Mohon tunggu...
Tholut Hasan
Tholut Hasan Mohon Tunggu... Guru - Maaf

Maaf

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pesantren Sekuler

11 Juni 2019   11:39 Diperbarui: 11 Juni 2019   11:50 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Redupnya gairah dan kesemarakan kajian ilmu Islam, menjadi satu problem dikalangan pelajar Muslim, mungkin akan menjadi masalah yang panjang dan tidak ketemu ujung benangnya. Sekian banyak ilmu yang sudah dipandang sebelah mata, seperti kajian hadis, fikih, tasawuf dan tafsir. Bahkan di kawasan mayoritas Muslim sekalipun. Perbandingannya sangat jauh dengan ilmu teknologi, industri, manajemen dan administrasi.

Hal ini terjadi ketimpangan perhatian yang tidak seimbang terhadap ilmu-ilmu Islam. Bukan berarti tidak ada perhatian sama sekali, tapi hanya berjalan apa adanya, sehingga sulit untuk bisa mencapai inovasi-inovasi yang gemilang.

Jika ini dibiarkan terus-menerus, lama-kelamaan hal-hal yang dasar dalam agama akan terlupakan dan berubah dengan sendirinya. Pasalnya sekarang dunia digenggam barat yang bermadzhab sekular-liberal. Maka setiap agama dipaksa untuk mengikuti madzhab itu. Yang lebih parah lagi, diarahkan pada pesantren, di mana lingkungan yang paling konsisten pada tradisi Islam.

Jika menoleh pada sejarah, sekitar 13 abad silam, umat Islam memiliki semangat berkobar memuncak akan kajian ilmu Islam. Tidak berhenti pada tataran keilmuan dalam negeri semata, namun bisa mencapai pada luar negeri. 

Tidak sebatas itu, mereka mampu mempelajari dan memasukkan nilai-nilai Islam. Kita lihat ulama dulu mengadopsi matematika, kedokteran, filsafat dan administrasi, seperti al-Jabar, Ibnu Khaldun dan al-Ghazali. 

Hebatnya budaya Islam tidak tergeser dan tergantikan oleh budaya asing. Justru mampu mewarnai budaya asing yang begitu gelap dengan cahaya Islam. Maka tidak heran, jika Islam kala itu (Dinasti Abasyiah) mampu menaiki puncak tertinggi dalam tataran sejarah Islam.

Namun perjalanan selanjutnya, Islam menemukan titik beku dan biru. Kebanyakan realita pendidikan pesantren saat ini telah berubah dari sejarah awal di mana pesantren dibangun, yakni sebagai lembaga sosial keagamaan, mengayomi masyarakat, sekaligus penyelesaian masalah yang tidak berkesudahan. Ilmu banyak dimanipulasi, penggelapan dan penyelewengan demi kepentingan kelompok tertentu. 

Ilmu sudah mulai tercemari racun-racun budaya asing. Ilmuan Muslim saat ini tidak dapat mengimbangi ilmu pemikiran barat sebagaimana pernah dilakukan ulama masa lalu. sehingga yang terjadi adalah asing mendominasi keilmuan Islam dewasa ini, dan sudah merambat ke pesantren-pesantren. Itu semua, karena sistem pendidikan modern yang tak mampu diimbangi dengan ilmu-ilmu ulama salaf. Alhasi pesantren kehilangan tradisi salafnya dan ikut terbawa arus sekular-liberal.

Selain itu, yang terjadi pada umat Islam khususnya pesantren saat ini adalah terjangkit penyakit yang sangat parah, yaitu cenderung rendah diri, menutup diri dan nafsu menyerang. 

Dalam kisaran inilah adu jotos intelektualitas, kecerdikan rencana dan ketangkasan pemikiran yang disertai argumen-argumen, merupakan suatu keharusan untuk melawan mereka. 

Sebagaiman yang pernah dilakukan Asy'ari (260-324 H) dalam menanggapi keyakinan Mu'tazilah, al-Ghazali (405-505 H) dalam mematahkan pemikiran filusuf, ar-Razi (544-606 H) dalam berdebat dengan aliran kebatilan, al-Jurjani (474 H) peletak pertama ilmu sastra arab (Balaghah).

Jika umat Islam hanya diam saja tanpa ada perang pemikiran (ghazwul fikr), maka Islam akan semakin terpuruk. Akibatnya, moral umat Islam akan terbawa arus budaya barat, sehingga budaya kebarat-baratan (westernisasi) akan mengendalikan negara Islam, dan akan kehilangan kekuatan besarnya.

Maka, bagi pesantren melakukan keselarasan sistem adalah suatu keniscayaan. Pesantren harus bisa mengimbangi cepatnya arus global Artinya, jika pesantren mengadopsi pemikiran-pemikiran barat, maka itu sah-sah saja, asalkan tidak sampai kehilangan identitas diri tradisi ulama salaf, karena dari era tradisionallah ia berangkat hidup dan bangkit. Jika diberangus, maka jati diri akan hilang.

Wacana di atas, penulis melihat seakan sejarah al-Asy'ari, ar-Razi dan al-Ghazali dalam melawan produk-produk yang berpikir serampangan dan bebas lepas berpikir, telah terulang kembali. Maka, saat ini pesantren tengah diuji kembali akan kemampuannya dalam melawan arus globalisasi. Pesantren ditantang berlaga di pentas internasional yang mana produk luar, mudah sekali masuk ke negeri ini tanpa hambatan.

Dengan demikian, yang dihadapi pesantren adalah meneguhkan dan menghidupkan nilai-nilai Islam salaf yang murni. Jika ini berjalan, maka bukan hanya pesantren yang akan naik daun, juga Islam dengan sendirinya akan mulia sebagaimana masa lalu, sebab pesantren ialah barometer dan tolok ukur nusantara, naik turunnya jelas bergantung pada realitas pesantren.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun