Mengapa Program Pengembangan Guru Sering Gagal?
Perhelatan ujian nasional (UN) 2010 memang telah berakhir. Hasil kelulusan pun juga telah diumumkan pemerintah. Sebagian sekolah meluluskan 100 % dalam kompetisi UN, ratusan sekolah lain menyandang predikat kelulusan 0 % alias tidak ada siswa yang lulus ujian di sekolah itu. Setidaknya tercatat 267 SMA/MA/SMK (51 sekolah negeri dan 216 sekolah swasta) 100% siswanya gagal mencapai standar minimal lulus UN 2010 (Kompas, 28/4/2010).
Apakah kegagalan siswa dalam ajang ujian nasional hanya melulu tanggungjawab siswa. Bagaimana tanggung jawab sekolah, orang tua, guru, pemerintah, lembaga keguruan, dan infrastruktur lain?
Data rendahnya prestasi hasil belajar siswa tahun ini, selain menjadi mimpi buruk bagi siswa yang tidak lulus juga selayaknya menjadi instrumen otokritik bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) sekolah serta pihak manapun yang peduli atas usaha peningkatan mutu dan profesionalitas guru. Artikel ini secara khusus akan melihat lebih jauh betapa “kegagalan” telah diawali dengan kegagalan menyiapkan tenaga guru itu sendiri.
Tiga hal mendasar yang perlu disadari dan dicermati untuk memahami masalah di atas adalah sejauhmana guru telah memenuhi standar profesionalitas keguruannya? Sejauhmana efektivitas program pengembangan guru selama ini? Apa yang perlu dipertimbangkan untuk memperbaiki itu?
Standar yang terabaikan
Menuntut siswa memiliki standar kelulusan tertentu tanpa menengok lebih dalam standar kompetensi guru rasanya menjadi tidak fair. Adakah standar untuk itu? Sejauh mana standar profesionalitas guru dalam praktiknya? Pemerintah, melalui menteri pendidikan, mengeluarkan standar akademik dan kompetensi guru. Standar (Permen 16/ 2007 atau Permen 32/2008) itu terkait aspek pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional . Harapannya standar ini dipahami dan menjadi acuan segenap guru dalam pengembangan diri mereka. Dengan memperhatikan ini, para guru akan terbantu dalam memilih dan menentukan jenis serta model pengembangan profesionalitas yang sesuai sekaligus menjawab kebutuhan dan konteks masalah masing-masing.
Faktor di lapangan justru menunjukkan amat jarang sekolah menggunakan instrumen itu dalam pembicaraan dan pertimbangan tatkala menentukan program pengembangan yang mesti dijalani guru (PPG) sesuai dengan konteks dan permasalahan sekolah serta guru itu sendiri. Padahal, dengan memahami standar guru akan memahami bagian mana yang mesti diperbaiki, tujuan yang mesti dicapai, jenis dan ragam pendampingan yang mereka perlukan, serta lingkungan sosial (social environment) yang diperlukan segenap guru agar proses implementasi standar tersebut berjalan secara optimal.
Celakanya yang terjadi justru sebaliknya? Begitu banyak guru mengetahui dan memiliki rumusan standar yang dimaksud namun jarang dibacanya serta lebih suka menyimpan di rak meja kerjanya. Itulah mengapa standar yang “tinggi” sekali pun tidak akan efektif bermanfaat selagi tidak diimbangi dengan komitmen mengimplementasikan secara sungguh-sungguh.
Rendahnya angka uji kompetensi para guru bidang studi secara nasional juga merefleksikan betapa sebagian besar guru masih bergulat dan kesulitan memenuhi standar ini. Tatkala begitu banyak guru dalam situasi itu, masih relevankah menerapkan standar yang kurang lebih sama kepada para siswa?
Bagaimana dengan program Sertifikasi Guru? Tujuan program ini sangat mulia yakni: (a) menentukan kelayakan guru dalam mengajar, (b) meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, (c) meningkatkan martabat guru, dan (d) meningkatkan profesionalitas guru. Apa yang terjadi di lapangan menunjukkan anomali yang berbeda. Keterlibatan guru dalam program ini bukan lantaran mau meningkatkan standar kualitas dan profesionalitasnya, sebaliknya hanya untuk “mengejar” tunjangan sertifikat atau bertambahnya jumlah rupiah setiap bulannya yang seolah dirasakan merupakan haknya.
