkat satuan pendidikan di bawahnya akan menjadi feeder jenjang pendidikan berikutnya tidak sepenuhnya berlaku.
Tantangan dan ancaman pendidikan swasta harus kontekstual dengan perkembangan jaman dan era tanpa sekat (globalisasi) yang memborbardir praktik persekolahan mana pun dengan tuntutan, tegangan, dan ambiguitasnya.
Lalu hal strategik apa yang bisa dilakukan dalam konteks itu untuk memperkuat eksistensi sekolah swasta? Ada beberapa fokus perhatian yang bisa dipilih.
Pertama, menggeser paradigma kompetisi menjadi kolaborasi. Sekalipun kompetisi/persaingan akan memotivasi berbagai pihak untuk menjadi lebih baik, namun semangatnya selalu ingin mengalahkan pihak lain.
Dalam kontek penurunan jumlah pendaftar (student enrollment) misalnya, masing-masing sekolah swasta hanya akan berlomba menentukan waktu penerimaan siswa lebih awal agar bisa mendapat jumlah pendaftar lebih banyak. Sebaliknya, semangat kolaborasi dikedepankan maka para pimpinan sekolah swasta akan berpikir sebuah asosiasi bersama untuk menjembatani hal itu.
Kedua, mengekplorasi keunikan masing-masing sekolah. Alangkah indah, kalau setiap sekolah justru mulai menggali keunikan dan kekhasannya yang sangat dimungkinkan hal itu akan berbeda untuk setiap sekolah. Misalnya, sekolah A unggul dalam tradisi akademiknya (riset/ karya tulis) karena intake siswanya tinggi, sedangkan sekolah B justru unggul dalam tradisi humaniora (kelompok teater, film, atau linguistiknya), sementara sekolah C memiliki kelompok social (live in/ praktek sosial)/ kepemimpinan (kaderisasi, pelatihan organisasi) yang kuat.
Ketiga, menjual keunikan program-program sebagai keunggulan sekolah. Setiap keunikan yang diolah secara sungguh-sungguh dengan mempertimbangkan misi-visi, sumber daya, dan stakeholders secara tepat akan menjadi keunggulan dan kekuatan sehingga menjadi daya jual sekolah itu pada masyarakat.
Dalam konteks itu, maka persaingan antar sekolah swasta dengan mencuri “waktu” terlebih dulu saat penerimaan siswa baru menjadi tidak relevan lagi sebab sekolah-sekolah itu menawarkan value yang berbeda-beda kepada masyarakat.