Mohon tunggu...
Thio Hok Lay
Thio Hok Lay Mohon Tunggu... Guru - Penulis Buku 'Mendidik, Memahkotai Kehidupan'

Teaching Learning Curriculum Department, Yayasan Citra Berkat, Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menalar Proses Pendidikan

8 Agustus 2020   06:20 Diperbarui: 8 Agustus 2020   06:18 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber photo ilustrasi : https://www.rijal09.com/

"Rahasia pendidikan adalah menghormati sang murid" - Ralph Waldo Emerson

KONON satu dari sekian rasionalisasi edukatif yang dikemukakan terkait kualitas pendidikan Finlandia yang mendunia karena di sana tidak dijumpai adanya pekerjaan rumah (PR) dalam aktivitas pembelajaran di sekolah.

Lain di Finlandia, lain di Indonesia. Di sini, guna penguatan atas penguasaan materi ajar; umumnya murid akan diminta untuk mengerjakan pekerjaan rumah (PR) secara mandiri. Hanya saja, akan menjadi kontra produktif ketika hakekat pemberian PR sebagai upaya penguatan proses belajar murid secara mandiri beralih rupa menjadi beban tambahan tersendiri bagi murid. Porsi PR yang tidak proporsional acap menyita waktu istirahat dan mengurangi hak anak dalam bermain.

Mengingat sejatinya bermain merupakan bagian dari dwitunggal kodrat manusia; Homo ludens (makhluk yang bermain), sekaligus Homo sapiens (makhluk yang berpikir). Manusia baru menjadi manusia, saat ia punya waktu untuk bermain, sekaligus berpikir.

Ketika hak siswa untuk bermain menjadi berkurang, karena tersita untuk membuat PR, maka tidaklah mengherankan jika tidak sedikit dijumpai mahasiswa yang cenderung bermain-main saat belajar di bangku perkuliahan. Logikanya sederhana, mungkin mereka kurang bermain saat masih menjadi siswa; karena waktu bermain mereka tersita untuk mengerjakan PR saat masih bersekolah.

Dalam porsi pemberian PR kepada murid,  pesan dari Samuel Smiles layak untuk disimak dengan seksama, "Bahwa pengalaman yang diperoleh dari buku-buku, meski sering kali berharga, hanyalah memberikan pelajaran tak langsung; tapi pengalaman yang diperoleh dari kehidupan sesungguhnya bisa memberikan kebijaksanaan."

Dialektika dalam menyoal dinamika dunia pendidikan merupakan tema bincang didik yang tak pernah kunjung tuntas dan final untuk dikupas dan diulas. Sekiranya dikupas dan diulas, itupun acapkali menyempit dan menciut maknanya karena aktivitas pendidikan seolah-olah dikerangkakan hanya sebatas pada aktivitas persekolahan.

Hakekat pendidikan senyatanya lebih kompleks; lebih luas, lebih dalam, dan lebih bermakna karena menembus sekat-sekat dimensi ruang dan waktu. Ringkasnya, proses pendidikan nantinya akan berdampak terhadap kelangsungan kehidupan di masa kini dan nanti. Nantinya, aktivitas dan produktivitas pendidikan akan menentukan kualitas dan nasib perjalanan masa depan bangsa. Oleh karenanya, tidaklah berlebihan saat proklamator bangsa ini menyatakan, "Apabila kita tidak mau menjadi bangsa kuli, atau menjadi kuli diantara bangsa -- bangsa; maka kita harus menjadi bangsa yang terdidik."

Di tengah era perubahan yang begitu dinamis; dengan ditandai oleh maraknya pelbagai temuan dan inovasi, akan tiba masa dan waktunya bahwa penemuan terbesar dari generasi ke generasi adalah bahwa manusia diberdayakan untuk meningkatkan kualitas kehidupannya dengan mengubah pola pikir, pola sikap, dan pola lakunya.

Perubahan secara holistik tersebut (pikir, sikap, dan laku) -- hanya akan memungkinkan terjadi melalui proses pendidikan yang berlangsung secara menyenangkan dan mencerdaskan. 

Sekiranya dalam proses belajar dijumpai adanya "kekeliruan" dan "kenakalan" yang diperbuat oleh para murid, hal tersebut perlu ditempatkan dan dipahami sebagai bagian dari kemelimpahan energi dan keunikan personal murid yang perlu untuk diarahkan dan diasah guna pengembangan dirinya. Bukankah tujuan esensial dari mengajar murid adalah untuk nantinya bisa membuatnya maju dan mandiri tanpa gurunya.

