Tahun 2024 telah menjadi saksi bisu dari serangkaian peristiwa politik yang menggemparkan dunia. Dari pemilihan umum di berbagai negara hingga konflik internasional yang memanas, lanskap politik global mengalami pergeseran signifikan yang tentunya berdampak pada Indonesia. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia tidak luput dari arus perubahan ini, terutama menjelang pemilihan umum serentak 2024. Salah satu tren yang menonjol adalah melemahnya posisi petahana di berbagai negara. Di Amerika Serikat, Partai Demokrat kehilangan kendali atas Gedung Putih dan Kongres, sementara di Inggris, Partai Buruh berhasil mengakhiri 14 tahun dominasi Partai Konservatif.
Fenomena serupa juga terjadi di Botswana, di mana Partai Demokratik Botswana kehilangan kekuasaan untuk pertama kalinya dalam hampir 60 tahun[5. Tren ini menunjukkan adanya gelombang perubahan global yang didorong oleh ketidakpuasan publik terhadap status quo. Di tengah gejolak ekonomi global, isu-isu domestik seperti inflasi dan lapangan kerja menjadi perhatian utama pemilih. Survei Pew Research Center menunjukkan bahwa 81% pemilih terdaftar di AS menganggap ekonomi sebagai isu yang sangat penting dalam pemilu 2024. Hal ini mencerminkan kecemasan masyarakat terhadap ketidakpastian ekonomi pasca-pandemi dan ancaman resesi global. Namun, selain isu ekonomi, politik identitas juga masih mewarnai peta politik di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Menjelang Pemilu 2024, sentimen primordialisme dan sektarianisme masih mengakar kuat dalam budaya politik Indonesia. Fenomena ini patut diwaspadai mengingat potensinya untuk memecah belah persatuan bangsa, sebagaimana terlihat dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 yang dampaknya masih terasa hingga kini. Di sisi lain, isu perubahan iklim semakin mendapat perhatian, terutama di kalangan generasi muda. Survei nasional Indikator tahun 2021 menunjukkan bahwa 82% pemilih dari generasi milenial dan Z di Indonesia memiliki tingkat kepedulian yang tinggi terhadap isu perubahan iklim.Â
Hal ini mengindikasikan bahwa para politisi perlu memasukkan agenda mitigasi dampak perubahan iklim dalam platform kampanye mereka untuk menarik suara pemilih muda. Sementara itu, perkembangan teknologi informasi dan media sosial telah mengubah cara kampanye politik dijalankan. Namun, hal ini juga membawa tantangan baru berupa penyebaran disinformasi dan manipulasi opini publik. Kasus dugaan kecurangan dalam Pilpres 2024 yang viral di media sosial menjadi contoh nyata bagaimana isu-isu sensitif dapat dengan mudah memicu keresahan masyarakat.Â
Menghadapi kompleksitas tantangan ini, Indonesia perlu memperkuat fondasi demokrasinya. Penguatan literasi politik masyarakat, terutama di kalangan pemilih pemula, menjadi kunci untuk menciptakan pemilih yang kritis dan rasional. Selain itu, penyelenggara pemilu harus mampu menjamin integritas proses demokrasi di tengah ancaman manipulasi digital dan politik identitas. Sebagai penutup, dinamika politik global 2024 telah membuka mata kita akan pentingnya adaptasi terhadap perubahan. Bagi Indonesia, momentum Pemilu 2024 harus dimanfaatkan sebagai ajang konsolidasi demokrasi yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat mempertahankan perannya sebagai negara demokrasi yang berdaulat di tengah pusaran perubahan global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H