HARI ini, Sabtu, 5 Juni 2021 diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di tahun kedua pandemi ini, mengusung tema 'Restorasi Ekosistem'; ditandai dengan peluncuran resmi Dekade Restorasi Ekosistem PBB 2021 -- 2030 yang memberikan perhatian ekstra atas relasi manusia dengan alam semesta.
Dekade PBB ini dimaksudkan untuk memulihkan daya lenting lingkungan; kemampuan lingkungan untuk dapat pulih kembali setelah terjadi gangguan atasnya, serta sebagai upaya untuk mengembalikan kesetimbangan ekosistem akibat krisis iklim; yang berimbas terhadap keterancaman dan kepunahan jutaan keanekaragaman hayati tingkat species (species biodiversity).
Disamping itu, dekade PBB 2021 -- 2030 juga menyoal perihal upaya meningkatkan ketahanan pangan, pasokan air dan mata pencaharian, serta optimalisasi fungsi hutan dan lahan gambut sebagai penyerap karbon alami; yang diharapkan dapat membantu menutup kesenjangan emisi iklim hingga 25% pada tahun 2030 nanti.
Ringkasnya, peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia merupakan momentum bagi para aktivitis lingkungan hidup untuk semakin lantang dalam menyuarakan pesan-pesan ekologis terkait isu perlindungan dan kesehatan lingkungan. Diharapkan pesan dan ajakan tersebut nantinya dapat mewujud dalam tindakan konkret dalam menjaga, merawat dan melestarikan lingkungan hidup sebagai anugerah Tuhan kepada manusia.
Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) tak kunjung usai, ditambah dengan aneka musibah bencana alam yang mendera kehidupan umat manusia, senyatanya hendak mengkonfirmasi bahwa kondisi kesehatan lingkungan hidup kita sedang terganggu (sakit).  Maraknya fenomena kerusakan lingkungan, merupakan indikator konkret bahwa kesadaran publik dalam memahami dan memaknai hakikat alam masih perlu mendapatkan ekstra perhatian secara serius. Saat ini, tak satu pun area ekosistem (darat, air, udara) yang steril dari pencemaran (polusi) sebagai dampak perlakuan manusia terhadap lingkungan hidup yang cenderung semena-mena.
Pergeseran gaya hidup yang mengarah pada hedonis materialistis, yang tak mengenal rasa cukup dan puas, telah menyudutkan alam sebagai obyek untuk dieksploitasi tanpa dipedulikan kapasitas daya dukung dan daya lentingnya. Manusia menjadi egois, rakus, dan tidak peduli lagi terhadap sesama dan kelestarian alam. Lupa bahwa Sumber Daya Alam (SDA) yang ada, jumlah dan sebarannya teramatlah terbatas.
Chapman dkk (2007) dalam bukunya yang berjudul "Bumi yang terdesak", menyatakan bahwa populasi manusia tidak hanya tumbuh secara eksponensial, tetapi gaya hidup dan pola konsumsi manusia telah mendorong munculnya teknologi yang semakin merusak lingkungan. Teknologi modern yang dikembangkan untuk mendukung pola konsumsi yang berlebihan ini telah menghasilkan bahaya lingkungan yang begitu besar, seperti berlubangnya ozon dan kemungkinan perubahan iklim akibat ulah manusia.
Fenomena pemanasan global (global warming) telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap perubahan dunia. Mencairnya es di kutub merupakan satu contoh dari dampak yang diakibatkan oleh meningkatnya suhu bumi. Bila hal ini tidak dicegah nantinya akan menyebabkan terjadinya banjir yang akan menenggelamkan sebagian besar permukaan bumi yang kita tempati. Sebuah ancaman besar terhadap keberlangsungan hidup umat manusia dan  makhluk hidup lainnya.
Kesadaran Baru
Terkait perilaku manusia yang cenderung menciderai lingkungan, maka komitmen dan keberanian sosok Severn Suzuki, 12 tahun, yang berbicara mewakili ECO - Enviromental Children Organization di KTT Lingkungan Hidup PBB di Rio de Janeiro Tahun 1992 perlu diacungi jempol. Lebih dari itu, konten pidatonya masih relevan dan kontekstual hingga detik ini Â