Maka tidaklah mengherankan jika akhirnya praktek ketidakjujuran dan manipulasi yang marak muncul terjadi, misalnya: tidak jelasnya kuota atau perbandingan jumlah guru negeri/ swasta, banyaknya peredaran sertifikat “aspal”, bahkan jual beli “kursi” atau kesempatan mengikuti program sertifikasi dengan memberikan sejumlah uang tertentu.
Wajah pengembangan guru
Pengalaman terlibat dalam program pengembangan guru yang “buruk” banyak dialami para guru. Pengalaman “buruk” terjadi manakala mereka berinteraksi dengan pelatihan yang tidak sesuai kebutuhan, kualitas workshop yang tidak standardized, materi seminar yang tidak relevan, lokakarya yang tidak menjawab permasalahan pembelajaran dan tepat sasaran, waktu pelaksanaan yang tidak tepat, dan program pengembangan guru yang sifatnya one shot deal (sekali jadi) semata.
Sekelompok guru lain cenderung melihatnya lebih bersifat formal daripada yang esensial. Keikutsertaan dalam pelatihan menjadi “keharusan” karena identik dengan jumlah sertifikat yang bertambah, bertambahnya “cum” atau naiknya angka kredit. Itu artinya modal yang baik untuk mengikuti sertifikasi guru. Sertifikat adalah tujuannya sementara pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman itu soal yang lain.
Sebagian guru menyebut pelatihan atau kursus yang terjadi lebih content oriented dan tidak fokus pada hal esensial yang diperlukan guru dalam mengembangkan pembelajaran. Sebuah studi oleh Rockefeller Foundation (2002) di Amerika menunjukkan, bahwa para guru merasakan efektifnya program pengembangan guru manakala dilakukan dalam kesatuan dengan program sekolah, tidak sporadis semata, dan sejalan dengan kebutuhan, minat, dan fokus kepada materi tertentu.
“Materi kursus tidak praktis dan situasi tidak memungkinkan kami menerapkannya di kelas”, “tujuan kursus tidak jelas” adalah beberapa komentar yang mengekspresikan kegagalan peserta pelatihan mengimplementasikan program. Banyak guru kehilangan kemampuan menerapkan pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skills) yang diperolehnya dalam pembelajaran di kelas karena mereka tidak mendapatkan peluang dan dukungan sosial yang memadai untuk itu.
Mereka tidak mendapatkan kesempatan yang memungkinkannya menyosialisasikan, membagikan, dan mempertajam lebih jauh pengalamannya itu bersama dengan rekan guru di sekolahnya (in house training). Padahal, melalui kesempatan semacam itu sesungguhnya mereka sendiri juga mengalami proses internalisasi dan reaktualisasi pengalaman dari seorang pembelajar dewasa (adult learners). Lebih dari itu, melalui interaksi dalam berbagai kesempatan semacam itu para guru yang telah mengalami PPG akan semakin dimotivasi, diteguhkan, dan dipertajam atas segala informasi, pemahaman, dan keterampilan yang diterima sebelumnya.
Guru Siswa
Dalam tulisannya berjudul “teachers are students, too”, Judi Buenaflor (2009) menyebutkan bahwa sesungguhnya para guru memiliki kemiripan dengan para siswa dalam mengolah informasi yakni dengan mempelajari, melakukan, dan membuat refleksi. Setiap proses akusisi informasi baru itu senantiasa dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya (previous experience), pengetahuan awal (prior knowledge), dan tentu saja keyakinan (belief) yang ada saat ini.
Linn (2006) menambahkan tiga strategi dalam menjalankan program pengembangan guru meliputi sikap inkuiri (inquiry), aspek refleksi (reflection), dan kesediaan berbagi (sharing).
Bagi guru, belajar adalah proses yang berlangsung secara terus-menerus dan sifatnya berulang. Bagi Linn, proses belajar seorang guru bersifat rekursif, di mana sikap dan kesediaan terus bertanya serta membuka diri amat melekat pada dirinya. Ia juga mengandaikan terjadinya proses refleksi atas setiap aksi dan tindakan sang guru yang dilakukan, dengan terus memunculkan pertanyaan untuk setiap aksi dan pengalaman yang terjadi. Dan semua itu akan bermakna apabila ditindaklanjuti dengan kesediaan berbagi dan berdialog dengan sesama rekan sendiri.
