Tulisan ini bermula dari curhat teman saya yang anaknya (kelas 2 SD) menanyakan salah satu latihan pemahaman bacaan dongeng di buku Bahasa Indonesianya. Dongeng tersebut berjudul ‘Pak Belalang’, seperti ini:
Pak Belalang
Ada seorang petani dan saudagar
Namanya pak belalang dan tuan datuk
Pak belalang punya utang kepada tuan datuk
Pak belalang belum bisa membayar
Ia menemui tuan datuk
Ia ingin membayar seminggu lagi
Tuan datuk setuju
Tuan datuk punya satu syarat
Pak belalang harus menjawab teka teki
Teka teki itu sulit
Pak belalang bertanya kepada anaknya
Akhirnya pak belalang bisa menjawab
Utangnya dianggap lunas
Pak belalang pun selamat
(disalin dari Aku Cinta Bahasa Indonesia2)
Beberapa pertanyaan yang dijadikan bahan curhat oleh teman anak saya adalah poin-poin berikut:
1.Apakah pak belalang orang yang penakut
2.Siapakah tokoh yang kamu sukai
a.Pak belalang
b.Tuan datuk
3.Siapakah tokoh yang tidak kamu sukai
a.Pak belalang
b.Tuan datuk
Terhadap pertanyaan poin pertama, saya pikir jawaban ‘I dont know’ adalah jawaban yang paling tepat -anda boleh tidak setuju dengan pendapat ini. Sekedar share pengalaman saja, di salah satu kursus Bahasa Inggris yang pernah saya ikuti, selalu ada 3 alternatif jawaban untuk pertanyaan tertutup dalam pemahaman bacaan semacam itu: Yes/True, No/False, dan I don’t know. Jawaban I don’t know mungkin digunakan ketika pertanyaan tertutup atau pernyataan dalam latihan pemahaman memang tidak dijelaskan dalam bacaan. Dalam kasus, ‘apakah pak belalang orang yang penakut’, saya tidak dapat menemukan fakta baik tersirat maupun tersurat dalam bacaan yang mendukung jawaban Ya atau Tidak.
Terhadap poin kedua dan ketiga, menurut pendapat saya poin-poin tersebut amat subyektif sekaligus membingungkan. Boleh-boleh saja setiap murid menyukai tokoh yang berbeda, sehingga konsekuensinya, apapun jawaban murid, guru hendaknya mengapresiasi dengan baik pula. Masalahnya, guru memegang kunci yang ternyata menunjuk secara spesifik siapa tokoh yang harus disukai dan harus tidak disukai oleh murid-muridnya. Misalnya, pada poin ‘siapakah tokoh yang kamu sukai’ maka jawabannya harus ‘pak belalang’, dan pada ‘siapakah tokoh yang tidak kamu sukai’ jawabannya adalah ‘tuan datuk’. Padahal, apa yang menjadi dasar suka dan tidak suka adalah preferensi masing-masing orang. Bisa jadi anak suka kepada tuan datuk karena ia memberikan utang kepada pak belalang dan mau dibayar hanya dengan menjawab teka-teki. Bisa jadi pula ia tidak mempunyai tokoh yang tidak ia sukai karena menurutnya kedua orang itu sama-sama baik. Lagipula, kompetensi apa yang berusaha dimunculkan pada pertanyaan sejenis ini?
Itu hanya sekelumit contoh bias yang terjadi dalam dunia pendidikan dasar kita. Penyeragaman persepsi dan pemasungan ide terhadap anak-anak kita yang pada akhirnya menjadikan mereka manusia dewasa yang kurang kritis terhadap keadaan. Pun sekedar menerima segala teori yang dijejalkan tanpa berpikir layaknya robot terprogram. Padahal, kita sama-sama paham bahwa, seharusnya berbeda pendapat itu biasa dan harus dibiasakan untuk memperkaya pengetahuan kita.
Mungkin ada yang bisa membantu?