Pertama, mempraktekan kejujuran. Kebiasaan kejujuran itu diteladankan dalam beragam bentuk, misalnya sejauhmana ia menilai hasil "pekerjaan" siswanya dengan standar yang jelas, tidak mentolerir kebiasaan siswa mencontek dan tidak melakukannya dalam keseharian, serta menyimpan informasi siswa untuk kepentingan profesionalitas semata. Guru dapat juga memaparkan apa maknanya seorang siswa mengerjakan "PR"-nya sendiri dan tepat waktu mengumpulkannya, ia mengapresiasi hasil pekerjaan siswa yang dikerjakannya secara jujur sekalipun belum sepenuhnya diselesaikan. Jujur juga diartikan guru tidak tergoda memberikan privat tambahan kepada siswa tertentu hanya demi uang tambahan per bulan.
Kedua, mengajarkan kepercayaan. Seorang guru yang jujur akan dipercaya segenap siswanya. Misalnya, guru menunjukan standar atau rubrik yang jelas untuk penilaian hasil kerja siswanya, ia terbuka dan mengapresiasi setiap kesulitan belajar yang dialami siswanya. Ia lebih sering memotivasi dengan mengatakan "Kamu bisa melakukannya", " kamu sekarang lebih maju", daripada berkomentar "pertanyaanmu sama saja seperti kemarin", "cobalah bertanya hal baru". Seberapa sering siswa mendapat dorongan dan pujian guru, dibandingkan celaan dan gerutu? Siswa yang dipercaya gurunya akan merasa aman dan tidak malu maju di depan kelas menjelaskan sesuatu, ia tidak takut akan ditertawakan karena berbuat salah. Dengan dipercaya, siswa tumbuh rasa percayanya diri untuk berkembang lebih jauh.
Ketiga, menularkan perilaku adil. Keadilan lebih dimaknai memberikan sesuatu sesuai kebutuhan siswa. Dalam konteks ini, guru yang mengajar dengan pola yang sama, pendekatan monolog, mengabaikan karakteristik belajar siswa yang beragam justru tidak mengajarkan keadilan. Siswa yang cepat belajar, tidak mesti diperlakukan "sama" dengan yang lambat belajar. Yang lebih penting guru memfasilitasi dengan beragam cara agar keduanya dapat meraih keunggulan sejauh yang bisa mereka capai. Dengan menghormati dan mengakui setiap siswa sebagai pribadi unik sesungguhnya siswa telah merasa diperlakukan secara adil pula.
Keempat, membiasakan sikap hormat. Guru menghargai bahwa setiap siswa, sebagaimana guru juga, memiliki perbedaaan latar belakang etnis, ras, gender, status ekonomi, kemampuan akademik, dan karakteristik individu. Guru tidak menilai watak atau karakter, "baik-buruknya" siswa hanya karena perbedaan warna kulit atau suku misalnya. Guru mengapresiasi setiap ketrampilan dan kemampuan yang ditunjukkan siswa secara obyektif. Ketika ia bersikap hormat, sikap hormat dari siswa akan diterimanya pula.
Kelima, menunjukkan sikap tanggungjawab. Guru bersikap total dalam menjalankan pengajaran dan tugas-tugas harian. Ia tidak pernah terlambat "mengembalikan" pekerjaan siswa, dan tak lupa memberi feedback secara positif bagi perkembangan siswanya. Ia merasa bersalah dan terus mencari cara ketika pengajarannya tidak dipahami dan dimengerti siswa. Ia akan dengan senang hati dan terbuka menerima serta menanggapi setiap keluhan pembelajaran darimanapun datangnya termasuk siswa dan orang tua. Guru ini selalu berpandangan, ia dan siswanya setara, saling belajar dan memperkaya satu sama lain.
Refleksi Guru
Dalam interaksi keseharian seperti itu, perkembangan hati dan karakter siswa dipupuk, diasah, dan ditumbuhkan. Sebaliknya berbagai distorsi dan pelanggaran moral yang terjadi di sekitarnya akan membuatnya merasa bahwa nilai-nilai moral bukanlah sebuah keutamaan yang perlu dihidupi, melainkan hanya sebuah mata pelajaran hafalan yang segera dilupakan setelah masa ujian.
Maka pada titik inilah peran dan kehadiran guru sebagai role model menjadi penting. Guru harus membantu siswa membuat diskresi perilaku yang "benar" dan "salah" secara moral. Juga mampu menanggapi secara rasional dan proporsional tatkala mereka bertanya "Kenapa saya tidak boleh melanggar, banyak orang melakukannya", atau "Situasilah yang mengharuskan saya melakukan ini" juga ketika mereka berkata "Tak ada aturan yang saya langgar". Dengan cara seperti itu internalisasi nilai-nilai moral tidak bersifat dogmatis, namun dipahami seiring dengan daya kritis yang dimiliki para siswa.
Menjadi role model mengisyaratkan sebuah integritas. Integritas dalam arti bahwa secara konsisten ia melakukan apa yang "benar", sekalipun mudah baginya membuat suatu pilihan yang lebih menguntungkan untuk dirinya sendiri. Dalam keterbatasan dan himpitan beragam persoalan hidup, seorang guru senantiasa dituntut menjadi sebuah model dalam pendidikan karakter dan penanaman nilai-nilai moral. Untuk itulah, integritas seorang guru bukan lagi sebuah pilihan melainkan keniscayaan.
Dan akhirnya, hadiah terindah bagi seorang guru bukanlah seberapa besar materi yang diterimanya, melainkan menyaksikan siswanya terus berjuang menjadi pribadi berkarakter, dengan merengkuh erat keutamaan-keutamaan moral dalam hidupnya.
000