Sekali pun demikian setiap guru adalah unik. Para guru memiliki kebutuhan, keprihatinan, concerns, dan kontek masalah yang beragam. Itu artinya sebuah model PPG yang diberlakukan untuk semua guru (one-size fits all) dalam satu sekolah atau ruang lingkup yang lebih besar tidak relevan. Sebagaimana guru harus mengakomodasi perbedaan cara belajar atau tingkat kecerdasan siswa yang diajarnya, guru pun sebaiknya didampingi dengan cara, model, rentang waktu, dan target yang berbeda agar mereka dapat secara aktif terlibat serta sedia berbagi pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Dan yang terpenting adalah bahwa para guru adalah pembelajar dewasa (adult learners). Sebagai pembelajar dewasa, mereka memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan siswa (yang masih anak atau remaja). Pengalaman, “perasaan” menjadi senior, nilai-nilai, keyakinan, dan pandangan yang dimiliki adalah serangkaian alasan yang lebih dari cukup agar mereka diberlakukan secara berbeda dalam metode/ strategi pengembangan profesionalitasnya.
Knowles, M. S (2005) mengidentifikasi beberapa karakter dasar pembelajar dewasa dan bagaimana mesti berelasi dengan mereka. Karakter itu antara lain pertama,autonomous dan self-directed. Mereka perlu diberikan kebebasan untuk menentukan apa yang akan mereka pilih dan lakukan. Maka peran instruktur bagi mereka sungguh sebatas fasilitator dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi mereka terlibat dalam proses belajar dengan mengakomodasi minat, pandangan, dan ketertarikan atas suatu topik atau permasalahan tertentu. Dengan begitu, cara-cara yang sekedar mendikte dan mengarahkan pada tujuan yang lepas dari konteks mereka secepatnya perlu dihindari.
Kedua, senantiasa mengaitkan pengetahuan (knowledge) dengan pengalaman hidup (life experiences) mereka. Sebagaimana profesi lain, setiap individu seorang guru juga dipengaruhi pekerjaan masa lalunya, keluarga, pendidikan dan lainnya. Itu artinya setiap aktivitas belajar dan proses pengolahan pengetahuan sebaiknya dikaitkan atau dihubungkan dengan pengalaman yang mereka temukan dan alami dalam hidup mereka sehari-hari.
Ketiga, berorientasi pada goal/ tujuan. Para pembelajar dewasa perlu menjadi jelas terlebih dahulu di awal program perihal gambaran dan urain tentang tujuan perubahan, bukti perubahan, dan strategi pencapaian yang diharapkan. Tanpa semua itu, mereka tidak akan berpartisipasi secara penuh baik dalam program maupun saat mengimplementasikan program itu sendiri.
Keempat, pembelajar dewasa bersifat relevancy-oriented. Mereka selalu mempertanyakan alasan (apa, mengapa, bagaimana) atas segala sesuatu yang dipelajarinya, tidak terkecuali pertanyaan sejauhmana kaitan atau relevansi yang dipelajari itu dengan persoalan dalam bidang pekerjaannya. Tatkala pengetahuan dan keterampilan yang diterima sungguh menjawab persoalan yang dihadapi, maka antusiasme dan motivasi yang berkobar-kobar akan muncul, jika hal itu tidak terjadi, sikap menarik dirilah yang akan muncul. Untuk mengantisipasi semua itu, instruktur perlu melakukan survey sebelum melibatkan mereka dalam pelatihan atau program pengembangan.
Kelima, bersifat praktis (practical). Pembelajar dewasa lebih tertarik dengan hal atau informasi yang sifatnya praktis dan membantu memecahkan masalah dalam pekerjaan mereka. Sebaliknya, sekiranya hal-hal informasi, pengetahuan, atau sesuatu yang sifatnya konseptual instruktur perlu secara eksplisit menunjukkan keterkaitan dengan pekerjaan mereka.
Dan terakhir perlunya menunjukkan sikap hormat (respect) kepada mereka. Instruktur perlu mengedepankan dan membawa setiap pengalaman mereka ke dalam kelas. Kepadanya perlu diperlakukan “sama”atas pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki, dan secara bebas terbuka diberikan kesempatan pula untuk menyampaikan pandangan pribadinya. Instruktur pelatihan yang secara tulus menunjukkan rasa hormat dan apresiasi yang mendalam atas kiprah, proses, dan apa yang telah mereka miliki selama ini merupakan suatu yang penting dan bermakna.
Menyentuh aspek-aspek kemanusiaan mereka acapkali akan menjadi cara yang jauh lebih efektif bagi instruktur untuk mendorong dan membawa perubahan pada diri mereka daripada yang sifatnya instruktif dan direktif semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H