Mohon tunggu...
thomas wibowo
thomas wibowo Mohon Tunggu... Guru - pedagog

praktisi pendidikan di kolese kanisius jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Guru yang Susah Berubah atau Pendekatannya yang Diubah?

21 Juli 2015   23:01 Diperbarui: 21 Juli 2015   23:01 2097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam tata sosial masyarakat kita saat ini tak bisa dipungkiri peran para guru menjadi sangat signifikan. Tak heran jika atribut pendidik generasi masa depan bangsa dan agen perubahan di masyarakat disandangnya.

Sayangnya pada saat yang sama para guru juga dianggap pihak yang paling “susah” berubah dalam setiap reformasi kurikulum di negeri ini. Pada titik tertentu ada benarnya, namun pada sisi lain harus diakui program yang sifat melulu on the spot, one shoot deal tidak pernah mengubah cara pikir, perilaku dan keterampilan yang dimiliki guru sebagai mana diharapkan banyak pihak.

Pendekatan pengajaran yang bersifat pedagogis (pedagogy) lebih dominan daripada pola pembelajaran andragogis (andragogy). Pendekatan pedagogis lebih ditujukan bagi anak-anak dan remaja sementara pendekatan andragogis lebih memandang subyek belajar adalah para pembelajar dewasa (adult learners). Dan para guru tentu saja para pembelajar dewasa.

Sebagai pembelajar dewasa, mereka memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan siswa (yang masih anak atau remaja). Pengalaman, “perasaan” menjadi senior, nilai-nilai, keyakinan, dan pandangan yang dimiliki adalah serangkaian alasan yang lebih dari cukup agar mereka diberlakukan secara berbeda dalam metode/ strategi pengembangan profesionalitasnya.

Knowles, M. S (2005), mengidentifikasi beberapa karakter dasar pembelajar dewasa dan bagaimana mesti berelasi dengan mereka. Karakter itu antara lain pertama, autonomous dan self-directed.

Para guru perlu diberikan kebebasan untuk menentukan apa yang akan mereka pilih dan lakukan. Maka peran instruktur bagi mereka sungguh sebatas fasilitator dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi mereka terlibat dalam proses belajar dengan mengakomodasi minat, pandangan, dan ketertarikan atas suatu topik atau permasalahan tertentu. Dengan begitu, cara-cara yang sekedar mendikte dan mengarahkan pada tujuan yang lepas dari konteks mereka secepatnya perlu dihindari.

Kedua, senantiasa mengaitkan pengetahuan (knowledge)  dengan pengalaman hidup (life experiences) mereka. Sebagaimana profesi lain, setiap individu seorang guru juga dipengaruhi pekerjaan masa lalunya, keluarga, pendidikan dan lainnya. Itu artinya setiap aktivitas belajar dan proses pengolahan pengetahuan sebaiknya dikaitkan atau dihubungkan dengan pengalaman yang mereka temukan dan alami dalam hidup mereka sehari-hari.

Ketiga, berorientasi pada goal/ tujuan. Para pembelajar dewasa perlu menjadi jelas terlebih dahulu di awal program perihal gambaran dan urain tentang tujuan perubahan, bukti perubahan, dan strategi pencapaian yang diharapkan. Tanpa semua itu, mereka tidak akan berpartisipasi secara penuh baik dalam program maupun saat mengimplementasikan program itu sendiri.

Keempat, pembelajar dewasa bersifat relevancy-oriented. Mereka selalu mempertanyakan alasan (apa, mengapa, bagaimana) atas segala sesuatu yang dipelajarinya, tidak terkecuali pertanyaan sejauhmana kaitan atau relevansi yang dipelajari itu dengan persoalan dalam bidang pekerjaannya. Tatkala pengetahuan dan keterampilan yang diterima sungguh menjawab persoalan yang dihadapi, maka antusiasme dan motivasi yang berkobar-kobar akan muncul, jika hal itu tidak terjadi, sikap menarik dirilah yang akan muncul. Untuk mengantisipasi semua itu, instruktur perlu melakukan survey sebelum melibatkan mereka dalam pelatihan atau program pengembangan.

Kelima, bersifat praktis (practical). Pembelajar dewasa lebih tertarik dengan hal atau informasi yang sifatnya praktis dan membantu memecahkan masalah dalam pekerjaan mereka. Sebaliknya, sekiranya hal-hal informasi, pengetahuan, atau sesuatu yang sifatnya konseptual instruktur perlu secara eksplisit menunjukkan keterkaitan dengan pekerjaan mereka.

Dan terakhir perlu menunjukkan sikap hormat (respect) kepada mereka. Instruktur perlu mengedepankan dan membawa setiap pengalaman mereka ke dalam kelas. Kepadanya perlu diperlakukan “sama” atas pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki, dan secara bebas terbuka diberikan kesempatan pula untuk menyampaikan pandangan pribadinya. Instruktur pelatihan yang secara tulus menunjukkan rasa hormat dan apresiasi yang mendalam atas kiprah, proses, dan apa yang telah mereka miliki selama ini merupakan suatu yang penting dan bermakna.

Menyentuh aspek-aspek kemanusiaan mereka acapkali akan menjadi cara yang jauh lebih efektif bagi instruktur untuk mendorong dan membawa perubahan pada diri mereka daripada yang sifatnya instruktif dan direktif semata.

Apakah “kegagalan” pemerintah meyakinkan para guru Indonesia dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013 juga karena para nara sumber abai soal pendekatan andragogis ini terhadap para guru tentu bukan kapasitas saya menjawabnya.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun