Kontroversi UN belum akan segera berhenti. UN sebagai ajang ujian kejujuran, sebagaimana dicanangkan Mendiknas tahun lalu rupannya masih sebuah utopia. Kejadian ditangkapnya 16 kepala sekolah, sejumlah guru, dan pejabat Dinas Pendidikan Bengkulu Selatan yang terlibat dalam pencurian dan pembocoran soal UN seolah semakin melengkapi berbagai tindak kecurangan dan penyimpangan pelaksanaan UN yang terjadi selama ini (Kompas, 25 April 2009).
Peristiwa itu tentu menjadi "awan kelabu" praktek persekolahan negeri ini. Sekaligus juga mencederai siapa saja yang menaruh harapan kepada sekolah agar mampu menjadi pusat pendidikan karakter dan faktor yang menentukan kualitas hidup siswa serta masa depan masyarakat. Harapan itu mudah dipahami tatkala kaum muda mulai "kelelahan" menemukan figur atau sosok pejabat publik berkarakter, atau bahkan juga dari mereka yang mengklaim sebagai kelompok agamawan.
Sekolah merupakan satu-satunya institusi sosial yang secara khusus dan terorganisir bertanggungjawab mengembangkan anak didik memiliki pengetahuan dan ketrampilan tidak hanya terkait kebenaran, namun juga keindahan serta keadilan. Lickona (1991), dalam bukunya Educating for character: How our school can teach respect and responsibility, mengingatkan pentingnya sekolah dan guru menempatkan karakter sebagai pilar utama dalam pendidikan khususnya melalui pengajaran sikap hormat dan tanggungjawab.
Bagi Lickona, karakter merupakan sebuah gambaran universal seseorang yang memiliki keberanian dan keyakinan untuk hidup dalam keutamaan moral. Seseorang yang berkarakter akan mempunyai kebijaksanaan untuk melakukan diskresi apakah suatu hal itu "benar" atau "keliru", ia jujur, dapat dipercaya, penuh rasa hormat, dan bertanggungjawab, ia akan mengakui dan mau belajar dari kesalahan, serta memiliki komitmen untuk hidup seturut prinsip moral yang benar.
Proses pembentukan karakter tidak terjadi di kejauhan sana, namun berjalan seiring dengan proses pembelajaran di sekolah. Orang tua dan masyarakat pada umumnya sungguh merindukan para guru akan mengajarkan karakter dan keutamaan hidup bagi orang muda yang akan membantu mempertajam dan membentuk mereka menjadi pribadi tangguh yang dapat memberikan kontribusi kepada masyarakatnya. Seorang siswa akan "belajar" dari gurunya mulai hal "baik" sampai yang "terburuk".
Bukankah masih terekam jelas dalam ingatan bagaimana seorang siswa akan mengenang penuh haru ketika ia megalami "kebaikan" dan rasa "dicintai" oleh guru ketika dia masih bersekolah. Sebaliknya, ia akan mengalami luka batin yang tak mudah disembuhkan atas pengalaman "dilecehkan" atau "ketidakadilan" yang diterima semasa kecil.
Guru Sebagai "Role Model"
Pengalaman itu menguatkan dalil bahwa guru sejatinya adalah "model" ideal bagi siswa. Pembentukan karakter pada diri siswa sesungguhnya berlangsung bukan saja melalui setiap kata yang keluar dari mulut si guru, namun justru tumbuh melalui proses interaksi bagaimana mereka diperlakukan dan diajar oleh sang guru di kelas.
Itulah mengapa, seorang guru perlu memahami bagaimana para siswa melakukan proses internalisasi nilai-nilai moral dalam diri mereka. Lumpkin (2003), menjelaskan proses itu dalam tiga fase, yakni mengetahui (moral knowing), menilai (moral valuing), dan menjalankan aksi (moral acting).
Pada fase "mengetahui" siswa belajar mengenal dan memilih berbagai isu moral seperti kejujuran dan tanggung jawab. Setelah itu, ia mulai "menilai" dan menimbang-nimbang apakah mencontek misalnya, sebuah praktek ketidakjujuran dan merugikan orang lain. Berdasarkan dua fase pertama ia akan memutuskan dan menentukan "aksi" bahwa mencontek tidak layak dilakukan seorang siswa karena bertentangan dengan kejujuran, tidak adil, dan merupakan bentuk pengingkaran atas kemampuan diri yang sesungguhnya.
Bagaimana seorang guru menjadi model pengajaran karakter dan keutamaan moral seperti kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan tanggungg jawab di dalam kelas dapat didiskusikan melalui beberapa contoh berikut ini.
Pertama, mempraktekan kejujuran. Kebiasaan kejujuran itu diteladankan dalam beragam bentuk, misalnya sejauhmana ia menilai hasil "pekerjaan" siswanya dengan standar yang jelas, tidak mentolerir kebiasaan siswa mencontek dan tidak melakukannya dalam keseharian, serta menyimpan informasi siswa untuk kepentingan profesionalitas semata. Guru dapat juga memaparkan apa maknanya seorang siswa mengerjakan "PR"-nya sendiri dan tepat waktu mengumpulkannya, ia mengapresiasi hasil pekerjaan siswa yang dikerjakannya secara jujur sekalipun belum sepenuhnya diselesaikan. Jujur juga diartikan guru tidak tergoda memberikan privat tambahan kepada siswa tertentu hanya demi uang tambahan per bulan.