Perlu disadari dan dipahami bersama bahwa setiap pribadi anak murid adalah nomor satu, dengan segala keunikannya masing -masing; sejatinya keberadaan diri mereka secara personal tidak untuk diperbandingkan dengan orang lain. Biarlah setiap anak murid nantinya bertumbuhkembang sesuai dengan potensi dan talentanya masing-masing. 

Proses Pendidikan 

Sebenarnya, tidaklah terlalu sulit dalam menalar siklus proses dan aktivitas belajar. Dimulai semenjak dari pendidikan dasar, anak murid mulai diperkenalkan dan diajarkan perihal kemampuan dasar dalam membaca dan menulis (literacy) dan berhitung (numeracy).

Dalam di jenjang berikutnya, hampir disetiap mata pelajaran yang diajarkan; apapun subyeknya, guru akan menyajikannya dalam irama siklus pedagogi secara berulang, meliputi : eksplorasi -- perencanaan -- pelaksanaan -- penilaian - pelaporan.

Nantinya, produk pendidikan dapat terdeteksi melalui serangkaian sikap hidup keseharian, misalnya seperti:  Kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya, perilaku tertib di jalan raya, budaya antre dengan benar, berani meminta maaf apabila berbuat kesalahan, dan mempunyai kebesaran hati serta kesediaan untuk mengakui keterbatasan dan kekurangan diri untuk selanjutnya dengan rendah hati berani mengajukan pertanyaan, serta mau menerima pendapat dan masukan dari liyan.

Kesemua hal tersebut sepertinya nampak sangat sederhana, namun bila berani jujur; melalui beragam fenomena keseharian yang dipertontonkan dan banyak dijumpai di ruang publik, rasanya sikap dan karakter kita sebagai anak bangsa belum cukup dewasa untuk dapat dikatakan - sudah mencerminkan sikap dan karakter unggul tersebut.

Contoh di atas, barulah seputar sikap dan karakter yang dijumpai dalam aktivitas keseharian; belum menyentuh aspek kompetensi, keterampilan dan kesantunan dalam bertutur kata dan berbahasa dengan baik dan benar. Acapkali konflik yang berpotensi menciderai kebhinnekaan dan mengancam keutuhan bangsa justru dipicu dan bermula oleh kesalahpahaman yang timbul sebagai akibat kekeliruan dalam menangkap dan menterjemahkan pesan lisan dan atau tulis yang diunggah di media.

Indikatornya adalah menjamurnya informasi bohong (hoaks) yang beredar di ruang publik yang perlu disikapi dengan cerdas, arif dan bijaksana. Untuk itu, sebagai anak bangsa, kita perlu mawas diri untuk mau dan lebih sungguh lagi dalam belajar bahasa ibu sebagai bahasa persatuan hingga benar - benar terampil dan fasih; sebelum terlalu jauh dalam mempelajari bahasa asing sebagai komplemen atas keterampilan diri dalam berkomunikasi secara global dan mendunia.

Jangan sampai kita menjadi lupa akan jatidiri kita sebagai anak bangsa; sebagaimana yang dipersonifikasikan dalam sosok Hanafi dalam novel Salah Asuhan karya Abdul Muis; yang usai belajar di negeri orang, gaya hidupnya berubah, menjadi lupa akan identitas dirinya. Kecintaannya atas kearifan dan nilai keutamaan budaya nasional pun menjadi luntur. Kiranya hal ini boleh menjadi refleksi kebangsaan dalam rangka menyongsong Dirgahayu  Kemerdekaan RI ke 75 tahun.

Melalui proses pendidikan yang berkualitas; yang memampukan dan memberdayakan  setiap anak bangsa untuk tumbuhkembang sesuai dengan potensi dan bakat personal yang dimiliki secara optimal, nantinya akan melahirkan insan - insan pemelajar sebagai produk pendidikan yang unggul. Pemelajar yang giat belajar dengan penuh kesungguhan; dimanapun, kapanpun, dan dari siapapun guna nantinya dapat bermanfaat bagi diri dan sesamanya, serta bagi kemajuan masyarakat, bangsa dan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun