Bijak Berkomunikasi
Setiap aksi larangan yang represif atas aktivitas perekonomian di pasar hanyalah akan memicu aksi kemarahaan publik. Publik akan semakin jengkel dan marah, apalagi jika mengingat kebijakan pemerintah – yang dianggap tidak konsisten dan tidak bijak; cenderung tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Semisal, melepas narapidana hanya dengan rasionalisasi demi penyesuaian daya dukung lapas terhadap jumlah tahanan. Pula, sejenak membuka ruang relaksasi PSBB yang sempat menjadikan suasana bandara Soekarno – Hatta tak ubahnya seperti pasar.
Meminjam pendapat Lely Arriane (Media Indonesia, 16 Mei 2020) dalam opini tulisnya berjudul “Potongan Pesan di Tengah Wabah” bahwa sejak kasus Covid-19 meruak di Indonesia, nampaknya pemerintah belum menemukan pola komunikasi publik, pemerintahan, dan politik yang bisa dijadikan acuan bagi tiap jajarannya untuk mengomunikasikan problem yang muncul. Bisingnya komunikasi politik pemerintah dalam menyikapi Covid-19 bisa jadi justru memunculkan kesenjangan dan persepsi yang berbeda antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam hal penanganan pandemi. Lebih lanjut, sangat memungkinkan untuk nantinya ditafsirkan secara berbeda lagi oleh para petugas di lapangan dalam proses implementasi kebijakan.
Dalam situasi dan kondisi yang penuh dengan ketidakpastiaan seperti saat ini; yang setelah hampir delapan bulan PSBB berlangsung, namun masih tak kunjung tuntas upaya penanganan pandemi. Pula belum diketahui secara pasti kapan prakiraan akan selesainya pandemi ini. Dan yang lebih penting dan dinantikan publik adalah analisis dari pakar perihal bagaimana nanti akhirnya (How is the end of the pandemic).
Yang jelas, yang perlu diingat dan disikapi dengan bijak adalah bagaimana mengkomunikasikan upaya implementasi atas kebijakan PSBB secara asertif, humanis dan ekologis. Untuk itu, perlu dipikirkan dan ditemukan strategi yang tepat bagaimana memperlengkapi aparatur pemerintah dengan sikap asertif dan keterampilan dalam berkomunikasi di ruang publik; termasuk di dalamnya adalah kemampuan dari aparatur dalam memberikan penyuluhan guna menumbuhkembangkan kesadaran publik atas setiap kebijakan yang diambil pemerintah.
Perlu diingat bahwa suatu hal yang baik, ketika tersampaikan dengan cara yang tidak tepat, akan berpotensi untuk melahirkan kesalahpahaman. Petugas di lapangan, selain berolah pokir, harus mampu berolah rasa dalam upayanya untuk menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak yang sedang kesulitan. Jangan sampai dalam menyikapi respon publik yang seolah ‘melawan’ kebijakan pemerintah karena di dorong oleh urusan pemenuhan kebutuhan perut, lantas memperlakukan mereka seperti memperlakukan penjahat. Akan lebih manusiawi, sekiranya para petugas ketertiban mampu menghadirkan dirinya di tengah masyarakat sebagai sang pamomong yang ramah dan bersahabat; sosok yang menganyomi, yang mengerti bahasa perut, bahwa mereka lapar.