Kedua, mengajarkan kepercayaan. Seorang guru yang jujur akan dipercaya segenap siswanya. Misalnya, guru menunjukan standar atau rubrik yang jelas untuk penilaian hasil kerja siswanya, ia terbuka dan mengapresiasi setiap kesulitan belajar yang dialami siswanya. Ia lebih sering memotivasi dengan mengatakan "Kamu bisa melakukannya", " kamu sekarang lebih maju", daripada berkomentar "pertanyaanmu sama saja seperti kemarin", "cobalah bertanya hal baru". Seberapa sering siswa mendapat dorongan dan pujian guru, dibandingkan celaan dan gerutu? Siswa yang dipercaya gurunya akan merasa aman dan tidak malu maju di depan kelas menjelaskan sesuatu, ia tidak takut akan ditertawakan karena berbuat salah. Dengan dipercaya, siswa tumbuh rasa percayanya diri untuk berkembang lebih jauh.
Ketiga, menularkan perilaku adil. Keadilan lebih dimaknai memberikan sesuatu sesuai kebutuhan siswa. Dalam konteks ini, guru yang mengajar dengan pola yang sama, pendekatan monolog, mengabaikan karakteristik belajar siswa yang beragam justru tidak mengajarkan keadilan. Siswa yang cepat belajar, tidak mesti diperlakukan "sama" dengan yang lambat belajar. Yang lebih penting guru memfasilitasi dengan beragam cara agar keduanya dapat meraih keunggulan sejauh yang bisa mereka capai. Dengan menghormati dan mengakui setiap siswa sebagai pribadi unik sesungguhnya siswa telah merasa diperlakukan secara adil pula.
Keempat, membiasakan sikap hormat. Guru menghargai bahwa setiap siswa, sebagaimana guru juga, memiliki perbedaaan latar belakang etnis, ras, gender, status ekonomi, kemampuan akademik, dan karakteristik individu. Guru tidak menilai watak atau karakter, "baik-buruknya" siswa hanya karena perbedaan warna kulit atau suku misalnya. Guru mengapresiasi setiap ketrampilan dan kemampuan yang ditunjukkan siswa secara obyektif. Ketika ia bersikap hormat, sikap hormat dari siswa akan diterimanya pula.
Kelima, menunjukkan sikap tanggungjawab. Guru bersikap total dalam menjalankan pengajaran dan tugas-tugas harian. Ia tidak pernah terlambat "mengembalikan" pekerjaan siswa, dan tak lupa memberi feedback secara positif bagi perkembangan siswanya. Ia merasa bersalah dan terus mencari cara ketika pengajarannya tidak dipahami dan dimengerti siswa. Ia akan dengan senang hati dan terbuka menerima serta menanggapi setiap keluhan pembelajaran darimanapun datangnya termasuk siswa dan orang tua. Guru ini selalu berpandangan, ia dan siswanya setara, saling belajar dan memperkaya satu sama lain.
Refleksi Guru
Dalam interaksi keseharian seperti itu, perkembangan hati dan karakter siswa dipupuk, diasah, dan ditumbuhkan. Sebaliknya berbagai distorsi dan pelanggaran moral yang terjadi di sekitarnya akan membuatnya merasa bahwa nilai-nilai moral bukanlah sebuah keutamaan yang perlu dihidupi, melainkan hanya sebuah mata pelajaran hafalan yang segera dilupakan setelah masa ujian.
Maka pada titik inilah peran dan kehadiran guru sebagai role model menjadi penting. Guru harus membantu siswa membuat diskresi perilaku yang "benar" dan "salah" secara moral. Juga mampu menanggapi secara rasional dan proporsional tatkala mereka bertanya "Kenapa saya tidak boleh melanggar, banyak orang melakukannya", atau "Situasilah yang mengharuskan saya melakukan ini" juga ketika mereka berkata "Tak ada aturan yang saya langgar". Dengan cara seperti itu internalisasi nilai-nilai moral tidak bersifat dogmatis, namun dipahami seiring dengan daya kritis yang dimiliki para siswa.
Menjadi role model mengisyaratkan sebuah integritas. Integritas dalam arti bahwa secara konsisten ia melakukan apa yang "benar", sekalipun mudah baginya membuat suatu pilihan yang lebih menguntungkan untuk dirinya sendiri. Dalam keterbatasan dan himpitan beragam persoalan hidup, seorang guru senantiasa dituntut menjadi sebuah model dalam pendidikan karakter dan penanaman nilai-nilai moral. Untuk itulah, integritas seorang guru bukan lagi sebuah pilihan melainkan keniscayaan.
Dan akhirnya, hadiah terindah bagi seorang guru bukanlah seberapa besar materi yang diterimanya, melainkan menyaksikan siswanya terus berjuang menjadi pribadi berkarakter, dengan merengkuh erat keutamaan-keutamaan moral dalam hidupnya.
000
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H