Gejalanya dapat dikenali dan terlihat, melalui: Cara penyampaian materi ajar yang hanya secara tekstual, cenderung menghafal sehingga proses belajar terasa kering tanpa makna karena ter(di)lepaskan dari konteks kehidupan riil; metode  pembelajaran yang cenderung masih berpusat pada guru seolah menjadikan guru sebagai sumber tunggal dalam proses belajar; model komunikasi yang cenderung searah (monolog) lewat ceramah nan membosankan. Ditambah lagi pemberian tugas dan pekerjaan rumah (PR) yang konon overdosis dengan dalih sebagai bahan bagi murid untuk belajar secara mandiri di rumah.
Ringkasnya, belajar tak lagi membahagiakan, nampaknya justru menjadi sebuah beban; tak lagi dihiasi dengan tawa, namun malah dengan air mata persis sebagaimana yang diulas oleh Daniel T. Willingham (2009) dalam bukunya yang berjudul Why Don't Students Like School?.
 PJJ yang berkualitas
Terkait erat dengan kualitas Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), setidaknya terdapat dua pertanyaan mendasar yang perlu dan urgen untuk direfleksikan, dimaknai, dan ditindaklanjuti guna terciptanya proses belajar yang berkualitas; menggembirakan dan mencerdaskan, yakni:
Pertama, apakah para murid telah mendapatkan pelajaran yang bermutu dari guru yang bermutu? Perlu diingat bahwa nantinya bagaimana guru mengajar akan jauh lebih penting daripada apa yang diajarkan.Â
Mengingat kualitas relasi dan interaksi personal murid-guru dalam bertegur sapa, dan dalam  membangun kepercayaan akan memberikan dampak jangka panjang, bahkan kekal; karena akan diingat dan dikenang sepanjang hayat.
Kedua, apakah melalui proses belajar yang dialami, nilai- nilai keutamaan dan karakter unggul pada diri setiap murid turut serta mengalami pertumbuhan dan perkembangan?Â
Keterampilan yang dimiliki guru dalam mengajar (teaching) hanyalah akan menjadi bermakna apabila diikuti dengan semakin berkembangnya kapasitas murid dalam belajar (learning). Mengingat bahwa nantinya, kesuksesan perjalanan masa depan hidup dari para murid akan ditentukan oleh karakter; termasuk di dalamnya adalah kualitas dirinya, dan bukan oleh gurunya.
Perihal nilai keutamaan dan karakter unggul, perlu mendapatkan ekstra perhatian selama proses belajar berlangsung sebagai bentuk kesadaran dan kesungguhan kita dalam upaya menterjemahkan dan merealisasikan isi Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
Bahwa sesungguhnya, proses pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan intelektual (kognitif) perlu dilengkapi dan disempurnakan dengan tertanam dan bertumbuhkembangnya sikap, mental, dan moral yang baik, seperti: kedisiplinan, tanggungjawab, kemandirian, kejujuran, dan kerjasama dalam diri peserta didik; sebagai bagian dari kompetensi abad 21 yang dibutuhkan bagi masa depan mereka.
Untuk itu dibutuhkan kesabaran; dipadankan dengan kata 'longsuffering'; kesediaan dan keikhlasan untuk memikul beban dan penderitaan dalam kurun waktu yang panjang dan lama selama mendampingi anak -- anak murid dalam proses tahapan belajar yang sedang mereka lalui.