M. Thobroni
Tetapi sebenarnya ada kegundahan lain yang dirasakan Siti Maimunah, perempuan yang sejak tadi seperti tak peduli itu. Memang benar-benar tidak peduli dengan sekitar. Ia lebih sibuk menerawang sejarah hidupnya sendiri. Mengapa ia bisa sampai seperti sekarang ini? Mengingat semua perjalanan hidupnya, ia bahkan seperti tak sanggup lagi untuk membayangkan apa yang akan terjadi di masa depannya. Akan menjadi apakah ia selepas ini? Apakah ia akan terus menjalani kehidupan kelam di ibu kota? Ataukah akan memilih pulang kampung saja? Menikmati hidup apa adanya, dengan segala kemiskinan keluarga dan kampung halaman? Toh ia memang lahir dan besar dari keluarga dan tanah miskin kerontang. Tetapi, ah, betapa berat menjalani hidup serupa itu. Sudah lama ia menjalani hidup sebagai orang miskin, bahkan sangat miskin, di tengah orang-orang miskin dan kampung yang miskin. Kemarin-kemarin ia bahkan terpikir, kehidupan sederhana dan bersahaja hanya ada pada buku-buku pelajaran agama yang pernah dibacanya. Kesabaran dan ketabahan hidup mungkin hanya menjadi bahan pengajaran para ulama dan ustadz, tetapi tak pernah ada dalam kehidupan nyata. Ya, ia barangkali tidak salah mengambil kesimpulan serupa itu. Banyak hal sudah dilihat, dialami dan dirasakannya semenjak memutuskan berani hidup di ibukota.
Apa yang sekarang hendak dilakukannya kini, juga merupakan keputusan paling berani yang pernah dilakukannya. Itupun setelah melakukan renungan panjang, mendapatkan tentangan dari kiri-kanan, juga masukan dari banyak orang. Ia memutuskan untuk berhenti atau menghentikan sejarah hidup yang pernah dilaluinya. Ia ingin memulai jalan hidup baru. Sejarah baru. Karena itulah ia memutuskan berangkat haji. Ia ingin memulai sejarah baru dengan sesuatu yang indah. Ia ingin bersujud kepada-Nya di rumah-Nya yang anggun: ka’bah baitullah. Ia ingin merasakan getar-getar kerinduan kepada-Nya tuntas di tanah suci. Ia ingin merasakan puncak kenikmatan ibadah seperti yang banyak diceritakan orang.
Berangkat haji adalah keputusan sulit. Setidaknya itu berlaku bagi orang sepertinya. Ia tidak seperti mereka yang berangkat haji dengan mudah. Misalnya setelah menjual tanah warisan. Ia juga bukan pejabat yang dengan mudah mendapat fasilitas biaya haji dari kantor, alias haji abidin. Haji atas biaya dinas. Terlebih lagi, ia tak mungkin berangkat haji dari hasil korupsi, sogok mitra kerja, atau mark-up anggaran belanja negara. Ia tak mungkin melakukan itu semua. Karena memang ia bukan pejabat.
Lebih susah lagi adalah jalan hidupnya selama ini. Bukan soal biaya haji. Tapi, apa yang hendak dikatakan orang-orang di bandara ini bila mereka tahu bahwa ia adalah seorang pelacur kelas tinggi? Seorang perempuan muda yang mendapatkan cipratan rejeki dari tangan pejabat tinggi, pengusaha kaya, juga ustadz kondang? Dan, atas rejeki itu ia terpaksa harus melayani mereka? Rejeki yang hanya dapat cair setelah orang-orang berkuasa dan kaya itu berkeringat dalam hitungan menit, bahkan detik? Bahkan, ia sendiri terus-menerus dilanda gundah sepanjang “karir” tersebut. Hingga, pada puncaknya ia telah memutuskan untuk berhenti? Padahal ini pun bukan keputusan yang mudah! Banyak kolega, juga tamu-tamunya yang berusaha mencegah. Ia maklum mengapa mereka berusaha keras mencegah langkahnya. Kadang-kadang ia mensyukuri wajahnya yang memesona mirip artis film kondang.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H